Lihat ke Halaman Asli

Nur Fajriyah Yumna

Mahasiswa S1 Pendidikan Agama Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Dampak Lingkungan dari Perkebunan Kelapa Sawit

Diperbarui: 29 Juni 2024   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pinterest: Mystic Gangsta

Ekspansi kelapa sawit di Papua saat ini menjadi isu yang ramai diperbincangkan (juni 2024), pasalnya isu ini bersisian dalam berbagai aspek baik aspek sosial, ekonomi, ekologi, maupun hukum. Indonesia menjadi negara dengan produksi minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Meningkatnya permintaan global akan kelapa sawit, bertambah pula area yang dibutuhkan untuk perkebunan sawit.

Data terakhir dari Kementrian pertanian melaporkan luas lahan kelapa sawit mencapai 15,8 juta hektar pada tahun 2021 dan terus meningkat hingga sekarang. Wilayah terbesar yang terekspansi perkebunan kelapa sawit yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua yang tadinya wilayah tersebut merupakan hutan yang dialih fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Tentunya banyak dampak yang ditimbulkan atas alih fungsi hutan menjadi kebun sawit, karena hutan merupakan sumber penghidupan baik semua makhluk hidup yang ada didalamnya baik hewan, tumbuhan dan manusia. Hasil studi yang diterbitkan di Jurnal Sosiologi oleh Kartiani Puspita Ayu pada tahun 2021 lalu menunjukkan kelapa sawit berkontibusi terhadap kerusakan ekologis yang lebih tinggi dan memiliki dampak berbeda bagi lingkungan. Berikut beberapa dampak yang terjadi terhadap lingkungan karena ekspansi perkebunan kelapa sawit:

  • Degradasi tanah akan terjadi di lahan yang ditanami sawit dengan menurunnya nutisi tanah dalam waktu 30 tahun. Hal ini disebabkan karena kelapa sawit memiliki struktur pohon yang seragam, kanopi yang lebih rendah, semak yang jarang, iklim mikro yang kurang stabil, dan struktur ini kurang kompleks dibandingkan dengan hutan alam.

  • Lingkungan habitat alami hutan yang tidak stabil karena pembabatan hutan dalam skala besar atau disebut juga dengan diforestasi. Kondisi ini mengakibatkan menyusutnya hutan tropis yang merupakan habitat alami Orangutan, Harimau Sumatra, dan Badak. Sebagaimana terjadi di Kalimantan Tengah Orangutan menjadi spesies yang terancam punah, padahal spesies ini memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem.

  • Minyak sawit berkontribusi dalam pencemaran air. Bahan kimia yang digunakan untuk produksi minyak sawit seperti pupuk dan pestisida dapat mencemarkan ekosistem darat dan perairan, hal ini karena  limbah kelapa sawit yang dicerna secara mikroba di kolam terbuka meluap ke salura air saai hujan deras dan mengakibatkan tercemarnya air di sekitar perkebunan. Masyarakat yang berada di sekitar perkebunan menjadi kekurangan air bersih  untuk konsumsi maupun mandi.

  • Minyak sawit berkontribusi terhadap pemanasan global. Kelapa sawit menggunakan pupuk N yang diaplikasikan pada tanaman kelapa sawit ketika pembibitan maupun perkebunan. Akibatnya menghasilkan N20 (nitrous oksida) yang dipancarkan ke atmosfer yang berkontribusi semakin meningkatnya suhu bumi. Nitrous oksida memiliki kekuatan pemanasan hampir 300 kali lipat dibandingkan karbon dioksida terhadap pemanasan global.

  • Perkebunan sawit menyebabkan pengeringan tanah organik, seperti di Kalimantan Tengah yang secara letak geografis ditutupi oleh hutan rawa gambut. Lebih dari 3 juta hektar lahan Kalimantan Tengah merupakan Lahan gambut dan 14% diantaranya telah menjadi lahan kelapa sawit. Kerusakan lahan gambut menyebabkan dampak yang signifikan bagi masyarakat sekitar lahan gambut seperti banjir, kebakaran hutan, kekeringan,  pencemaran tanah dan air, kebakaran, serta asap yang disebabkan oleh kebakaran lahan gambut juga menyebabkan pemanasan global.

  • Kekeringan akan terjadi karena kurangnya resapan air. Pemukinan yang berjarak kurang lebih 500 meter dari perkebunan sawit akan berpotensi mengalami kekeringan. Sebagaimana yang terjadi di Muara Tae yaitu salah satu kampung di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sumber mata air di Muara Tae kini tersisa satu karena hutan-hutan telah menghilang. Masyarakat setempat terpaksa membeli air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sungai di sekitaran kampung juga telah tercemar dan penuh lumpur karena tercampur dengan obat hama dari perkebunan sawit.

Tidak heran mengapa suku Awyu dan Moi saat ini dengan tegas dan gigih mempertahankan hutan adat mereka yang telah menjadi tempat tinggal mereka selama ratusan tahun bahkan sebelum terbentuknya Republik Indonesia. Karena bukan hanya kerusakan lingkungan yang akan mereka dapatkan, mereka juga mendapat ketidak adilan, tradisi serta adat istiadat juga akan tergantikan karena mereka memiliki  hubungan yang khusus dengan hutan. hutan adalah "Ibu" bagi masyarakat adat papua, karena hutan memiliki peran sebagaimana seorang ibu yang melindungi dan menaungi seluruh aktivitas mereka. Kehilangan hutan akan sama dengan kehilangan sosok Ibu bagi mereka, dan tidak ada anak yang rela kehilangan Ibunya atau membiarkan Ibu itu tersakiti dengan pembabatan, dan juga pencemaran.

Suku Awyu dan Moi di Papua bukan hanya satu-satunya suku yang mengalami hal ini.  Suku-suku lain di Pulai Sumatra, Sulawesi, dan Maluku juga mengalami hal serupa dan pembelaan mereka akan tanah adat mereka ternyata tidak memberikan hasil yang mereka inginkan. Perusahaan-perusahaan sawit maupun pertambangan tetap mengambil hutan dan tanah mereka dan kemudian merusaknya demi keuntungan mereka sendiri.

Melihat dampak negatif yang ditimbulkan karena alih fungsi hutan menjadi lahan sawit semestinya pemerintah dan perusahaan sawit mulai merubah arah pandang mereka, jangan merusak kehidupan hanya demi keuntungan beberapa gelintir orang saja. Masyarakat juga terus berupaya menyuarakan kampanye negatif sawit Indonesia di Dunia agar perusahaan sawit juga mulai mereduksi kampanye tersebut dengan lebih memperhatikan masyarakat di area perkebunan sawit mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline