Lihat ke Halaman Asli

Balada Penambang Belerang

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pak Jo, panggil saja demikian, memang bukan satu-satunya penambang belerang di ketinggian Welirang. Tapi, setidaknya ia mewakili para penambang yang telah sekian lama kesepian bekerja di ketinggian. Tak seperti orang pada umumnya yang mencari sesuap nasi di daratan atau tanah datar, ia malah mengorek isi bumi di atas ketinggian. Semuanya itu dilakukan demi sebuah penghidupan yang layak bagi keluarganya. Saya belajar banyak hal soal kesejahteraan masyarakat di sisi bumi yang lebih tinggi.

Bicara Kesejahteraan Di Welirang

Perjalanan ke gunung Welirang tahun 2010 lalu bukan tanpa sebab. Dari Bandung menuju Pasuruan, Jawa Timur, adalah sebuah perjalanan panjang nun berliku demi sebuah selebrasi. Saya lulus kuliah juga akhirnya. Dan, mendaki gunung Welirang boleh dibilang sebagai rasa syukur saya atas kelulusan itu. Welirang kali itu adalah puncak kesepuluh gunung berketinggian diatas 3000 mdpl yang bakal saya daki. Dan inilah jelajah Indonesia alias Indonesia Travel saya bertema Gunung Indonesia.

Kata Gie salah satu cara mencintai tanah air adalah dengan menyusuri lekuk tubuh Ibu Pertiwi. Mendaki barangkali masuk kedalam kategori mencintai Ibu Pertiwi itu. Ah, itu mungkin terlalu muluk-muluk. Bagi saya pribadi, niat mendaki kali itu adalah untuk sebuah selebrasi semata. Jadi, terlalu naif jika dikatakan saya mendaki atas nama nasionalisme. Nasionalisme itu sungguh punya makna yang agung. Masa iya naik gunung saja dikatakan sebagai bentuk nasionalisme?

Ini sudah era globalisasi, tapi toh saya dan teman-teman masih saja setia naik kereta kelas ekonomi. Dan kereta ekonomi di Indonesia ternyata bukan hanya berisi manusia tok, melainkan ada sayuran dan binatang ternaknya juga di dalamnya. Di samping saya duduk ada ibu-ibu yang membawa sayur mayur. Dan di seberangnya lagi ada seorang bapak yang membawa beberapa ayam dalam kardus bekas mie instan yang telah diberi lubang untuk si ayam bernafas. Uh, sungguh kereta ekonomi dengan ragam muka asli Indonesia.

Kami turun di stasiun kereta Gubeng, Surabaya. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Tretes, Pasuruan. Kami mulai pendakian dari sana tepat jam lima pagi. Jalanan langsung menanjak tajam. Peluh bercucuran meski udara masih terasa dingin. Dan setelah hampir dua jam jalan kami beristirahat di sebuah tempat bernama Pet Bocor. Di sana ada sebuah warung kecil. Ada kopi, gorengan, mie rebus, nasi, dan jajanan, dijajakan. Sepasang suami istri dan seorang anak saya duga sebagai pemiliknya. Kami pun sarapan pagi di sana.

Sementara yang lain melakukan aktivitas pagi masing-masing saya menyempatkan diri ngobrol dengan bapak pemilik warung itu. Pendaki adalah wisatawan juga yang bukan hanya menikmati tempat yang disinggahi, melainkan juga mengenali kehidupan sekitarnya termasuk mengakrabi warganya. Dan perbincangan pagi ini adalah seputar kehidupannya dan keluarganya. Menurutnya, kehidupannya dan keluarganya di sini adalah sebuah pilihan satu-satunya. ‘Kami cuma bisa hidup disini, Mas. Kami gak punya tempat dibawah sana’. Begitu katanya.

Seorang warga asli yang harus tersisih dan memilih hidup di ketinggian. Tersisih oleh orang-orang kota yang berkuasa karena punya modal berlebih. Oh, malangnya mereka yang terusir sebab tak punya modal itu. Ah, sudahlah. Perjalanan harus dilanjutkan kembali. Tujuan kami bukanlah sampai di Pet Bocor, melainkan puncak Welirang. Kami berjalan lagi meninggalkan sepotong cerita kebersahajaan si bapak dan keluarganya serta juga penghidupannya.

Hutan di Welirang masih terjaga. Tentu saja jika dibandingkan dengan hutan di gunung semisal Sumbing atau Sindoro di Jawa Tengah sana, yang begitu tandus. Jalanan berbatu yang telah tertata rapi dan agak luas itu kami lewati. Saking rapi dan luasnya sehingga bisa dilewati oleh mobil berkategori dobel gardan. Dan benar saja, barusan mobil Jeep melintas melewati kami. Mobil itu membawa dua orang penambang belerang. Entah kemana tujuan mereka itu.

Terus saja kami susuri jalanan berliku nun menanjak itu. Hingga tiba pada sebuah tempat yang di sana banyak berdiri gubuk-gubuk. Tempat itu bernama Pondokan. Penamaan tersebut muncul oleh sebab banyaknya pondok-pondok penambang belerang yang berdiri di sini. Ada kehidupan kecil di hampir ketinggian 3000 mdpl. Sebuah entitas sosial yang hanya berisi beberapa pondok dan orang teronggok di pucuk Welirang.

Puncak sebentar lagi digapai. Tapi, tenaga kami sudah terkuras habis, sehingga kami harus rehat sejenak sebelum memulai lagi pendakian ke puncak. Menunggu beberapa menit lagi untuk makan dan mengumpulkan tenaga kembali. Kami beristirahat dan mendirikan tenda di Pondokan. Berdempetan dengan gubuk-gubuk sederhana. Berderet dengan para penambang kehidupan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline