"Kota Seribu Muadzin!"
Aku terpekik sendiri manakala sesiang ini mendapati kota yang sedemikian ribut karena adzan. Aku muslim tapi aku sering tidak nyaman dengan suara adzan yang bersautan apalagi masjidnya berdekat-dekatan. aku segera keluar dari kamar hotel. tak ada salahnya menuruti panggilan seribut ini, demikian kataku dalam hati.
"Maaf masjid terdekat dimana ya?"
Aku bertanya pada penjaga yang sedang bersandar nikmat dengan rokok dan kopinya. dia hanya menunjuk dadanya.
"Maaf?"
Dia tersenyum dan sekali lagi menunjuk dadanya. aku merasa harus segera pergi, perasaanku tidak enak. Tanpa mengucap terima kasih aku pergi, tapi ada hal yang menahanku pergi, aku ingin memastikan pintu kamarku sudah terkunci rapat. Segera aku berbalik dan penjaga itu sudah hilang! tapi rokok dan kopi masih ada disitu ditambah satu hal, kembang! ah, mungkin benar kata temanku yang lulusan pondok, makin banyak umat belum tentu makin sedikit praktek mistis, bahkan mungkin malah semakin besar. belum sempat aku beranjak, penjaga itu datang lagi.
"Saya suka bunga mas"
sepertinya dia segera memahami situasi kerut keningku dan menjelaskan dengan penjelasan seadanya.
"Tapi kenapa pake daun pisang?"
"Lha kenapa enggak?"
Aku jadi bingung. iya ya, kenapa nggak boleh pake daun pisang?
"Saya memang suka bunga mas. istri saya penjual bunga buat ziarah, kaya gini ini. tadi ada tamu mo ziarah ke tempat almarhum kiai mantri, sudah saya bawakan, eh gak jadi"