Pada tanggal 1 Oktober 2022, terjadi tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 131 suporter Arema FC. Ucapan duka dari berbagai pihak mengalir, termasuk dari para politisi. Namun, beberapa politisi memasang foto diri mereka dalam pamflet ucapan duka, menciptakan kegemparan karena terlihat seperti iklan kampanye.
Reaksi negatif masyarakat terhadap pamflet tersebut menunjukkan adanya permasalahan komunikasi dan pemahaman simbolik antara politisi dan masyarakat. Dalam analisis ini, akan digunakan aliran semiotik untuk mengungkapkan kompleksitas pesan dan tanda dalam kampanye politik ini.
Dalam pamflet ucapan duka, foto politisi dengan ukuran yang dominan berfungsi sebagai tanda visual yang mencoba menyampaikan pesan empati dan solidaritas politisi terhadap korban tragedi. Namun, reaksi masyarakat yang negatif menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian pemahaman antara politisi dan masyarakat terkait penggunaan simbol ini.
Menurut Fajar Junaedi, seorang dosen Ilmu Komunikasi, pemilihan ukuran besar foto politisi dalam pamflet mencerminkan nir empati dan kurangnya kompetensi komunikasi politisi. Hal ini mengindikasikan bahwa para politisi lebih fokus pada upaya meningkatkan popularitas daripada menyampaikan pesan empati yang tulus.
Dalam perspektif semiotik sosial, pamflet ucapan duka dengan foto politisi yang besar juga dapat dipandang sebagai simbol dari dominasi kekuasaan politik dalam masyarakat.
Penggunaan simbol ini menyoroti keengganan politisi untuk menyesuaikan diri dengan konteks situasi yang penuh duka, yang mengakibatkan masyarakat merasa kurang dihargai dan kurangnya rasa simpati terhadap politisi. Terlebih lagi, politisi yang menggunakan taktik semacam ini mungkin dianggap mengejar kepentingan pribadi daripada memprioritaskan kepentingan masyarakat.
Berdasarkan analisis semiotik sosial, dapat disimpulkan bahwa kampanye politik yang menggunakan pamflet ucapan duka dengan foto politisi yang dominan mencerminkan permasalahan dalam komunikasi politik.
Politisi perlu memahami konteks dan memperhatikan simbol-simbol yang digunakan agar pesan yang disampaikan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik. Pemilih saat ini lebih cenderung mempertimbangkan kinerja politisi daripada terpaku pada janji-janji kampanye atau upaya meningkatkan popularitas melalui pamflet dan baliho. Oleh karena itu, politisi perlu mengubah pendekatan mereka dalam berkomunikasi dengan publik.
Rekomendasi yang dapat diberikan adalah politisi perlu memahami pentingnya empati dan sensitivitas dalam menyampaikan pesan. Mereka harus mampu membaca dan merespons situasi yang tengah terjadi, seperti tragedi Kanjuruhan dalam kasus ini. Penggunaan simbol-simbol yang tepat dan tidak memaksakan diri dalam konteks duka akan memperkuat pesan empati yang disampaikan.
Selain itu, politisi juga perlu meningkatkan kompetensi komunikasi mereka. Mereka harus mampu memahami pemahaman simbolik dan persepsi masyarakat terhadap pesan yang disampaikan. Melakukan riset dan memahami nilai-nilai budaya serta konteks sosial masyarakat dapat membantu dalam merancang kampanye yang lebih efektif.
Lebih penting lagi, politisi harus menempatkan kinerja sebagai fokus utama dalam kampanye politik mereka. Pemilih saat ini cenderung melihat rekam jejak dan kontribusi yang telah dilakukan oleh politisi sebelum memutuskan untuk memberikan dukungan. Oleh karena itu, politisi perlu membuktikan kompetensi dan dedikasi mereka dalam melayani masyarakat, bukan hanya mengandalkan media visual semata.