Sebelum ayam berkokok, azan subuh dikumandangkan, mentari pagi masih berpeluk mimpi, mulailah aku dan beberapa orang buruh pengangkut belerang dari perut bumi Kawah Ijen, Bondowoso mendaki dan menuruni gunung Ijen. Saya berangkat dari hotel sekitar pukul 01.00 pagi waktu setempat dengan maksud ingin mendapatkan api biru dari sumbernya di kawah Ijen. Menurut petugas hotel api biru akan padam sekitar pukul 05.30 pagi. Kendaraan di pacu kencang oleh rekanku Zai dan sekitar 20 menit kami tiba di Pal Tuding. Sebelum mencapai Pal Tuding kami harus melapor ke pos jaga yang berjumlah 2 pos penjagaan, KTP dicatat dan kami memberikan uang seikhlasnya.Kendaraan langsung diparkir dan beberapa petugas yang jaga disitu menghampiri kami sambil menawarkan jasa pengantaran ke lokasi yang dituju. Saya ditemani seorang pemandu sekaligus membantu membawa peralatan kamera saya. Jalan berliku naik turun masih panjang, mengingat usia sudah mendekati 60 tahun saya meminta beberapa kali untuk berhenti dan beristirahat. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya berzikir meminta doa agar selamat sampai dan tiba kembali ke hotel. Tepat pukul 04.30 kami tiba di puncak gunung dan mulai memotret. Pemandu menganjurkan untuk agar secepatnya menuruni kawah apabila ingin mendapatkan api biru. Menuruni gunung terjal yang berliku benar-benar menguras energi, tetapi setelah sampai di lokasi api biru rasa lelah sirna, saya sempat mengabadikan api biru dan pada saat itu sudah hampir padam. Beberapa buruh tambang berpacu dengan waktu mengingat arah angin dan asap belerang sudah mengepung perut bumi kawah Ijen. Saya tak mau kehilangan momen dan waktu itu juga saya manfaatkan untuk mendatangi danau biru di dasar bumi kawah Ijen.Saya sempat berkenalan dengan salah seorang buruh tambang, pada saat itu tampaknya air minum yang dibawa habis, saya menawarkan air mineral yang saya bawa dan dia segera meminumnya. Sebagai rasa terima kasih sang buruh tambang memberi saya dan Zai bunga Belerang yang masih hangat. Perjalanan berikutnya kami harus kembali menaiki bukit, diperjalanan saya bertemu kembali dengan buruh tambang yang memberi saya Bunga Beerang. Mereka sedang beristirahat, saya sambangi mereka dan meminta izin untuk memotret. Kami sempat berbincang-bincang tentang beban belerang yang dibawa. Menurut mereka rata-rata buruh tambang bisa membawa belerangsekitar 50 – 60 kg. Tahukah anda bahwa beban yang dibawa tersebut per kilo gramnya hanya Rp. 900,- itupun nantinya harus disetorkan kepada sopir truk sekitar Rp. 1000 per orang, belerang itu nantinya akan dibawa supir truk ke pabrik pengolahan belerang. Dari perjalanan ini saya berkesimpulan bahwa buruh tambang tidak pernah mengeluh atau minta belas kasihan, mereka tidak punya pekerjaan lain, mereka tidak punya lahan untuk digarap dan satu-satunya sumber daya alam berupa belerang menjadi tumpuan harapan hidup mereka untuk menafkahi keluarga. Mereka hanya meminta doa kepada Yang Maha Esa agar kabut asap belerang melewati ambang batas tidak sampai mengganggu dalam mendapatkan rezeki untuk anak dan istri yang menunggu di rumah dengan rasa cemas dan was-was. Perjalanan di Kawah Ijen memberikan pelajaran dan pengalaman yang baik dan selalu mengucap syukur ke hadirat Allah SWT karena masih diberi kesehatan yang baik, umur panjang dan dapat melihat dunia sekitarnya dengan berbagai keindahan dan permasalah hidup yang dialami manusia. Samarinda, 28 Oktober 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H