Lihat ke Halaman Asli

Rakyat Paseban dalam Ancaman Ekploitasi Tambang Pasir Besi

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin ini yang sekarang dibayangkan warga Paseban ,Kecamatan Kencong, Kab.Jember Prov.Jawa Timur  Lubang-lubang menganga setelah alat-alat tambang berat mengeruk bijih besi di pantai, gelombang yang tak lagi terhambat melahap kampung karena gumuk-gumuk pasir itu telah dihancurkan dan tanaman penahan gelombang raib entah ke mana.

Warga desa saat ini dirisaukan oleh rencana eksploitasi pasir besi oleh PT Agtika Dwi Sejatera. Ijin ekploitasi di Paseban seluas 500 hektar dan bukan tidak mungkin akan berkembang. Nota kesepahaman di antara pihak terkait, yakni Pemerintah ,Investor dan aparat keamanan sudah di tandatangani.

Proses penambangan akan dilakukan oleh PT Agtika Dwi Sejatera . Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengeluarkan rekomendasi bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan izinnya. Kalau benar-benar diloloskan, rencana penambangan tahun 2013 itu akan berjalan mulus.

Tampaknya  rakyat menyadari akan ancamana bahaya bencana jika prosestambang itu di lakukan. Rakyatpun lantas bergerak untuk melakukan penolakan mulai dari aksi menutup akses jalan sampai hearing ke DPRD Jember. Entah bagaiman proses hearing di DPRD tapi seperti yang dilansir beberpa media menyebutkan bahwa pertemuan antara investor,pemerintah,aparat keamanan (Polres) dengan rakyat tidak mencapai kata sepakat.

Indonesian Crisis Center (ICC) sebagai NGO dan bagian dari masyarakat Jember  meskipun tidak terlibat langsung pada pro dan kontra rencana eksploitasi tambang pasir besi di Paseban,Kencong,Jember itu akan tetapi terus menerus mengikuti perkembangan melalui media dan menyerap informasi dari rakyat sekitar lokasi tambang.Prinsipnya investor kekeh akan tetap melakukan ekpolitasi tambang pasir besi di Paseban sesuai dengan ijin yang di kantongi,dilain pihak rakyat melakukan perlawanan dengan berbagai cara. ICC sangat prihatin atas konflik tambang tersebut. Sepertinya masing-masing pihak unjuk kekuatan,berapa komunikasi yang di bangun rupanya mengalami kebuntuan. Bahkan kabar terakhir DPRD akan membentuk Pansus untuk mencari solusi atas kemacetan komunikasi antara investor,pemerintah,aparat keamanan dan rakyat.

Pada posisi seperti ini selaiknya semua pihak berfikir bijak dan meletakkan pikiran pada kepentingan yang lebih luas.Jika ekpolitasi tambang pasir besi tersebut dilaksanakan harus di pikirkan untung dan ruginya dalam semua aspek tidak hanya mengedepankan aspek keuntungan financial semata. Bisa dipahami konstruk pikiran investor yang di tawarkan adalah peningkatan PAD dan lain sebagainya. Namun demikian ada hal-hal lain yang patut kita pertimbangkan bersama bahwa ada dampak bencana dibalik proses penambangan itu,seperti yg sudah terjadi di daerah lain (bias di buka di goagle).Ditengah ceruknya pro-kontra tambang pasir besi di paseban,Kencong,Jember ICC sedikit akan memberikan pendapat atau refrensi untuk dijadikan pertimbangan bersama.

Dampak sosial ekologis

Menurut rencana, wilayah eksploitasi PT Agtika Dwi Sejahtera  seluas 500 hektar  Namun, keamanan kegiatan penambangan itu dipertanyakan banyak pihak. Ahli tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dr Dja’far Shiddieq, mengatakan, pemerintah kolonial Belanda pun tidak melakukan penambangan pasir besi di wilayah manapun yang ada di Indonesia. Karena dampaknya yang berbahaya terhadap keseimbangan ekologis di wilayah itu. ”Di dunia ini hanya ada tiga gumuk pasir yang bergerak. Satu di antaranya di kawasan pesisir selatan Yogyakarta,Lebih jauh Dja’far mengatakan, kombinasi penanaman cemara udang dan gumuk-gumuk pasir bentukan alam itu merupakan penahan tsunami alamiah yang paling efektif.

