Lihat ke Halaman Asli

Tentang Puisi dan Rima

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Saya tertarik dengan puisi sudah lama tapi baru mulai mencoba belajar intens menulis puisi setahun yang lalu. Saya seperti orang gila, jika anda melihat arsip tulisan saya, di bulan juni 2010 itulah saya berketetapan hati menulis puisi. ada 13 puisi dan bulan selanjutnya saya menulis 63 puisi. buat saya waktu itu seperti euforia. dulu pernah saya menulis satu dua puisi, tapi ya begitulah, saya bahkan tidak mengerti dengan puisi yang saya tulis sendiri.

"ziz, endapkan dulu. endapkan dulu, banjir selalu membuat muara menjadi dangkal karena lumpur" begitu saran seorang teman saya yang sudah bertahun-tahun menulis puisi melihat saya seperti kesurupan setiap hari menulis puisi. dia salah satu alasan saya belajar menulis puisi. dan dari euforia menulis itu, saya tertambat pada satu hal, rima. ya puisi dengan rima. saya terpesona. awalnya dari sini, selengkapnya bisa dibaca dibawah ini,

Membuang Malam

sudah terlalu banyak aku kumpulkan malam
dari episode biasa saja sampai rindu dendam
koleksi malamku telah membuatku tenggelam
ke dalam situasi bernama demam

sudah terlalu banyak aku kumpulkan malam
juga warna hitam
jelaga kata-kata menjadi gumam dalam demam
pelangi hati hanya tampak biru lebam

sudah terlalu banyak aku kumpulkan malam
mencari cinta, semakin dalam menyelam
mencari cinta, semakin asyik menyulam
mencari cinta, semakin kuat mencengkeram

sudah terlalu banyak aku kumpulkan malam
besok aku jual malam yang mencekam
lusa aku berdagang malam yang menikam
bulan depan aku jual stock malam yang diam

sudah terlalu banyak aku kumpulkan malam
beberapa bahkan bukan malam, hanya bekas-bekas malam
atau malah malam bajakan yang seperti piringan diam namun kuat terekam
dan malam bajakan ini berisi rendaman cucian rindu yang gagal teredam

ada akhiran 'am', saya terkesima manakala akhiran 'am' ini bertaut dan kesannya selalu kelam. saya berusaha membuatnya ceria namun entah saya tidak bisa. akhiran 'am' ini menyadarkan saya bahwa rima mungkin tak sekedar bermain kata, dan mulai dari puisi ini selanjutnya saya selalu mencari akhiran.

Sedu Sedan Zaman Edan

Rombongan terhormat dalam sedan
membelah kerumunan wajah dengan tangis sedu sedan
sementara beberapa gadis berjalan genit menuju salon untuk dandan
melirik sebentar pada kerumunan yang sudah kesakitan sekujur badan
mobil-mobil keluar dari rumah besar para komandan
menghentikan kerumunan yang mengusung badan terbungkus tikar pandan
ah … pengorbanan di negeri ini tidak pernah sepadan
ah sudahlah … begitulah situasi tiap hari di negeri ini berpadu padan
tak perlu kau memikirkannya sampai edan
yang penting segera antar itu istrimu ke bidan
dan mengistirahatkan badanmu supaya pikiran tak ikut zaman edan …

Puisi di atas akhirannya 'dan'. seingat saya, hari dimana saya menulis puisi itu dengan ajaib bertemu dengan benda atau orang yang akhirannya 'dan'. saya jatuh cinta pada rima. bagi saya, menyukai rima seperti menyukai tetes-tetes sisa. Terkadang mendapati sebuah akhir yang menyenangkan, menyedihkan atau begitu saja tanpa rasa. Jika percaya, hidup akan ada akhirannya. begitu yang saya tulis di blog saya .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline