Hubungan antara orang tua dan anak merupakan hubungan yang dibangun di atas dasar komunikasi. Faktanya masih banyak kesalahan komunikasi dalam keluarga berupa pengambilan keputusan secara sepihak oleh orangtua tanpa melibatkan partisipasi anak. Seharusnya, keluarga menerapkan komunikasi dua arah dalam setiap pengambilan keputusan antara orang tua dan anak agar menumbuhkan rasa percaya diri, kreativitas, optimisme dan optimalisasi potensi diri secara maksimal.
Konsep pengambilan keputusan atau decision making involvement adalah proses keterlibatan keluarga, sebagai satu kesatuan, membuat pilihan dan mengambil keputusan mengenai berbagai aktivitas. Decision making merupakan interaksi yang kompleks antara preferensi, peran, dan dinamika orang tua dan anak dalam struktur keluarga. Pengambilan keputusan dalam keluarga menjadi proses bagi anggota keluarga untuk menentukan pilihan, membuat penilaian, atau mencapai solusi bersama. Keputusan ini dibagi menjadi dua, yaitu keputusan instrumental yang berfokus pada penyelesaian masalah fungsional dan keputusan afektif yang lebih berkaitan dengan keputusan untuk penyelesaian konflik yang melibatkan perasaan, nilai, dan peran anggota keluarga.
Pada proses pengambilan keputusan, terdapat lima tahapan pengambilan keputusan keluarga, yaitu authority dan status, rules, values, discussion dan consensus, serta de facto decisions. Proses pengambilan keputusan juga dapat dilakukan melalui diskusi dan mufakat (discussion and consensus), di mana keluarga menerapkan sistem demokrasi dan menghargai kontribusi dan pendapat setiap anggota keluarga.
Secara eksplisit, istilah decision making involvement tidak disebutkan dalam Al-Qur'an. Akan tetapi, kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. dalam QS. As-Shaffat: 102-107 merupakan comtoh dari proses pengambilan keputusan atau decision making involvement dalam keluarga yang melibatkan orang tua dan anak.
QS. As-Shaffat: 102-107 merupakan kisah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, yang memuat peristiwa perintah penyembelihan Nabi Ismail As. Al-Qur'an menggambarkan sosok Nabi Ibrahim a.s. sebagai figur ayah yang sangat menyayangi anaknya. Sehingga, salah satu ujian terbesar bagi Nabi Ibrahim adalah perintah Allah Swt. untuk menyembelih putranya, Ismail As. Pada saat kejadian, usia Ismail menurut Al-Farra' masih 13 tahun, atau dalam istilah Ibn Abbas menginjak usia pubertas (ikhtilam).
Pada ayat 102 disebutkan bahwa Nabi Ibrahim bertanya langsung dengan melakukan dialog langsung dengan sang anak yaitu Nabi Ismail tentang mimpinya tersebut dan tampak, "Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?" . Nabi Ismail pun juga segera memberikan tanggapan dengan menyetejui perintah yang Allah berikan melalui mimpi sang ayah. Dialog tersebut di perjelas dengan balasan Nabi Ismail AS terhadap pertanyaan sang ayah dengan kalimat " Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar".[5]
Selain dialog dua arah, dalam QS. As-Shaffat ayat 104, juga terdapat dialog berupa monolog yang dapat dilihat dari kata yang merupakan fi'il madhi yang dimasuki dhamir muttasil hu (dia laki-laki). Dalam konteks situasi dari ayat ini ialah ketika Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail As sudah berserah diri kepada Allah dan tunduk pada kehendak-Nya.
QS. Ash-Shaffat ayat 105 "sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu." Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan". Dalam konteks bahasa kata berarti membenarkan dan merupakanfiil madhi yang dimasuki dhamir muttasil "ta" (kamu). Detail situasi ayat ini iyalah perbuatan Nabi Ibrahim merupakan ketaatan yang tulus terhadap perintah dan ketetapan Allah.
QS. As-Shaffat ayat 106 "Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata". Dalam konteks situasi ayat ini menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut menegaskan peristiwa yang dialami Ibrahim dan putranya merupakan cobaan yang sangat berat. Selanjutnya, dalam QS. As-Shaffat ayat 107, "Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar". Dalam konteks situasi ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Ismail a.s. yang semula dijadikan kurban untuk menguji ketaatan Nabi Ibrahim a.s., diganti Allah SWT. dengan seekor domba besar putih dan sehat. Dalam konteks budaya peristiwa penyembelihan kambing oleh Nabi Ibrahim As ini yang menjadi dasar ibadah kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang kemudian dilanjutkan dalam syariat Nabi Muhammad.
Berdasarkan kisah penyembelihan Nabi Ismail a.s., kita dapat melihat sikap Nabi Ibrahim a.s., sebagai orang tua yang memilih berdialog langsung untuk memberitahu Ismail tentang mimpinya agar dapat dipahami oleh Ismail yang masih kecil. Dalam dialog yang terjadi, Nabi Ibrahim a.s. telah meminimalisasi sikap otoritatifnya sebagai orang tua dalam pengambilan keputusan, yaitu dengan memahami persepsi psikologis anaknya. Implikasinya, Ismail menganggap keterlibatannya dalam keputusan ini merupakan kebebasan yang harus diterima dengan penuh tanggung jawab dan menunjukkan sikap patuh dan tunduk atas perintah penyembelihan itu. Kebebasan memilih yang ditawarkan Ibrahim kepada Ismail tidak membuat Ismail mengedepankan keingina n pribadinya untuk menyelamatkan diri dari maut. Sebaliknya, dengan percaya diri dan optimis mempersilahkan sang ayah untuk melaksanakan perintah tersebut. Hal ini terjadi karena dalam diri Ismail terdapat keyakinan akan keberhasilan apa yang dilakukannya. Ismail yakin akan dapat melampaui ujian itu, seraya mendapatkan kemenangan yang gemilang, karena termasuk orang- orang yang sabar.