Sudaryatno, dosen Fakultas Geografi UGM, seperti dikutip dari situs Jurnal Affinitas, edisi 23 Maret 2008, menambahkan, lapisan pasir di bawah permukaan tanah sangat berguna untuk meredam gempa. Jika pasir diambil, fungsi itu hilang. Ia juga mengingatkan terjadinya eksploitasi lebih jauh dan lebih dalam dari semula yang direncanakan. Risiko kerusakan alam yang menyertainya akan lebih hebat.

Wilayah eksploitasi lahan di wilayah itu terbagi atas tiga kepemilikan, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground). Tanggal 7 Januari 2003, KGPAA Pakualaman IX mengeluarkan surat kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi DIY, bernomor X/PA/2003.

Isinya antara lain bahwa lahan itu dapat dikembangkan untuk kegiatan pertanian lahan pasir, tidak diizinkan mengubah sifat fisik dan hayati, seperti untuk penambangan pasir, dan ada sanksi terhadap pelanggar.

Penghancuran

”Dampak sosial ekologis tak dilihat oleh para pemburu rente,” ujar Nurfauzi, aktivis reformasi agraria, yang juga kandidat PhD pada University of California, Berkeley. Politik invisibility juga menyangkut tidak dilihatnya yang sudah dikerjakan rakyat terhadap tanah itu.

”Infrastruktur sosial ekologis diletakkan sebagai sesuatu yang menerima risiko,” kata Oji, sapaan Nurfauzi. ”Dalam bahasa ekonomi disebut sebagai externalities. Bagi saya, ini merupakan model pembangunan yang dampaknya luar biasa,” katanya lagi.

Konsep ”kemajuan” juga dipertanyakan oleh Oji. ”Apakah petani yang terlempar ke pasar tenaga kerja bebas itu kemajuan?” kata Oji, yang mengingatkan, salah satu bentuk kekerasan pasar, baik pasar finansial maupun komoditas, adalah pemaksaan lepasnya ikatan-ikatan sosial, ekologis, dan budaya masyarakat dengan tanahnya. Biaya sosial ekologis itu jauh lebih besar dan bersifat jangka panjang, bahkan menyebabkan kerusakan permanen, baik terhadap manusia maupun alam.

Penelitian Jaringan Advokasi Tambang memperlihatkan, pada semua wilayah eksploitasi tambang antara 20 dan 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, dan banyak pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut Oji, kekerasan juga dilakukan para pejabat dan pengambil keputusan yang memberikan izin kepada industri ekstraksi yang sebenarnya sudah dihentikan di sejumlah negara.

”Kekerasan ini juga tak dilihat oleh para pemburu rente karena tujuan jangka pendek, yakni uang. Padahal, uang tak bisa mengganti kerusakan sosial, budaya, dan ekologis yang disebabkan eksploitasi itu,” ujar Oji.

ICC berharap semua pihak baik investor,pemerintah,aparat keamanan dan rakyat benar-benar memperrtimbangkan secara matang tentang rencana ekploitasi tambang pasir besi di Paseban,Kencong Jember karena antara keuntungan financial terlalau kecil dibandingkan dengan dampak bencana yang akan di rasakan rakyat pada akhirnya nanti. Namun demikian icc juga berharap rakyat tidak bertindak anarkis karena kita berada di Negara hokum, artinya kita harus menemukan rumusan elegant untuk menolak tambang. Sehingga konflik-konflik social bias  di tekan. Apapun kondisinya ICC bersepakat dengan rakyat untuk tolak tambang dengan mempertimbangkan dampak jauh ke depan. Semoga persoalan tambang di paseban Kencong Jember bias menemukan solusi terbaik bagi semua pihak. Diujung tulisan ini icc ingin menyampaikan agar semua pihak tidak hanya  menggunakan kecerdasan pikiran tetapi juga kecerdasan spiritual dan kecerdasan cinta lingkungan hidup. Bravo rakyat.

Penulis            : Nurdiansyah Rachman

Pegiat Sosial : ICC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline