Lihat ke Halaman Asli

Nur Efita Fidiyanti

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ

Dinamika Hubungan Percintaan Pemuda di Masa Pandemi

Diperbarui: 6 November 2020   18:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada masa pandemi COVID-19 memberi dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, khususnya pada kehidupan pemuda. Menurut Koentjaraningrat (1997), pemuda adalah suatu fase yang berada dalam siklus kehidupan manusia, dimana fase tersebut bisa ke arah perkembangan atau perubahan. 

Secara sosial, pemuda didefinisikan sebagai individu yang selalu aktif terlibat dalam berbagai kegiatan sosial yang bertujuan untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. Tak bisa dipungkiri, pandemi menimbulkan berbagai permasalahan dalam kehidupan pemuda, seperti pembelajaran jarak jauh yang menyita waktu, merasa jenuh dalam menjalani rutinitas di rumah, berkurangnya intensitas berinteraksi dengan teman-teman, dan sebagainya. Masa pandemi COVID-19 juga memberikan dampak yang beragam terhadap jatuh bangunnya kehidupan percintaan para pemuda.

Cinta merupakan hal rumit yang penuh misteri karena cinta memiliki banyak sudut pandang dan perbedaan pemaknaan tergantung bagaimana individu memahami makna cinta seutuhnya. Beberapa individu mendefinisikan bahwa cinta adalah soal komitmen dan tanggung jawab, sedangkan beberapa individu lain mendefinisikan bahwa cinta adalah rasa yang kita rasakan kepada orang yang kita kasihi. 

Di dalam cinta memiliki hubungan (relasi) antara pihak yang mendominasi (subjek cinta) dan yang terdominasi (objek cinta). Pada kenyataannya, cinta diibaratkan sebuah kehidupan sosial, ketika individu memiliki perasaan cinta, maka ia akan mengupayakan agar cinta dapat terwujud.

Pemuda mengalami kesulitan untuk mewujudkan cintanya pada masa pandemi COVID-19 ini. Seperti yang dialami teman saya berinisial A, ia merasa sulit untuk melakukan pre-relationship, yaitu fase dalam membangun hubungan baik dengan objek cinta (pendekatan). Pasalnya ketika melakukan pendekatan secara virtual, A merasa kurang mendapatkan feel-nya karena hanya sekedar melalui chat dan video call. A juga merasa kesulitan untuk mengenal dan memahami sifat dan kehidupan objek cintanya. 

Selain itu, A juga merasa kesulitan dalam mencari topik pembicaraan kepada objek cintanya supaya tidak membosankan. Apabila terdapat permasalahan, A merasa sulit menyelesaikannya melalui chat atau ketikan karena hal tersebut bisa menyebabkan kesalahan penafsiran. Oleh sebab itu, perlu bertemu secara langsung dalam menyelesaikan permasalahan, namun hal tersebut menjadi kendala A karena adanya pandemi COVID-19. Dan pada akhirnya, hubungan yang terjalin antara A dengan objek cintanya mengalami kegagalan.

Pada dasarnya, dalam membangun hubungan cinta perlu adanya perjuangan dan pengorbanan untuk saling mencintai, saling memiliki, saling menyayangi dan saling memahami satu sama lain. Pada fase In-Relationship, yaitu menjalin hubungan secara terus-menerus. Pada masa pandemi, komunikasi dan rasa percaya terhadap pasangan sangat penting dalam kebertahanan sebuah hubungan. 

Namun, tak jarang dalam fase ini pasangan berada pada fase jenuh sehingga memunculkan pertengkaran yang berimbas pada kandasnya hubungan. Seperti yang dialami teman saya berinisial W dalam menjalin hubungan di masa pandemi. pada masa pandemi, W merasa sangat berbeda dengan sebelum adanya pandemi. 

Biasanya W akan sering bertemu dengan kekasihnya, walaupun hanya untuk membeli es krim, makan pecel lele, dan sebagainya. Hal tersebut sangat berbeda pada masa pandemi, dimana intensitas bertemu semakin berkurang dan menimbulkan rasa kangen yang berlebihan sehingga W akan mudah ngambek dan cemburuan terhadap pasangan. 

Hubungannya pun tidak berjalan dengan mulus karena banyaknya masalah yang timbul dan memicu konflik secara berkelanjutan. Ketika tidak bisa bertemu pasangannya, W akan meminta voice note pasangannya demi untuk mengobati rasa rindunya. Tak jarang mereka pun sering melakukan video call dan mengirim pesan untuk saling berkabar dan menceritakan hal apa saja yang telah mereka lalui seharian.

Pemuda memiliki karakteristik, sifat serta pemikiran yang unik dan beragam. Karena perbedaan yang beragam inilah membuat pemuda memaknai cinta berbeda-beda, baik dari tujuan dan motif mereka dalam menjalin sebuah hubungan percintaan. Dalam menjalankan sebuah hubungan, menurut John Alan Lee dalam bukunya yang berjudul “Colors of Love (1973)” terdapat enam tipe/motif percintaan, antara lain:

  1. Eros; yaitu menganggap penting kontak fisik, seperti berpegangan tangan, ciuman dan berpelukan. Tipe cinta ini sulit direalisasikan pada masa pandemi karena adanya PSBB menyulitkan pasangan untuk berkencan, bahkan selama pandemi bertemu pasangan bisa dihitung jari sehingga berimbas pada berakhirnya hubungan percintaan karena tidak bisa memenuhi kebutuhan (nafsu) satu sama lainnya.
  2. Ludrus; yaitu individu tidak serius dalam membangun hubungan percintaan sehingga isinya hanya permainan, godaan dan rayuan saja. Tipe ini sangat mudah dilakukan secara virtual bagi para playboy untuk memenangkan hati perempuan di masa pandemic sehingga corona bukan sebagai penghalang bagi playboy untuk melancarkan aksinya.
  3. Stroge; membangun hubungan percintaan atas dasar hubungan pertemanan (partnership) yang seimbang. Para penganut tipe ini biasanya lebih saling menghargai dan memberi dukungan satu sama lain. Oleh karena itu, adanya pandemic COVID-19 tidak dijadikan sebuah kendala yang serius dalam menjalin hubungan percintaan.
  4. Mania; hubungan percintaan cenderung destruktif / toxic yang cenderung obsesif, penuh rasa cemburu dan sangat bergantung dengan pasangan sehingga banyak penganut tipe ini yang hubungannya berakhir kandas karena banyaknya permasalahan yang ditimbulkan pada masa pandemi.
  5. Pragma; dalam menjalin hubungan percintaan cenderung praktis dan realistis. Biasanya membangun hubungan dengan alasan untuk memulai hubungan yang lebih serius (hubungan jangka panjang). Sehingga pandemi tidak menjadi permasalahan yang besar, bahkan banyak pasangan yang menikah saat pandemi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 bukanlah masalah yang besar dalam kehidupan tipe pragma.
  6. Agape; tipe cinta yang tidak mementingkan diri sendiri (ego) dan fisik, biasanya didasarkan pada nilai-nilai spiritual tertentu (ta’aruf). Sehingga apabila subjek cinta serius akan langsung melamar objek cintanya. Walaupun adanya corona yang penting sah secara agama dan tidak perlu dirayakan secara mewah.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline