Lihat ke Halaman Asli

Ujung Tombak Siaga 24/7

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

MALAM masih terasa larut. Hitam pekat menyelimuti langit sebuah desa yang masuk di area administrasi kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Saat sinar bulan tak menyapa bumi, Yuyun (25) harus berjalan, bahkan setengah berlari. Ia bukan sedang berolahraga, karena jelas waktunya tak pas.
Nafasnya tersengal-sengal, dengan rambut panjang yang terombang-ambing ke kanan dan ke kiri, karena pola kunciran di bagian belakang. Berkostum ala kadarnya, hanya berdaster, ia mengayuh kakinya sekuat tenaga. Ia tak ingin kehilangan waktu sedetik-pun.
Sekali lagi, ia bukan sedang memeras keringat agar tubuhnya tetap sehat, atau mengejar maling. Tapi memang, jantungnya sangat ‘deg-degan’. Sampai di sebuah rumah, ia pun berteriak sembari menggedor-gedor pintu si empunya rumah.
“Bu, tolong Bu. Si Yani sakit demam, panasnya tinggi banget. Saya sudah bingung, karena dia juga sudah tak bergerak lagi,” teriak Yuyun. Tak lama, hanya berselang sepuluh detik, si pemilik rumah keluar. Hebatnya, dia sudah keluar dengan piranti lengkap, mulai dari stetoskop, alat pengukur suhu tubuh sampai tas berisi peralatan dan obat-obatan.
Tak perlu lama, sampailah mereka di rumah. Tanpa berkomentar, Juheni, nama orang yang dimintai tolong, yang juga seorang bidan, langsung bekerja sesuai prosedur standar operasional. Setelah semua diperiksa, ia memastikan si anak bernama Yani tersebut tidak apa-apa. Untuk sementara tidak ada hal negatif, namun tetap disarankan langsung ke puskesmas atau rumah sakit ketika fajar benar-benar menyingsing.
Bagi Juheni, tak sekali dua kali dia mendapati masyarakat di desanya seperti itu. Tak hanya soal sakit anak, tapi jika ada orang dewasa yang terkilir alias keseleo, atau ada anak kecil yang sakit di area kelamin, ia selalu menjadi rujukan pertama. Tugas utama bidan, yang memerika anak balita dan ibu hamil-pun, kini tak lagi dibatasi. Ia seperti halnya dokter umum, padahal kapasitas pendidikan formalnya hanya akademi kebidanan.
“Tapi itulah resiko, karena yang mereka tahu saya ahli dalam bidang kesehatan. Jadi, semua penyakit mulai dari flu sampai alergi, justru pergi ke saya terlebih dulu. Setelah itu, jika saya berkata silakan lanjutkan ke dokter, baru mereka mau,” ungkap bidan yang sudah bertugas di desa tersebut sejak akhir ‘80-an tersebut.
Tak hanya itu saja, seiring dengan bergulirnya waktu, teknologi komunikasi juga sangat membantunya. Kini, ia menggunakan semua jalur agar bisa dengan cepat merespon keperluan warga, terutama bagi mereka yang membutuhkan bantuan pemeriksaan kesehatan.
Telepon seluler alias telepon genggam kini menjadi barang yang wajib dimilikinya. Ia tak lagi menunggu di rumahnya, yang juga tempat kliniknya berada. Kadang, ia juga dijemput keluarga pasien yang sakit dengan sepeda motor. Bahkan saking pedulinya, ia selalu membawa alat komunikasi setiap kali bepergian. Kadangkala, ia harus men-direct alias memberi instruksi apa yang harus dikerjakan jika ada orang yang sangat butuh pertolongan, melalui ponsel. Meski harus selalu waspada setiap hari selama 24 jam, Juheni mengaku senang dan bangga bisa menjadi bagian dari fungsinya di masyarakat, apalagi dirinya seorang bidan.
Kisah tersebut menjadi sebuah gambaran, yang mungkin saja ada di daerah lain. Sebuah kenyataan yang memang harus dilakoni bidan-bidan, terutama bagi mereka yang bertugas di kawasan terpencil. Mereka tak lagi dianggap sebagai bidan semata, melainkan sudah seperti ‘ahli di semua bidang kesehatan dan penyakit’. Fungsi yang sebenarnya juga harus disadari pemerintah, kalau bidan juga bisa menjadi ujung tombak bagi penyampaian program pemerintah. Kedekatan dengan warga menjadi satu benefit yang tak mudah dibentuk aparat pemerintah lainnya. Bayangkan saja, seorang pegawai dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) misalnya, yang hendak mengkampanyekan penggunaan alat kontrasepsi, dan tiba-tiba datang ke kampung dengan aneka ceramah atau poster. Sudah pasti sistem komunikasi seperti tak akan efektif. Tetap saja, bidan menjadi pintu gerbang yang sangat cocok. Dia bisa langsung berkomunikasi dengan warga, baik secara langsung maupun tak langsung.
Hebatnya sistem komunikasi yang dibandung bidan-bidan sekarang juga tergolong modern dan lebih cepat untuk bereaksi. Sebut saja, sudah saatnya bidan menggunakan teknologi seperti penggunaan sarana media sosial. Cara ini tergolong aneh, tapi tidak jika pemerintah mau membantu dengan menyediakan akses internet.
Beberapa waktu lalu, kita bisa melihat sendiri kalau di sebuah kawasan di Sleman, DIY, ada desa yang mampu mengaplikasikan banyak ragam item kegiatan sosialisasi dengan menggunakan media sosial, terutama Facebook. Nantinya, jika memang sudah akses internet, tentu saja bidan-bidan di desa akan dengan sangat mudah memantau dan berkomunikasi dengan warganya.
Di sisi lain, kerja sama antara bidan desa dengan dokter yang biasanya berada di level Puskesmas juga menjadi sangat penting. Ragam program yang saling melengkapi juga bisa dilakukan. Apalagi banyak masalah utama yang masih melanda masyarakat yang tinggal di daerah dengan status terpencil atau jauh dari akses pusat kesehatan.
Di area pemenuhan kebutuhan gizi misalnya, sangat baik jika bidan desa dan atau dokter puskesmas memberikan contoh konkret. Bisa saja, mereka, tentu dibantu dengan pemerintah, berusaha untuk membangun sebuah perkebunan yang terintegrasi dengan area peternakan rakyat. Di sana, aplikasi teknologi berbasis ramah lingkungan bisa dikembangkan.
Contoh nyata misalnya, pemanfaatan limbah peternakan yang dijadikan sebagai pupuk yang digunakan sebagai penyubur kebun atau pertanian sayuran. Hal ini terbilang sederhana, tapi tak mudah untuk melakukannya. Butuh konsistensi tingkat tinggi agar semuanya bisa berjalan dengan baik.
Di level sanitasi dan penyediaan air bersih juga bisa dilakukan dengan motor dari tenaga kesehatan yang ada, terutama bidan dan dokter. Seperti yang ada di daerah Setonggeng, Karimun, Kepulauan Riau. Dokter dan bidan di sana, bekerja keras untuk memberikan kesadaran pada masyarakat agar air bersih dan sistem sanitasi terjaga baik. Mereka misalnya, mencari sumber mata air yang berada di tengah perkampungan. Terasa sulit, karena memang karakter air di sana berwarna merah. Setelah ketemu, lalu dibuat tempat khusus agar tak menjadi bahan rebutan, yang bisa saja semua orang masuk ke penampungan tersebut untuk mencuci atau mandi.
Meski awalnya berat, kini usaha keras mereka berhasil. Pulau yang tadinya sebagian besar masyarakatnya harus merasakan mandi dengan air berwarna merah dan keruh, kini sudah berada di level kesehatan yang lebih baik. Mereka sudah memiliki sumber penampungan air bersih, meski saluran dari rumah ke rumah belum tersambung sepenuhnya. Namun setidaknya peran bidan dan dokter yang ada di sana lebih dari sekadar memeriksa dan memberi obat orang sakit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline