Indonesia kaya akan kebaragaman adat budaya serta agamanya. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki sejarah panjang dalam memadukan agama dan politik. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, politisasi agama di Indonesia telah mengalami intensifikasi yang signifikan dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial dan politik. Hal tersebut tidak hanya berdampak pada kebijakan pemerintah, tetapi juga pada kohesi sosial dan identitas nasional suatu bangsa.
Sejak masa kemerdekaan, agama telah memainkan peran penting dalam politik Indonesia. Pada awal kemerdekaan, berbagai partai politik berbasis agama mulai bermunculan, seperti Masyumi, Nahdhatul Ulama dan lain sebagainya. Namun, pada masa Orde Baru, agama cenderung diatur ketat untuk mencegah potensi konflik dan memastikan stabilitas politik. Setelah reformasi, ketika Indonesia bertransisi menuju demokrasi, ruang politik menjadi lebih terbuka, namun politisasi agama juga mengalami peningkatan.
Politisasi agama merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mendukung sekularisme dalam politik, hal tersebut bisa kita lihat dalam berbagai pemilu dan kebijakan publik. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah pada Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana isu-isu agama digunakan secara intensif untuk mencemari atau memojokkan calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang beragama Kristen dan etnis Tionghoa. Kampanye tersebut menampilkan bagaimana agama dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik, memobilisasi massa, dan mempengaruhi hasil pemilu. Dalam kebijakan pemerintahan dapat kita lihat dari berita-berita beberapa hari ini, yaitu terkait pemerintahan yang memberikan izin pengelolaan tambang bagi ormas keagamaan dengan maksud sebagai penghargaan kepada kelompok agama yang telah berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, kebijakan tersebut menuai kritikan dari beberapa masyarakat dan para pengamat politik yang menilai bahwa aturan tersebut adalah langkah politik Jokowi. Fenomena tersebut menjadi perbincangan hangat dan sensitif dalam lingkungan kita, terutama terkait dampaknya yang dapat kita lihat dan rasakan sampai saat ini.
Politisasi agama tidak hanya berdampak pada dinamika politik, tetapi juga tatanan sosial. Penggunakan agama sebagai alat politik sering kali menimbulkan konflik di tengah masyarakat, terutama dalam garis agama atau etnis. Hal tersebut dapat mengancam kerukunan antarumat beragama dan merusak sendi-sendi kemanusian dan spirit persaudaraan serta menurunya keharmonisan sosial yang selama ini terjaga. Tidak hanya itu, sentimen politik dan agama yang berlebihan juga akan memakan banyak korban. Maluku dan Aceh menjadi salah satu contoh dari korban politisasi agama.
Politisasi agama boleh-boleh saja dilakukan tetapi secara wajar, digunakan untuk kepentingan keadilan sosial dan kemaslahatan publik luas, bukan untuk kepentingan individu dan kelompok tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H