Lihat ke Halaman Asli

Pelatihan Bisnis Paling Aneh

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PELATIHAN BISNIS PALING ANEH

Asli! Ini pelatihan bisnis paling aneh yang pernah saya ikuti. Kalau ngitung berbagai macam perencanaan keuangan dari dosen waktu ngambil lisensi RFP tahun lalu, itu udah biasa. Ngisi training dan meeting di berbagai tempat, itu mah makanan sehari-hari.Ngomongin businness plan, leadership, manajemen tim, itu juga lumrah. Denger international speaker dari berbagai negara? Bukan lagi hal yang terlalu istimewa. Tapi ini?

Kebayang ga sih, saya ikut pelatihan bisnis profesional, dan tugas kali ini adalah... bikin kue!

Bikin kue, sodara-sodara!

Gak perlu pake kalkulator finansial yang ribet. Gak perlu pake software di laptop. Gak perlu ’alat perang’ hasil laporan keuangan dan investasi, karena yang akan saya hadapi adalah mixer, tepung, dan telor!

OMG.

Money Coaching, emang beda banget dengan semua pelatihan yang pernah saya ikuti. MC –begitu biasa kami menyebutnya- adalah coaching khusus yang tidak hanya membahas masalah bisnis secara teknis, tapi lebih jauh dari itu. Dan karena itulah, tugas-tugasnya kadang ga nyambung menurut ukuran orang awam seperti saya.

Misalnya nih ya? Waktu lagi deadline laporan akhir tahun di kantor, tiba-tiba Coach ngasih tugas untuk pergi ke salon muslimah dan menikmati waktu di sana.

Hah?

Menikmati waktu? Di tengah deadline? Kok kesannya ga bertanggung jawab amat ya? Kalo disuruh backpack keliling Indonesia kayaknya saya akan dengan senang hari melakukannya. Tapi ke salon? Ngebiarin saya dibolak-balik berjam-jam kayak ikan panggang dan dikukus kayak bapau dibilang menikmati waktu? Hadeee...h, bukan ’gue banget’ deh. Ditraktir aja biasanya saya ogah.

Begitu juga dengan tugas kali ini. Emang sih, saya sering masak di rumah, tapi bikin kue? Apa hubungannya, coba?

Tapi berhubung ini tugas, seperti yang sudah-sudah, saya kerjakan juga karena berbagai alasan berikut :

Pertama, saya sudah tanda tangan akad perjanjian coaching, dengan lafadz basmallah tertulis di atasnya. I mean, ada nama Allah di sana. Seperti sebuah sumpah ketika saya menyetujui untuk berkomitmen mengikuti aturan termasuk mengerjakan semua tugas. Ga berani lah saya ingkar, sengaja melanggar perjanjian.

Kedua, saya yakin pasti ada hikmah yang baik di balik semua tugas yang diberikan walaupun sekarang saya belum mengerti. Kadang-kadang, saya merasa seperti bocah Santiago dan Coach saya sebagai Alkemisnya di novel karya Paulo Coelho.

Lagi pula, saya gak mau kebanyakan protes yang gak perlu sehingga seperti Nabi Musa yang dipecat sebagai murid oleh Nabi Khidir. Kalau hasil, itu urusan Allah. Tapi kalau berusaha sebaik mungkin menjalankan amanah, itu masalah attitude. It’s the matter of choice, you know, dan itu di tangan saya.

Ketiga, please gitu loch. Yang bener aja. Yang sudah berpengalaman ikut coaching pasti tahu kalau biaya coaching itu ga bisa dibilang murah. Rata-rata, ga jauh bedalah sama kuliah S2 manajemen bisnis, malah biasanya lebih mahal. Berhubung saya membiayai sendiri MC ini, ga mau rugi dong kalo cuma setengah hati? (Lagian Coach juga pasti tau sih, makanya sebelum daftar ada tes, hihihihi)

Sebenarnya, biaya coaching itu ga mahal, tapi sepadan. Coaching yang benar biasanya lebih personal, lebih terintegrasi dan aplikatif.Kita bahkan boleh kontak Coach kita nyaris kapan pun seandainya ada situasi yang perlu ditangani segera. Jadi serasa punya konsultan pribadi, mentor, trainer, guru, terapis dan sahabat sekaligus. Saking bedanya Coaching dan mentoring dengan kuliah biasa, di Universitas Oxford sampe ada satu fakultas tersendiri lho. (Belum sanggup deh kalo harus coaching ke sana)

So, berhubung hal-hal di atas, walaupun sempat pake ikon kaget waktu dikasih tugas, tidak ada hal yang saya lakukan kecuali menyanggupinya. Sami’na wa ato’na.

Tada....

Tugas pertama adalah memasak yang paling malas saya masak, dan harus dibawa ke Ciwidey saat out bond pekan depan untuk dinilai.

Tugas kedua adalah –berhubung Coach tahu saya suka nulis- menuliskan behind the scene tugas ini, mempublikasikannya di FB dan men-tag beliau.

Baiklah.

Saya diminta bikin cookies. Berhubung saya ga bisa bikin macam-macam kue, akhirnya saya putuskan untuk bikin kue nastar aja.

Sebenarnya saya emang males banget bikin kue nastar. Pertama, ini bukan lebaran. (ngaruh gitu?)

Kedua, saya bukan orang yang demen ngemil, apalagi makanan manis. Karena kalo mau yang manis-manis, gampang, tinggal ngaca doang, hehehehe. :p

Nah, proses bikinnya aja udah ribet. Udah lama ga buat. Akhirnya, setelah googling dan tanya sana-sini, perjuangan pun di mulai.

Saya sibuk menyemangati diri sendiri. Mirip seperti back sound di acara Takeshi Castle sebelum pesertanya jatuh ke jaring. ”Come on, kamu pasti bisa. Ayo, maju terus. Maju tak gentar membela yang bayar. Ganbatte, Hikaru. Ciayoo....”

Di rumah, udah jadi pameo umum kalo masak itu yang penting niat. Kalo niat, masakan sederhana pun akan jadi enak. Kalo sambil BT, biasanya ada aja yang salah. Kematengan, gosong, dll.

Jadi hal pertama yang saya usahakan adalah bikin diri happy dulu. Berhubung akhir-akhir ini jadwal di kantor lumayan padat, sengaja saya tunda supaya ga pas lagi tepar-teparnya maksain bikin.

After that, cari buah nanas untuk bikin selai. Karena pengin yang segar tanpa pengawet, saya ga mau pake selai yang udah jadi di toko.

Sayangnya, tukang buah langganan pas ga ada. Terpaksa cari ke toko buah yang lumayan jauh. Udah gitu, ga bisa minta kupasin lagi. Mana ada beberapa bahan yang ga ada di toko kue lagi. Saya ga dapat butter, untuk campuran mentega, kehabisan kayu manis atau vanili untuk sedikit ditambahkan pada campurannya agar lebih beraroma.

Sampe rumah, pisau juga kok rasanya ga ada yang tajam. Akhirnya, dengan pisau daging besar yang biasa dipakai para koki restoran, saya mulai mengupas nanas. Tau sendiri kan nanas ada mata-mata yang bisa bikin gatal? Jadi dengan susah payah, sebisa mungkin saya bersihin mata-mata tersebut, setelah dicuci bersih, lalu diparut.

Bikin selainya itu harus dengan api kecil supaya ga gosong, dan harus sambil terus diaduk sampe harum dan kental. Setelah dingin, baru deh disimpan.

Cobain dikit ah.

Mmmm..., ga terlalu manis, tapi memang sengaja supaya masih terasa kesegaran nanasnya. Lumayan sih. Not bad lah..., for amatir, hehehe. :D

Berikutnya adalah bikin adonan kue. Wah, ini seru. Karena resep yang ada dalam gram, dan timbangan di rumah ga tau di mana, akhirnya saya konversikan sebisanya. Ketika udah jadi dan siap dipulung, kok sepertinya terlalu kuning ya? Sepertinya kebanyakan mentega? Apa karena saya hanya pake kuning telurnya aja? Kok dibentuknya kurang bagus ya? Kurang rata ngaduk apa gimana gitu?

Katanya kalo bahan pecah saat dipulung, bisa jadi kurang mentega, ya sudah, saya tambahkan lagi sedikit mentega, dibentuk dengan penuh perasaan (hehehe), diisi, dan dilapisi kuning telur.

Rasanya seperti jadi peserta Junior Master Chefyang di televisi.

Kue sudah masuk ke oven, tapi..., wait.

Kok ga rata gini nih oven? Berat sebelah? Memang di loyang kedua kuenya tidak sampai penuh sehingga hanya terisi separuh. Apa akal? Hemh..., ganjal pake kayu deh.

Berhubung oven yang ada di rumah adalah oven tradisional, tanpa pengatur suhu dan waktu. Jadi lamanya memanggang dilakukan manual dengan melihat jam, sedang suhunya mengandalkan perasaan.

Jiah, perasaan.... gubrak deh.

Baru beberapa menit...

Lho?

Loyang paling bawah dipenuhi mentega yang mencair, dan berbusa karena pengaruh telur. Bagian bawahnya sepertinya mulai gosong karena terlalu panas, padahal biasanya ini api standar untuk memasak. Sebagian letak kuenya juga bergeser ke kiri.

Waduh.

Panik.

Saya berusaha menenangkan diri. Memindahkan letak loyang paling bawah ke bagian tengah oven, dan loyang satunya lagi ke bagian atas. Setelah ditutup, dari balik kaca ovennya saya lihat sepertinya ada perbaikan. Syukurlah.

Tapi berhubung belum yakin, saya segera ambil tindakan. Oke, semua bahan masih ada. Segera aja adonan lain dibuat. Kali ini dengan lebih hati-hati memakai mentega walaupun kayaknya ga jauh beda. Dengan cepat, saya isi satu loyang untuk cadangan berikutnya. Sambil ketawa-ketiwi sendiri plus memohon pada si kue supaya jadinya enak, hihihihi.

Tepat dua puluh menit, dua loyang kue dalam oven saya angkat, dan dinginkan.

Gosong sodara-sodara.

Ufh.

Tepok jidat.

Bagian bawahnya telanjur gosong, bagian tengah dan atas kuenya untungnya tetap bagus. Satu loyang yang tadi saya pindahkan ke atas sih kelihatan lumayan. Tapi rasanya? Hemh..., coba dulu.

Wah, saya langsung terhibur. Sekalipun teksturnya rapuh karena kebanyakan mentega, tapi rasanya oke lah. Saya memang ga suka kue yang bentuknya bagus kalo rasanya kurang enak. Well..., walaupun bentuknya ancur, kalo rasanya enak setidaknya masih bisa dimakan dan bukan untuk pajangan doang.

Alhamdulillah..., yes, yes, yes. Saya kegirangan seperti Dora habis menyelesaikan petunjuk ke tiga.

Loyang ke tiga rasanya jadi tidak begitu penting.

Hehehehehehe.

Kue dari loyang pertama yang gosong saya potong bagian bawahnya. Setelah semuanya matang, siap dikemas.

Alhamdulillah, saatnya potret-potret dan laporan. J

Trus, hikmah tugas ini?

Mana saya tahu? Walaupun sempat menebak-nebak, tapi ya sudahlah. Bersabar aja sampai ketemu Coach di Bandung nanti.

Wish me luck.

Doakan sodara-sodara.

(usap peluh)

:)

***

(kayaknya sih bersambung...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline