Lihat ke Halaman Asli

Shella 'Ambruk' di Tangan Guru Itu

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kekejaman itu berlangsung di depan mataku. Hari ini di sebuah sekolah yang menjadi surgaku. Siswi SMP itu dipukul hingga 'ambruk' oleh seorang guru perempuan yang berusia sekitar 60 tahun.

Selain mengajar guru itu juga menjadi penjaga perpustakaan bersama perempuan yang masih muda. Sebagai guru berpengalaman seharusnya ia bisa menjadi contoh bagi siswa. Menceritakan kejelekan orang lain dan membanggakan keturunan (sepupu berpangkat) adalah kebiasaannya di pusat ilmu itu. Kebiasaan itu niscaya menggiring orang lain menilai 'buruk' pada dirinya. Kata-kata yang demikian terdengar seperti teriakan dari mulutnya hampir setiap hari di perpustakaan. Para siswa sudah terbiasa mendengar hal itu. Secara langsung guru tersebut menanam citra buruk pada dirinya sendiri.

Shella Nur Afifah adalah Ketua OSIS SMP Babussalam Selayar. Gadis remaja ini dipilih karena kepribadiaannya dan kecerdasannya.

Shella memiliki penyakit yang menindih dadanya. Kadang-kadang dia pingsan jika rasa sakit itu datang. Shella sesungguhnya sedang bertarung melawan penyakit maut. Dan hari ini guru itu memukul dada Shella, yang membuat Shella terkapar. Untung seorang temannya cepat menahan tubuhnya. Dia membawa Shella ke samping perpustakaan yang terus menangis dan memegang dadanya yang sakit. Shella tidak sanggup berdiri, bahkan tidak sanggup duduk. Teman yang memapahnya itu terus menahan Shella sambil berjongkok.

Shella mau minum. Aku hendak mengeluarkan uang untuk membelikan dia minuman, temannya yang menahan tubuhnya itu langsung mengeluarkan uang dari kantong bajunya.

"Ada uangku!" kata temannya sambil menyerahkan uang Rp 20.000 kepada seorang siswa yang diminta untuk membeli air.

Seorang sahabat yang luar biasa.

"Kenapa dia?" Ibu Suri, seorang penjaga perpustakaan muncul.

"Dia dipukul guru itu (aku menyebut nama guru itu)!" kataku keras.

Kondisi Shella membuat jiwa kemanusiaanku bangkit. Guru siapapun tidak boleh dibiarkan melakukan tindakan seperti ini. Itu sangat kejam.

Menjatuhkan hukuman secara fisik (kalau menghukum seperti itu diyakini benar), guru harus mengetahui kondisi fisik siswa-siswinya yang akan dihukum itu. Makanya, seorang guru harus mengenal mereka luar dalam, hati, nurani, rasa, dan kecenderungan lainnya. Menjauhkan diri dari siswa-siswi itu membuat seorang guru tidak akan mampu memahami siswa-siswinya.

Guru yang aku sebut namanya itu muncul membela diri.

"Saya hanya memukulnya seperti ini!" katanya mempraktikkan pukulan itu.

"Tetapi Ibu telah memukul dadanya, padahal dia itu sering sakit dadanya," kataku dengan mata berkaca-kaca.

"Melapor moko!" guru itu berkata sambil menatap garang ke mataku. "Dia saling mengejek!"

"Tidak boleh memukul, Bu! Meskipun siswa mengejek kita atau orang lain menghina kita, tidak perlu dipukul. Anak-anak seperti mereka baru belajar bersosialisasi. Ini sekolah bukan penjara. Di sini tidak ada orang jahat."

Guru itu pergi masuk ke perpustakaan.

Aku tidak sanggup menahan air mata. Aku berjalan ke depan, membiarkan Shella dibawa masuk ke perpustakaan. Penjaga perpustakaan yang lebih muda itu yang meminta Shella dibawa masuk ke perpustakaan untuk mengembalikan kondisinya.

Pimpinan pondok dan beberapa guru pria melihatku. Pimpinan itu menyebut namaku. Kuarahkan mataku yang berair ke arahnya.

"Masa guru itu memukul perempuan!" kataku sambil menunjuk ke perpustakaan.

Guru-guru itu terkejut. Mereka bergegas menuju perpustakaan. Aku berusaha menenangkan diri. Tetapi aku tak sanggup. Wajah Shella terus terbayang. Shella adalah salah seorang adikku. Tidak boleh seorang pun menyakitinya.

Aku duduk di depan Kelas XI IPS, lalu menuju Kelas XI IPA. Air mataku belum berhenti. Aku tidak bisa melihat kekejaman di depan mataku. Kadang aku berpikir kenapa aku tercipta seperti ini.

Saat aku hendak pulang, kudengar ancaman guru itu yang diucapkan kepada temannya (penjaga perpustakaan yang masih muda itu).

"Nanti kukasih tahu Pak Patta Bone (Kepala Kementerian P dan K). Kenapa saya diperlakukan seperti anak-anak!" katanya keras, mungkin sengaja diperdengarkan kepadaku.

Agaknya guru itu merasa dirinya diperlakukan seperti anak-anak, ketika aku mengatakan kepadanya bahwa guru tidak boleh berbuat kejam atau memukul siswi. Egonya tidak sanggup menerima seorang guru baru yang usianya jauh lebih muda darinya mengajarinya cara mendidik.

Passanderang, 25 November 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline