Lihat ke Halaman Asli

Nurfauni Ayub

Mahasiswi

Wajah Pembinaan ABK di Institusi Pendidikan

Diperbarui: 9 April 2021   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan dapat dilakukan tanpa mengenal batas usia, ruang dan waktu. Pendidikan juga tidak mengenal pembatasan kegiatan dan bentuk, aktifitas apapun yang berguna untuk menambah pengetahuan dan keterampilan tertentu dinamakanpendidikan.

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan1, bunyi ayat ini sejalan dengan konsep pendidikan untuk semua (education for all) yang ditegaskan dalam deklarasi universal Hak Asasi Manusia (HAM) dan slogan tersebut selayaknya
mengawal kita untuk bisa terus peduli dengan isu pendidikan karena hak pendidikan adalah hak semua orang tanpa memandang kelas, ras, jenis kelamin, agama, dan bentuk muka, termasuk bagi anak berkebutuhan khusus.

Pendidikan inklusi adalah salah satu strategi dalam pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan, di mana anak berkebutuhan khusus memperoleh perhatian dan layanan pendidikan di lingkungan belajar yang sama, bersama anak-anak lainnya, secara bermutu dan sesuai dengan kebutuhannya.

Indonesia menuju pendidikan inklusi secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk difabel.

Setiap ABK berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). ABK memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya.

Pada tahun 2019, Agung melakukan penelitian tentang problematika pendidikan inklusif di indonesia mengatakan masalah muncul dengan kebijakan program pendidikan inklusif yang nyatanya belum siap secara utuh menjadi pendidikan inklusif, diantaranya:
1. Masih jarangnya sekolah yang mau menerima peserta didik dengan hambatan baik fisik, intelegensi, emosi, dan sosial.
2. Beberapa sekolah yang telah memenuhi syarat menjadi sekolah inklusi, masih subyektif dengan mementingkan beberapa aspek pandangan saja tanpa kesiapan menyeluruh.
3. Sangat kurangnya guru yang berlatar belakang S1 pendidikan khusus berkaitan dengan layanan pendidikan bagi ABK.
4. Kurangnya kesadaran masyarakat dengan adanya anggapan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus bisa menular. Ini menjadi salah satu jurang pemisah antara ABK dengan anak “normal“ pada umumnya.

Dengan demikian, mengingat pentingnya peran dan tugas dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dalam penyelenggaraan sekolah inklusi, yang mencakup segala permasalahan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah. Maka antara kewajiban dan hak mereka semestinyalah adanya keseimbangan. Sesuatu
yang telah seimbang, alhasilnya akan dipetik sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan adanya anggaran tersendiri bagi Guru Pembimbing Khusus (GPK) sesuai
kapasitasnya sebagai GPK, maka sekolah inklusi yang sebenarnya akan terwujud,
bukan sekedar pelabelan dan formalitas semata.

Pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia masih jauh dari sempurna, sehingga membutuhkan penelitian yang lebih dalam dari berbagai unsur pemerintahan, tenaga ahli, dan masyarakat berkaitan dengan peserta didik,
kurikulum, SDM, sarana prasarana, pembiayaan, dan sebagainya sebagai satu
sistem yang terpadu.

Sumber :

Wibowo, Agung Tri dan Nur Laila Anisa. (2019). Problematika Pendidikan Inklusif Di Indonesia. Surakarta : Magister Pendidikan Dasar UMSU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline