Lihat ke Halaman Asli

Andi Nur Fitri

Karyawan swasta

Ketika Prabowo “Menarik Diri” dari Rangkaian Pilpres

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini hanya sebuah renuangan, tidak untuk menghakimi sikap salah satu capres yang berlaga di ajang pilpres kemarin. Losing is not an option, demikian kata Prabowo. Kekalahan memang tidak menjadi pilihan siapapun di dunia ini. Dan sebaliknya, setiap orang selalu ingin menjadi pemenang. Tetapi nampaknya tidak demikian bagi Prabowo. Hasil rekapitulasi real count oleh KPU pada tanggal 22 juli 2014, dengan sendirinya ditanggapi sebagai kekalahan bagi Prabowo. Betapa tidak, sikapnya yang menarik diri dari rangkaian pilpres menunjukkan siapa dia sebenarnya. Dengan tegas ia menyatakan bahwa ia menarik diri dari semua runutan pemilihan presiden, justru setelah ia berjuang keras melaluinya? Apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya?

Mungkin masih segar dalam ingatan kita, proses pemilihan presiden di tahun 2009, yang mengkompetisikan SBY dengan Jusuf Kalla, setelah sebelumnya bersanding sebagai Presiden dan wakilnya. Ketika beberapa lembaga survey menyatakan keunggulan pasangan SBY-Boediono melalui quick count, Jusuf Kalla langsung memberikan ucapan selamat dan menerima kekalahannya. Ia mengatakan bahwa quick count memiliki metode ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak tampak wajah geram ataupun menolak hasil quick count. Jusuf Kalla menampilkan sosok sebagai negarawan yang menerima kekalahannya.

Pemandangan di atas sangat berbeda ketika KPU mengumumkan real count di pilpres 2014. Prabowo lantas mendeklarasikan penolakannya dan mengatasnamakan “rakyat”. Senyatanya, sikap tersebut telah mencerminkan siapa Prabowo sebenarnya, ia laksana seorang prajurit perang, yang tidak akan meninggalkan medan pertempuran sebelum melihat musuhnya terpukul mundur –dengan berbagai cara tentunya. Jelas tidak ada kata kalah dalam kamusnya, karena ia telah menyiapkan amunisi yang cukup besar jauh hari sebelumnya. Sehingga ia yakin, dengan persiapan seperti itu, ia akan memenangkan kontestasi –jika tidak ingin mengatakan pertarungan- politik. Tetapi kenyataan berbanding terbalik, real count yang menjadi senapan terakhir di penjenjangan KPU memenangkan kompetitornya. Prabowo seperti panik dan merasa dipukul mundur. Ah, mungkin memang sakit, tapi inilah realitasnya. Setiap proses di KPU sebenarnya sudah terlihat melalui prosedur dan mekanisme yang seharusnya. Prabowo tidak tampak lagi sebagai seorang ksatria berjiwa besar dan LEGOWO. Kedewasaan politik macam apa yang sedang kau pertontonkan wahai Ksatria?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline