MASJID adalah tempat ibadah umat Islam. MASJID secara etimologi, berakar kata dari sajada yg artinya sujud atau tunduk, tempat kita membenamkan kepala serendah-rendahnya berserah di hadapan Tuhan. MASJID laiknya sebuah tempat ibadah, penuh khusyu’ tempat dipanjatkan sejuta do'a, puji-pujian dan harapan bagi umatnya. MASJID harusnya berperan sosial memberikan kesejukan bagi sekelilingnya.
Namun di dekat rumah saya, di Condet, di pinggiran Kota Jakarta Timur, ada sebuah masjid yang baru berdiri menambahkan fungsi masjid menjadi “tempat gaduh". Penyebab gaduhnya BUKANLAH datang dari bunyi Azan (Panggilan Sholat), melainkan suara yang jauh sebelum Azan itu sendiri. Misalkan, berbagai puji-pujian, ceramah, tilawah (pembacaan ayat Al-Qur’an) seakan harus terdengar sampai semua pelosok Indonesia, volume speaker (pengeras suara) Masjid berada di posisi yang teratas. “Celakanya” yang sering diperdengarkan itu adalah suara kaset/CD.
Apalagi dalam Ramadhan (2014) kali ini, Jam 2 pagi sudah keras sekali bunyinya membangunkan orang sahur atau di hari Jum’at, sudah gaduh pada jam 10 pagi dan itu juga masih jauh dari waktu sholat. Seringkali saya bergumam dalam hati, saya saja yang muslim kadang kesal mendengar suara berisik tak kenal waktu ini, apalagi saudara saya yg non muslim ya?
Sepanjang pengetahuan dan ingatan saya, di Tanah Suci Mekkah sendiri, bunyi dikeraskan hanya ketika Azan dan Sholat tertentu (Subuh, Maghrib, Isya, Jum'at dan Sholat Hari Raya), di luar itu- ada aturan tidak boleh dikeraskan, karena dikhawatirkan akan mengganggu umat muslim yang tua, sakit, istirahat, masih balita, sedang ber-dzikir, belajar, sholat malam, istirahat, dll.
Lalu pertanyaannya sekarang adalah- Apakah ada aturan penggunaan speaker di Masjid/Musholla/Langgar/Surau di Indonesia? Rupanya ada, silahkan unduh di:
Di dalamnya cukup detail diterangkan aturan tentang syarat menggunakan speaker, siapa yang menggunakan, waktu penggunaan, hal yang dibaca dan lainnya- silahkan anda baca detailnya sendiri. Saya kutip sebagian kecil dari aturan yang dimaksud, contohnya pada butir F ayat 1a yang mengatur tentang Waktu Subuh, isinya demikian:
“Sebelum waktu subuh, dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk pembacaan Ayat Suci Al-Qur'an yang dimaksudkan untuk membangunkan kaum Muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan diri dan lain-lain”
Kini, kembali kepada kisah Masjid di dekat rumah. Saya ingin sekali mengembalikan fungsi Masjid seperti yang sudah saya uraikan di awal tulisan ini- karena makin berkecamuk rasa di dada, membumbung pula gusar dan gundah di hati. Saya mencoba berhati-hati sekali menyikapi keinginan saya dengan Takmir (Pengurus) Masjid, karena saya paham betul jika hal ini tidak disampaikan dengan cara yang baik dan bijak dapat menimbulkan fitnah yang luar biasa bagi saya.
Lantas apa yang saya lakukan? Saya mengerti benar, kemungkinan besar saya TIDAK AKAN didengar jika saya bukan bagian dari mereka. Maka saya sempatkan beberapa kali melakukan Sholat juga Tilawah disana, bersosialisasi dan setelah dirasa wajah saya cukup familiar dengan suasana Masjid, saya melakukan diskusi tentang apapun termasuk penggunaan speaker, tentunya dengan “berbekal” amunisi aturan diatas tadi dan beberapa ayat dari Kitabullah juga al-hadits.
Dan benar dugaan saya, diskusi yang kami lakukan membuahkan hasil yang baik karena sekarang bisa dikatakan hampir tidak ada suara gaduh yang tidak semestinya keluar dari Masjid. Saya katakan “hampir” karena memang masih ada satu dua kali suara tidak semestinya keluar, tapi tidak apa- saya maklumi. Harapan saya seiring berjalannya waktu, akan datang masa dimana semuanya menjadi paham secara paripurna.