Lihat ke Halaman Asli

Mahalnya Harga Ayat

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Zaman beranjak semakin canggih dan maju saja. Teknologi turut dibawa serta. Hanya gara-gara kotak kubus ilusi berdimensi 17 inchi semua hal berjungkir balik. Semua serba digital. Apapun serba instan. Dan, semuanya pun serba audisi. Semenjak tren audisi menjadi marak di negeri ini semuanya serba diseleksi. Maksudnya untuk mengetahui apakah orang tersebut punya bakat atau tidak dan layak tampil atau tidak di televisi. Lantas ajang audisi pun ramai dikunjungi masyarakat kita. Banyak orang yang antri untuk menguji dirinya apakah ia berbakat atau tidak.

Anehnya, ajang menjaring idol lebih didominasi oleh kemampuan bernyanyi seseorang. Ini idol lah, itu factor lah, akademi fantasi lah, Indonesia mencari penyanyi lah, dan ajang nyanyi-nyanyi yang lainnya. Saya sempat berpikir, apakah kemampuan orang Indonesia hanya bernyanyi saja? Kok semua ajang pencarian bakat hanya berfokus ke kemampuan tarik suara seseorang. Tapi, anggapan tersebut tak bertahan lama semenjak belakangan ramai ajang pencarian bakat-bakat lainnya. Misalnya, bakat sulap, bakat lawak, bakat menghapal, sampai bakat berdakwah.

Negeri ini memang berkomposisi para talenta. Sampai-sampai menyampaikan ayat pun harus melalui ajang pencarian bakat yang prosesnya sungguh panjang dan tak gampang. Menjadi dai perlu audisi. Entahlah itu benar atau salah, keliru atau justru memang harus seperti itu. Tapi, setidaknya saya mesti berpikir berulang kali jika harus menyampaikan ayat-ayat dan ilmu kebenaran agama. Apakah saya layak atau tidak sebab saya tak pernah ikut audisi atau dinilai oleh para juri—atau berlabel dai. Atau buat mereka yang seperti saya, meski ia tahu akan kebenaran, sedangkan tak lolos kualifikasi menjadi dai apakah juga boleh berdakwah?

Salah seorang dai kondang dulu pernah berseloroh soal ini, bahwa agama kini beranjak dari sebuah tuntunan menjadi tontonan. Berdakwah kini menjadi aktivitas tontonan bertarif tinggi daripada menjadi sebuah aktivitas menuntun kearah kebaikan. Soal yang ini saya berani bilang keliru. Beberapa majelis taklim barangkali akan berpikir puluhan kali jika ingin mendapat siraman rohani dari para kyai. Apalagi jika sang kyai atau ustad tersebut kondang dan kesohor. Harus bersiap merogoh kocek dalam-dalam untuk mendapat pencerahan darinya. Dibayar jelas tidak salah sebab itu adalah rejeki. Tapi, mbok ya jangan juga pasang tarif. Bukankah memang sudah jadi kewajiban seorang dai memberikan siraman rohani.

Belakangan kabar seorang dai yang memasang tarif selangit beredar ramai di masyarakat. Entahlah kabar tersebut benar atau tidak. Jikalau benar kabar tersebut, saya yakin tak semuanya seperti itu. Banyak pula dai-dai yang puas hanya dibayar dengan ucapan terimakasih. Tapi, hal ini juga patut dijadikan teguran terutama buat para pendakwah kita. Bahwa menyampaikan ayat dan ilmu kebenaran soal agama adalah sebuah tugas, dan sama sekali bukan sebuah profesi. Atau jangan-jangan banderol yang melekat pada beberapa dai itu karena efek audisi? Uh, masa iya menjadi dai harus diaudisi.

Dai Audisi

Mahalnya tarif para pendakwah tersebut bisa jadi dipengaruhi oleh sulitnya fase yang ditempuh sang dai untuk lolos kualifikasi para juri. Mereka harus berlama-lama dalam karantina dan melalui penilaian para juri sebelum diijinkan untuk berdakwah. Harus pula menunggu hasil polling SMS dari para penonton untuk menentukan popularitas si pendakwah. Deretan kualifikasi tersebut yang barangkali bakal mempengaruhi harga sang dai. Inilah sebuah resiko jika agama sudah masuk ke ranah industri. Semuanya serba materi. Mereka yang punya popularitas dan rating tinggi banderolnya pun tinggi.

Para kyai urung mengajarkan ngaji hanya gara-gara tarifnya tak cocok dengan daftar harganya. Kewajiban menyampaikan kebenaran menjadi kekhawatiran diri tidak pernah ikut audisi. Sehingga hanya para dai yang telah lulus audisi lah yang boleh berdakwah—pun memasang tarif seenaknya demi sebuah profesi suci. Padahal jelas sudah bahwa panggilan untuk berdakwah adalah sebentuk keikhlasan seorang hamba dalam menyeru sesamanya untuk berbuat kebaikan dan kebenaran. Tak peduli ia langitan atau abangan, bahwa kemuliaan adalah sebuah anugerah buah dari keikhlasan seorang hamba bukan ditentukan oleh bayaran.

Sedikit mengutip petuah Cak Nun dalam Kenduri Cinta, “Kebanyakan orang tidak berani mengaku bahwa mereka sebenarnya tidak suka berpuasa, tidak suka sholat.Padahal justru di situlah letak kemuliaan, ketika orang dengan ikhlas mau melakukan sesuatu yang tidak disukainya—atau berani tidak melakukan sesuatu yang disukainya, demi cintanya kepada Tuhan. Sebab apa hebatnya orang yang mampu melakukan apa yang dia sukai.

Ah, andai di negeri ini punya audisi mencari bakat keterusterangan dan kejujuran, damailah negeri ini pasti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline