Lihat ke Halaman Asli

Nur Farida

Mahasiswa Universitas Jember

Inklusi Keuangan: Jalan Tol Menuju Krisis Keuangan?

Diperbarui: 3 November 2024   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi besar dan beragam, kini menghadapi tantangan yang serius yang berpotensi mengarah pada krisis keuangan. Meningkatnya akses terhadap layanan keuangan, termasuk pinjaman mikro dan produk digital, yang tidak selalu diimbangi dengan literasi keuangan yang memadai di kalangan masyarakat justru berisiko menciptakan masalah baru bagi masyarakat.

Inklusi keuangan merujuk pada proses memastikan bahwa individu dan bisnis memiliki akses yang memadai terhadap produk dan layanan keuangan yang berkualitas, termasuk tabungan, pinjaman, asuransi, dan layanan pembayaran. Pemerintah Indonesia, melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia, telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan akses ini, terutama bagi masyarakat yang belum terlayani oleh bank formal.

Statistik menunjukkan bahwa akses keuangan di Indonesia telah meningkat pesat. Menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah rekening bank tumbuh signifikan dalam lima tahun terakhir, dengan lebih dari 75% populasi kini memiliki akses ke produk keuangan. Peningkatan akses ini merupakan langkah positif dalam upaya inklusi keuangan, yang berpotensi memberdayakan masyarakat untuk mengelola keuangan mereka dengan lebih baik. Namun, angka yang menggembirakan ini tidak serta merta menjamin bahwa masyarakat memiliki pemahaman yang memadai tentang produk dan layanan keuangan yang mereka akses. Banyak individu masih belum memiliki literasi keuangan yang cukup dapat mengakibatkan penggunaan layanan keuangan yang tidak bijak.

  • Risiko Utang yang Meningkat

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah rekening bank dan akses terhadap layanan keuangan lainnya terus meningkat. Namun, fenomena ini menciptakan permasalahan yaitu masyarakat terjebak dalam utang. Banyak individu, terutama dari kalangan yang kurang berpendidikan dan berpengalaman dalam pengelolaan keuangan, terjebak dalam jebakan utang akibat tawaran pinjaman yang mudah dan cepat dari perusahaan fintech. Pinjaman berbunga tinggi dan kurangnya transparansi dalam syarat dan ketentuan sering kali membuat debitur tidak menyadari beban utang yang mereka ambil.

Tingginya angka utang di kalangan masyarakat sangat berisiko. ketika masyarakat tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang produk keuangan yang mereka gunakan, mereka berisiko terjebak dalam utang yang tidak terkelola. Ini bisa berujung pada masalah finansial yang lebih serius dan menciptakan dampak negatif bagi perekonomian secara keseluruhan.

  • Literasi Keuangan yang Rendah

Salah satu akar masalah dalam inklusi keuangan di Indonesia adalah rendahnya literasi keuangan di kalangan masyarakat. Meskipun akses terhadap layanan keuangan meningkat, banyak individu tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang cara mengelola keuangan pribadi mereka. Menurut survei yang dilakukan oleh OJK, hanya sekitar 65,43% masyarakat Indonesia yang memiliki pemahaman dasar tentang konsep-konsep keuangan.

Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya pendidikan formal yang mengajarkan keterampilan keuangan. Di banyak daerah, kurikulum sekolah tidak mencakup pendidikan tentang manajemen keuangan, sehingga generasi muda tidak dibekali pengetahuan yang diperlukan untuk mengambil keputusan finansial yang bijak.

  • Perlunya Pengetahuan tentang Keuangan

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk mengimplementasikan program pendidikan keuangan yang komprehensif. Edukasi tentang pengelolaan uang, investasi, dan risiko utang harus menjadi bagian integral dari upaya inklusi keuangan. Masyarakat perlu dilengkapi dengan keterampilan yang memadai agar mereka dapat memanfaatkan layanan keuangan tanpa terjebak dalam masalah.

Beberapa lembaga non-pemerintah juga telah berinisiatif mengadakan pelatihan dan workshop mengenai literasi keuangan. Namun, upaya ini perlu didukung oleh pemerintah dan ditingkatkan skalanya agar menjangkau lebih banyak masyarakat.

  • Perlindungan Konsumen dan Regulasi yang Ketat

Selain pendidikan, perlindungan konsumen juga menjadi aspek penting dalam menciptakan ekosistem inklusi keuangan yang sehat. Regulasi yang ketat diperlukan untuk mencegah praktik penipuan dan penyalahgunaan yang merugikan nasabah. OJK perlu terus melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan fintech dan memastikan bahwa mereka mematuhi aturan yang berlaku, termasuk transparansi dalam informasi produk dan layanan yang mereka tawarkan.

Masyarakat juga harus didorong untuk melaporkan praktik-praktik yang merugikan agar tindakan cepat dapat diambil. Dengan menciptakan saluran komunikasi yang jelas antara regulator dan konsumen, akan tercipta iklim yang lebih aman bagi pengguna layanan keuangan.

  • Menciptakan Ekosistem Inklusi yang Berkelanjutan
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline