Lihat ke Halaman Asli

REALITA SEKOLAH PEDALAMAN ACEH TIMUR

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Realita Sekolah Pedalaman Aceh Timur mungkin memiliki kesamaan dengan sekolah di pedalaman lain di Indonesia. Kondisi yang kadang luput dari pertimbangan para petinggi Kementrian urusan pendidikan. Luput karena memang jauh tak terjangkau, bahkan jangkauan sinyal komunikasi seluler pun belum ada. Sebuah realita yang seolah bertolak belakang dengan kehendak perubahan peningkatan mutu pendidikan Indonesia yang selalu digadang-gadang pak Menteri, apalagi kalau menteri itu baru dilantik. Inilah beberapa realita yang saya temui dan mungkin juga ada di sekolah lain di pedalaman.

1. Ada kelas tak ada siswa

Daerah pedalaman jauh lebih luas daripada daerah kota. BIla melihat jarak tempat tinggal penduduk maka harus ada sekolah dengan jarak ideal (1 sekolah / 6 Km). Kegiatan fisik (membangun gedung) pun menjadi program utama yagn ada setiap tahun. Maka tidak aneh kalau satu kelas di seklah pedalaman bisa saja hanya mempunyai 6 orang siswa.

2. Ada siswa tidak ada kelas

Di beberapa daerah pedalaman berbukit sulit mencari dataran untuk didirikan gedung sekolah. Bahkan untuk membawa material ke tempat itu juga sulit. Atau memang ada kekurangan anggaran untuk membangun sekolah baru yang butuh biaya tinggi. Akibatnya siswa menumpuk di satu sekolah yang sudah lama berdiri. Tidak aneh juga kalau siswa dalam satu kelas bisa mencapai 40 orang lebih. Kalau kelebihan siswa di sekolah perkotaan masih bisa disiasati dengan masuk sore hari, tapi di pedalaman sulit melakukan jam sore, karena jarak rumah dengan sekolah cukup jauh dan waktu tempuhnya juga lama. kalau pulagn sudah terlalu sore menjelang malam akan sangat rawan bahaya yagn bisa ditemui siswa di jalan.

3. Ada kelas tak ada fasilitas

Sekolah pedalaman belum bisa melaksanakan kurikulum dengan baik. Apalagi yang berhubungan dengan IT. Selain peralatan IT yagn minim (bahkan tidak ada), tidak sedikit sekolah yang belum ada jaringan listrik. Kalaupun ada jaringan listrik jarang sekali tersedia 24 jam. Pemadaman listrik begitu sering terjadi. Yang lebih ekstrim lagi, ada sekolah dengan gedung beton tapi tidak punya meja dan kursi untuk belajar. Kondisi ini malah sudah berjalan hampir satu semester, tapi belum jelas kapan siswa di kelas itu bisa belajar menggunakan meja dan kursi.

4. Ada kepala sekolah tak ada guru

Tidak jarang sekolah di pedalaman hanya memiliki 1 orang PNS, itulah kepala sekolahnya. Jarang sekali ada guru yagn mau ditugaskan di daerah pedalaman. Ini sebenarnya bisa diatasi dengan mengangkat guru honor. Tetapi persoalan muncul saat pembayaran gaji. Uang yang dikelola sekolah dan bersumber dari dana BOS tidak bisa digunakan untuk membayar semua guru honor yang mengambdi di sekolah pdalaman.

5. Ada guru tapi tak boleh mengajar.

Para guru yang meneirma Tunjangan Profesi Pendidik diwajibkan mengajar 24 jam tatap muka. Bila kurang dari 24 jam maka tidak akan dibayar TPP. Bila jam mengaja di sekolahnya tidak cukup maka harus cari sekolah lain. Persoalannya adalah sekolah di pedalaman terkadang hanya satu. Sekolah juga hanya punya 3 rombongan belajar. Sudah pasti jam wajib guru tidak terpenuhi. Bila ada guru IPA tidak cukup jam, lalu mau menambah jam tatap muka untuk pelajaran lain tetap tidak diakui bila tidak linear dengan Sertifkat Sertifkasinya. Itu sama saja dengan melarang guru mengajar pelajaran lain meskipun pelajaran lain itu belum ada gurunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline