Di tengah-tengah riuhnya program pembangunan di daerah perkotaan, membuat kita lupa bahwa di sebuah pelosok desa terdapat masyarakat yang sedang berjuang keras dalam upaya mencapai kehidupan yang lebih baik. Perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia di desa terpencil sering kali berada di posisi yang termarjinalkan. Mereka mereka sering menyarakan pendapata mereka, tetapi sering tidak terdengar; mereka juga memiliki potensi, tetapi jarang mendapat pengakuan. Namun, upaya pemebrdayaan yang dilakukan di desa melati, sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra, telah membukan mata kita semua bahwa melalui pemberdayaan masyarakat berbasis partisipasi, mereka dapat menjadi agen perubahan yang luar biasa.
Desa Melati merupakan contoh nyata bagaimana keterlibatan masyarakat menciptakan dampak positif bagi desa dan juga kehidupanorang-orang yang tinggal didalamnya. Semua ini berawal ketika pemerintah desa bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal meluncurkan program "Kebebasan dalam Bersuara". Program ini mengajak dan mendukung perempuan dari berbagai lapisan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di desa, termasuk dalam alokasi anggaran pembangunan.
Selain perempuan, kelompok yang biasanya termarjinalkan seperti penyandang disabilitas dan lansia juga dilibatkan melalui kegiatan diskusi kelompok atau biasa disebut musyawarah. Dalam forum ini, mereka diberi ruang untuk menyuarakan kebutuhan dan harapan yang diinginkan mereka. Misalnya, ibu Fatimah, seorang penyandang tunanetra, mengusulkan pengadaan jalur ramah disabilitas di jalan utama desa. Suara seperti ini tidak hanya didengar dan berakhir seperti angin lalu, tetapi juga diwujudkan oleh masyarakat desa dengan gotong royong. Partisipasi masyarakat di Desa Melati adalah inti dari setiap langkah perubahan. Tidak hanya sebagai penerima manfaat, masyarakat dilibatkan sebagai perancang dan pelaku utama dari setiap inisiatif. Model partisipasi ini dimulai dengan mengadakan Musyawarah Desa yang mengundang seluruh elemen masyarakat untuk berkontribusi, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia.
Kisah Ibu Fatimah, seorang penyandang tunanetra, adalah salah satu contoh nyata. Ia tidak hanya menyuarakan kebutuhan jalur ramah disabilitas, tetapi juga terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya. Melalui gotong royong, masyarakat desa secara kolektif membangun jalur-jalur tersebut, menjadikannya simbol kolaborasi antara kelompok rentan dan masyarakat umum.
Selain itu, perempuan di Desa Melati kini menjadi motor penggerak koperasi desa. Koperasi ini tidak hanya berfungsi sebagai unit ekonomi, tetapi juga sebagai ruang pendidikan, diskusi, dan pengambilan keputusan yang melibatkan perempuan dalam perencanaan pembangunan desa. Di sini, partisipasi bukan sekedar slogan, melainkan praktik nyata yang menjadikan setiap individu sebagai agen perubahan.
Keunikan dari program di Desa Melati terletak pada kombinasi antara teknologi dan tradisi lokal. LSM lokal bekerja sama dengan universitas terdekat untuk mengembangkan aplikasi berbasis ponsel sederhana yang disebut "Melati Voice". Aplikasi ini memungkinkan perempuan dan kelompok rentan untuk menyampaikan ide, melaporkan masalah, atau bahkan memulai petisi desa.
Namun, teknologi bukan satu-satunya inovasi. Tradisi lokal juga menjadi alat pemberdayaan. Misalnya, perempuan yang ada didesa dilatih untuk membuat kerajinan anyaman berbahan dasar rotan yang diambil dari hutan sekitar. Dengan teknologi pemasaran digital, produk-produk ini dipromosikan hingga ke mancanegara.
Hasil dari program ini sungguh luar biasa. Dalam dua tahun terakhir, Desa Melati mengalami banyak perubahan positif, misalnya dari segi ekonomi, Pendapatan rumah tangga meningkat rata-rata 50% dalam dua tahun terakhir. Perempuan yang dulu bergantung pada penghasilan suami kini mampu mendukung keuangan keluarga melalui kerajinan dan hasil tani yang dipasarkan secara digital. Selain ekonomi ada juga dampak posisitif lain seperti Fasilitas publik yang ramah penyandang disabilitas kini tersedia, seperti jalur khusus dan toilet umum yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Layanan kesehatan keliling juga diperkenalkan untuk lansia, sehingga mereka tidak perlu lagi menempuh jarak jauh untuk mendapatkan perawatan. Dan juga, Perempuan desa yang dulunya dianggap tidak memiliki suara kini menjadi pemimpin dalam berbagai kegiatan. Sementara itu, penyandang disabilitas yang sebelumnya memandang sebelah mata kini menjadi inspirasi bagi masyarakat lainnya. Partisipasi aktif dalam program ini telah meningkatkan rasa percaya diri masyarakat, terutama perempuan dan kelompok rentan. Mereka merasa diakui, dihargai, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi komunitas.
Salah satu sosok inspiratif dari Desa Melati adalah Ibu Dewi, seorang ibu rumah tangga yang awalnya merasa suaranya tidak berarti. Melalui program ini, ia belajar kepemimpinan dan berhasil memimpin koperasi desa. Kini, koperasi tersebut tidak hanya menjadi pusat ekonomi, tetapi juga tempat perempuan dan kelompok rentan berbagi cerita, belajar, dan saling menguatkan. Ibu Dewi sering berkata, "Ketika kami diberi ruang untuk berbicara, kami tidak hanya menemukan suara kami, tetapi juga kekuatan untuk mengubah masa depan."
Apa yang terjadi di Desa Melati mengajarkan kita bahwa pemberdayaan bukan sekadar memberikan bantuan, tetapi menciptakan ruang di mana setiap orang dapat berpartisipasi aktif. Ketika perempuan dan kelompok rentan diberi kesempatan untuk terlibat, mereka tidak hanya berkontribusi untuk komunitas, tetapi juga mengubah narasi tentang siapa mereka dan apa yang dapat mereka capai.
Pemberdayaan di Desa Melati menunjukkan bahwa inovasi tidak selalu berarti teknologi canggih; terkadang, inovasi adalah tentang bagaimana kita menciptakan pendekatan sederhana yang menghormati tradisi sekaligus memberdayakan setiap individu.