Lihat ke Halaman Asli

Pernikahan

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Description: ayat1.jpg

A.PENGERTIAN NIKAH

Nikah yaitu ‘aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisaa [4]: 3,

(#qßsÅ3R$$sù$tBz>$sÛNä3s9z`ÏiBÏä!$|¡ÏiY9$#4Óo_÷WtBy]»n=èOuryì»t/âur(÷bÎ*sùóOçFøÿÅzwr&(#qä9Ï÷ès?¸oyÏnºuqsù

Terjemahnya:

“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (nikahilah) seorang saja,….” (Q.S. an-Nisaa [4]: 3).

Selain itu, perkawinan dalam fiqhi berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.

Menurut Fiqhi, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.

Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

Defenisi menurut para ulama memerinci makna lafal nikah ada empat macam. Pertama, nikah diartikan aqad dalam arti yang sebenarnya dan diartikan percampuran suami istri dalam arti kiasan. Kedua, sebaliknya, nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan aqad berarti kiasan. Ketiga, nikah lafal musytarak (mempunyai dua makna yang sama). Keempat, nikah diartikan adh-dhamm (bergabung secara mutlak) dan al ikhtilath (percampuran). Makna percampuran bagian dari adh-dhamm (bergabung) karena adh-dhamm meliputi gabungan fisik yang satu dengan fisik yang lain dan gabungan ucapan satu dengan ucapan lain; yang pertama gabungan dalam bersenggama dan yang kedua gabungan dalam aqad.

Dari keterangan di atas jelas bahwa nikah diucapkan pada dua makna, yaitu aqad pernikahan dan hubungan intim antara suami istri. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan saja pernikahan adalah salah satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan, akan tetapi pernikahan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan yang lain. Serta perkenalan itu akan menjadi jalan buat yang menyampaikan kepada bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya.

Sabda Rasulullah Saw.:

يَامَعْشَرَالشَّبَابِ مَنِ السْتَطَاعَ مِنْكُمُالبَاءَةَفَلْيَتَزَوَّج فَأِنَّهُ أَغَضُّ لِلبَصَروَأَحصَنُ لِلفَرجِ وَمَن لَمْ يَستَطِع فَعَلَيهِ بِاالصَّومِ فَأِنّهُ لَهُ وَجَاءٌ. (رواه الجماعة)

Artinya:

“Hai pemuda-pemuda, barang siapa yamg mampu di antara kamu serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin. Karena sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan matanya terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharakannya dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa, hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang.”(H.R. Muttafaqun Ilaih).

عَن عَائِشَةَ تَزَوَّجُ النِّسَاءَفَأِنَّهُنّ يَأتِينَكُم بِالمَالِ (رواه الحاكم وابوداود)

Artinya:

“Dari Aisyah, kawinilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu.” (H.R. Hakim dan Abu Dawud).

عَن عَمرِوبنِ العَاصِ: الدُّنيَامَتَاعٌ وَخَيرُمَتَاعِهَاالمَرأَةُالصَّالِحَةُ (رواه مسلم)

Artinya:

“Dari Amr bin Ash, dunia itu harta benda dan sebaik-baik harta benda ialah wanita yang shalehah.” (H.R. Muslim).

Faedah yang terbesar dalam perkawinan ialah, untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan. Sebab seorang perempuan, apabila ia sudah nikah, maka nafkahnya jadi wajib atas tanggungan suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (turunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, karena kalau tidak perkawinan tentu manusia akan menurutkan sifat kebinatangan, bencana dan permusuhan antara sesamanya, yang mungkin juga sampai sampai menimbulkan pembunuhan.

Maka dari sebab syariat Islam itu mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan ini. Ada beberapa sebabmengapaseseorang ingin menikah, di antaranya:

1.Karena mengharapkan harta benda

2.Karena mengharapkan kebangsawannya

3.Karena kecantikannya

4.Karena agama dan budi pekertinya yang baik.

Yang pertama: karena harta, baik kehendak ini dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Yaitu seorang yang ingin kawin dengan seorang hartawan, sekalipun dia tahu bahwa pernikahan itu tidak akan sesuai dengan keadaan dirinya dan kehendak masyarakat, orang yang mementingkan pernikahan disebabkan harta benda yang diharapkan, maka ini bukanlah pandangan yang sehat, apalagi hal ini terjadi dari pihak laki-laki, sebab sudah tentu akan menjatuhkan martabatnya di bawah pengaruh perempuan dari hartanya. Hal ini demikian adalah berlawanan dengan sunnah dan perintah Allah yang menjadikan manusia. Allah Swt. telah menerangkan dalam al-Qur’an cara yang sebaik-baiknya bagi aturan kehidupan manusia. Firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisaa [4]: 34,

ãA%y`Ìh9$#cqãBº§qs%n?tãÏä!$|¡ÏiY9$#

Terjemahnya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (Q.S. an-Nisaa [4]: 34).

Sabda Rasulullah Saw.:

مَن نَكَحَ المَرأَةَ لِمَالِهاحَرَّمَ اللَّهُ مَالَهَاوَجَمَالَهَاوَمَن نَكَحَهَا لِدِينِهَارَزَقَهُ اللَّهُ مَالَهَاوَجَمَالَهَا. (الحديث)

Artinya:

“Barang siapa menikahi seorang perempuan karena hartanya dan rupanya yang manis, niscaya Allah akan melenyapkan hartanya dan kecantikannya. Dan barang siapa menikahinya karena agamanya niscaya Allah akan memberi kurnia kepadanya dengan harta dan kecantikannya.”(H.R. Bukhari dan Muslim).

مَن تَزَوّجَ إمرَأةً لِمَالِهَا لَم يَزِدهُ إلّافَقرًا.

Artinya:

“Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena kekayaanya, niscaya tidak akan bertambah kekayaanya, sebaliknya kemiskinan yang akan didapatnya.”(H.R. Bukhari dan Muslim).

Yang kedua: karena mengahrapkan bangsanya (bangsawan), berarti mengharapkan gelaran atau pangkat. Ini juga tidak akan member faedah sebagaimana yang diharapkannya, malahan dia akan bertambah hina dan dihinakan, karena kebangsawanan salah seorang di antara suami isteri itu, tidak akan berpindah kepada yang lain.

Sabda Rasulullah Saw.:

مَن تَزَوّجَ إمرَأةً لِعِزِّهَا لَم يَزِدهُ إلأذِلأً (رواه البخارى)

Artinya:

“Barang siapa mengawini seorang perempuan karena kebangsawanannya, niscaya tidak akan menambah Allah kecuali kehinaanya.” (H.R. Bukhari).

Yang ketiga: karena kecantikannya, ini lebih baik sedikit dari harta dan pangkat, sebab harta dapat lenyap dengan lekas, tetapi kecantikan seorang dapat tinggal sampai tua, asal dia janganbersifat bangga dan sombong karena kecantikannya itu.

Sabda Rasulullah Saw.:

لَاتَزَوّجُواالنِّسَاءَلِحُسنِهِنّ فَعَسَى حُسنُهُنّ أن يَردِيَهُنّ ولَاتَزَوّجُوهُنّ أموَالِهِنّ فَعَسَى أموَالُهُنّ أن تَطغِيَهُنّ وَلكِن تَزَوّجُوهُنّ عَلَى الدِّينَ وَلَاَمَةٌ سَودَاءُذَاتُ دِينِ أفضَلُ. (رواه البيهقى)

Artinya:

“Janganlah kamu mengawini perempuan itu, karena ingin melihat kecantikannya, mungkin kecantikannya itu akan membawa kerusakan bagi mereka sendiri dan janganlah kamu mengawini mereka karena mengharap harta mereka mungkin hartanya itu akan menyebabkan mereka sombong, tetapi kawinilah mereka dengan dasar agama dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asal ia beragama.” (H.R. al-Baihaqi).

Yang keempat: karena agama dan budi pekerti. Inilah yang patut dan baik menjadi ukuran untuk pergaulan yang akan kekal, serta dapat menjadi dasar kerukunan dan kemaslahatan rumah tangga serta keluarga seumumnya. Firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa [4]: 34,

àM»ysÎ=»¢Á9$$sùìM»tGÏZ»s%×M»sàÏÿ»ymÉ=øtóù=Ïj9$yJÎ/xáÏÿymª!$#4

Terjemahnya:

“Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu hak wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada…” (Q.S. an-Nisa [4]: 34).

Sabda Rasulullah Saw:

مَن نَكَحَهَا لِدِينِهَارَزَقَهُ اللَّهُ مَالَهَا. (رواه البخاري)

Artinya:

“Barang siapa mengawini seseorang perempuan karena agamanya, niscaya Allah mengkarunianya dengan harta.” (H.R. Bukhari).

خَيرُالنِّسَاءِ اِمرَأةٌ إن نَظَرَت إلَيهَا سَرّتكَ وَإن أمرَتَهَاأطَاعَتكَ وَإن غِبتَ عَنهَا حَفِظَتكَ فِي مَالِكَ وَنَفسِهَا. (رواه البخاري)

Artinya:

“Sebaik-baik perempuan, ialah perempuan yang apabila engkau memandang diturutnya perintah engkau, dan jika engkau bepergian dipeliharanya harta, dan dijaganya dirinya.” (H.R. Bukhari).

Jadi dengan jelas hendaknya agama dan budi pekerti itulah yang menjadi pokok yang utama untuk pemilihan dalam pernikahan.

B.DASARHUKUM NIKAH

Kata hukum memiliki dua makna, yang dimaksud disini adalah:

1.Sifat syara’ pada sesuatu seperti wajib, haram, makhruh, sunnah, dan mubah.

2.Buah dan pengaruh yang ditimbulkan sesuatu menurut syara’, seperti jual beli adalah memindahkan pemilikan barang terjual kepada pembeli dan hukum sewa menyewa (ijarah) adalah pemilikan penyewa pada manfaat barang yang disewakan. Demikian juga hukum perkawinan atau pernikahan berarti penghalalan masing-masing dari sepasang suami istri untuk bersenang-senang kepada yang lain, kewajiban suami terhadap mahar dan nafkah terhadap istri, kewajiban istri untuk taat terhadap suami dan pergaulan yang baik.

Dalam tulisan ini dimaksudkan hukum makna yang pertama, yaitu sifat syara’. Maksudnya hukum yang ditetapkan syara’ apakah dituntut mengerjakan atau tidak, itulah yang disebut dengan taklifi (hukum pembebanan) menurut ulama ushul fiqhi. Menurut ulama hanafiyah, hukum nikah itu adakalanya mubah, mandub, wajib, fardhu, makhruh, dan haram. Sedangkan ulama madzhab-madzhab lain tidak membedakan antara wajib dan fardhu. (Muhammad bin ismail al-bukhari, kumpulan hadis shahih al-bukhari, (cet.I :Solo: As-Salam Publising, 2011. h.54)

Secara personal hukum nikah berbeda disebapkan perbedaas kondisi mukallaf, baik dari segi karakter kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf. Masing-masing mukallaf mempunyai hukum-hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan kondisinya yang spesifik pula, baik persyaratan harta, fisik, dan atau akhlak.

1.Fardhu

Hukum nikah fardhu, pada kndisi seseorang yang mampu biaya wajib nikah, yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri bahwa ia mampu menegakkan keadilan dan pergaulan dengana istri yakni pergauluan dengan baik. Demikian juga, ia yakin bahwa jika tidak menikah pasti akan terjadi perbuatan zina, sedanagkan puasa yang dianjurkan nabi tidak akan mampu menghindarkan dari perbuatan tersebut. Nabi bersabda:

عَن عَبدُالله بنُ مَسعُود،قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلّم: يَامَعشَرَالشّبَاب مَنِ استَطَاعَ مِنكُمُ البَاءَةفَليَتَزَوّج،فَإنّهُ أغضَ لِلبَصَروَأحصَن لِلفَرَج،وَمَن لَم يَستَطِع فَعَلَيهِ بِالصّوم فَإنّهُ لَهُوَجَاء. أخرجه البخاري ومسلم والترمذي وأبوداود

Artinya:

“Dari Abdullâh bin Mas’ud ra, berkata: Rasulullâh Saw bersabda: wahai anak muda, siapa di antara kamu yang mampu menikah, menikahlah, karena dengan menikah akan lebih memejamkan mata (dari melihat yang haram) dan menjaga diri (dari zina), apabila kamu tidak mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa adalah kendali bagi dirinya”. H.R. Bukhâri, Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud. (Muhammad bin ismail al-bukhari, 2011: 54)

Pada saat seperti diatas, seorang dihukumi fardhu untuk menikah, berdosa meninggalkannya dan maksiat serta melanggar keharaman. Meninggalkan zina adalah fardhu dan caranya yaitu menikan dengan tidak mengurangi hak seseorang maka ia menjadi wajib. Menurut kaidah ulam ushul: “sesuatu yang tidak mencapai fardhu kecuali dengan mengerjakannya maka ia hukumnya fardhu juga”. Fardu wajib dikerjakan dan haram ditinggalkan.

2.Wajib

Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki kemampuan biaya nikah, mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan yang baik dengan istri yang di nikahinya, dan ia mempunyai dugaan kuat akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah. Keadaan seseorang seperti diatas wajib untuk menikah, tetapi tidak sama dengan dengan kewajiban pada fardu nukah diatas. Karena dalam fardhu, dalilnya pasti atau yakin (qath’i) sebab-sebabnyapun juga pasti. Sedangkan dalam wajib nikah, dalil dan sebab-sebabnya adalah atas dugaan kuat (zhanni), maka produk hukumnyapun tidak qath’i tetapi zhanni. Dalam wajib nikah hanya ada unggulan dugaan kuat (zhann) dan dalilnya wajib bersifat syubhat atau samar. Jadi, kewajiban nikah pada bagian ini adalah hawatir melakukan zina jika tidak menikah, tetapi tidak sampai ketingkat yakin.

3.Haram

Hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiyayaan jika menikah. Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat mencapai yang haram secara pasti; sesuatu yang menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia haram juga. Jika seseorang menikahi wanita pasti akan terjadi penganiyayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikahnya menjadi haram.

Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut, karena nikah disyariatkan dalam islam untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah kemaslahatan ini tidak tercapai jika nikah dijadikan sarana mencapai bahaya, kerusakan, dan penganiyayaan. Nikah orang tersebuh wajib ditinggalkan dan tidak memasukinya, dengan maksud melarang perbuatan haram dan inilah alternatif yang paling utama, yakni harapan meninggalkan menikahNikah orang tersebuh wajib ditinggalkan dan tidak memasukinya, dengan maksud melarang perbuatan haram dan inilah alternatif yang paling utama, yakni harapan meninggalkan nikah.

4.Makruh

Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran. Seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak dihkhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi penganiayaan istri yang tidak sampai ketingkat yakin.

Terkadang orang tersebut mempunyai dua kondisi yang kontradiktif, yakni antara tuntutan dan larangan. Seperti seseorang dalam kondisi yakin atau diduga kuat akan terjadi perzinaan jika tidak menikah, berarti ia antara kondisi fardu dan wajib nikah. Disisi lain , ia juga diyakini atau diduga kuat melakukan penganiayaan atau menyakiti istrinya jika ia menikah. Dalam hal ini, apa yang dilakukan terhadap orang tersebut? apakah sisi keharaman nikah yang lebih kuat atau sisi fardu dan wajib nikah?

Pada kondisi seperti diatas, orang tersebut tidak diperbolehkan menikah agar tidak terjadi penganiayaan dan kenakalan, karena mempergauli istri dengan buruk tergolong maksiat yang berkaitan dengan hak hamba. Sedangkan khawatir atau yakin akan terjadi perbuatan zina tergolong maksiat yang berkaitan dengan hak Allah. Hak hamba didahulikan jika bertentangan dengan hak Allah murni. Kami maksudkan disini, bahwa jika seseorang dikhawatirkan berselingkuh atau bermaksiat dengan berzina jika tidak menikah dan disisi lain dikhawatirkan mempergauli istri denganburuk jika menikah. Disini terdapat dua kekhawatiran yang sama, maka yang utama adalah lebih baik tidak menikah karena khawatir terjadi maksiat penganiayaan terhadap istri.

Analisis diatas lebih kuat karena maksiat penganiayaan tidak ada obatatau jalan untuk mencari keselamatan. Sedangkan meyakini akan terjadinya perselingkuhan dan hanya merasa khawatir, ada terapi yang mengobatinya seperti petunjuk Nabi dalam hadisnya tentang perintah menikah bagi orang yang ada kemampuan biaya nikah. Jika tidak ada kemampuan, diperintahkan berpuasa. Dalam kondisi seperti ini, seseorang diperintahkan berpuasa agar menjadi terapi baginya, dimana berpuasa dapat mematahkan syahwat. Dikarenakan dengan lapar ini keringat menjadi kering, darah menjadi minim, dan kecintaan seksual menjadi berkurang.

5.Fardu, mandub, dan mubah

Seseorang dalam kondisi normal, artinya memiliki harta, tidak khawatir dirinya melakukan maksiat zina sekalipun membujang dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat kepada istri. Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat tentang hukum nikahnya:

Pendapat pertama, fardu menurut kaum zhahiriyah, dengan alasan:

a.Zhahirnya teks-teks ayat amupun hadis mengenai perintah nikah seperti firman Allah Swt.:

(#qßsÅ3Rr&ur4yJ»tF{$#óOä3ZÏBtûüÅsÎ=»¢Á9$#urô`ÏBö/ä.Ï$t6ÏãöNà6ͬ!$tBÎ)ur4bÎ)(#qçRqä3tuä!#ts)èùãNÎgÏYøóãª!$#`ÏB¾Ï&Î#ôÒsù3ª!$#urììźurÒOÎ=tæÇÌËÈ

Terjemahnya:

“dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan”. (QS. An-Nur [24]: 32)



Dan hadits Nabi saw:

عَن عَبدُالله بنُ مَسعُود،قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلّم: يَامَعشَرَالشّبَاب مَنِ استَطَاعَ مِنكُمُ البَاءَةفَليَتَزَوّج،فَإنّهُ أغضَ لِلبَصَروَأحصَن لِلفَرَج،وَمَن لَم يَستَطِع فَعَلَيهِ بِالصّوم فَإنّهُ لَهُوَجَاء. أخرجه البخاري ومسلم والترمذي وأبوداود

Artinya:

“Dari Abdullâh bin Mas’ud ra, berkata: Rasulullâh Saw bersabda: wahai anak muda, siapa di antara kamu yang mampu menikah, menikahlah, karena dengan menikah akan lebih memejamkan mata (dari melihat yang haram) dan menjaga diri (dari zina), apabila kamu tidak mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa adalah kendali bagi dirinya”. H.R. Bukhâri, Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud.

Allah Swt. dan rasul-Nya memerintahkan menikah dan lahirnya perintah menunjukkan wajib. Pendapat ini diperkuat dengan praktik nabi saw dan para sahabat yang melakukannya dan tidak ada yang memutuskannya. Andaikata mandub atau sunnah tentu ada yang meninggalkannya.

b.Nabi Saw. melarang beberapa sahabat yang membujang, dan tidak menikah secara berlebih-lebihan. Sebagaiman dalam hadits shahih Al-Bukhari dan Muslim:

عَن أنَسِ بنُ مَالِك رَضِيَ اللهُ عَنهُ قَالَ: ‘‘جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهط إلى بُيُوتِ أزوَاج النّبِي صَلّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلّم، يَسألُونَ عَن عِبَادَةِ النّبِي صَلّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلّم، فَلَمّا أخبَرُوا، كَأنّهُم تَقَالُوها، قَالُوا: فأين نَحنُ من رَسُول اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلّم، وَقَد غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدّمَ مِن ذَنبِه وَمَا تَأخّر؟ قَالَ أحَدُهُم: أمّا أنَا فَأُصَلِّي اللّيلَ أبَدًا، وَقَالَ الآخَر: وَأنَا أصُومُ الدهر ولا أفطَر، وَقَالَ الآخَر: وَأنَا أعتزل النِّسَاء، وَلَا أتزَوّج أبَدا. فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلّم إلَيهِم، فَقَالَ: ‘‘أنتم الّذِين قلتم كَذَا كَذَا؟ أما والله، إني لأخشاكم لله، وَأتقَاكُم لَهُ، ولكني أصُومُ وَأفطُر، وأُصَلِّي وأرقد، وأتزوج النِّسَاء، فَمَن رغب عَن سُنّتِي فَلَيسَ مِنّي’’. أخرجه البخاري ومسلم والنسائي

Artinya:

Dari Anas bin Malik ra berkata: “Ada tiga orang datang ke rumah isttri-istri baginda Nabi Saw menanyakan perihal ibadaha baginda. Ketika mereka diberitahu, mereka merasa tertinggal jauh dari ibadah baginda. Mereka berkata: “Jauh sekali kita dari baginda Rasulullah Saw, padahal baginda telah diampuni segala dosa-dosanya”. Seseorang diantara mereka berkata: “Aku akan sembahyang sepanjang malam selamanya”. Seorang yang lain berkata: “Aku akan puasa sepanjang tahun dan tidak berbuka seharipun”. Yang lain lagi berkata: “Aku akan meninggalkan perempuan (untuk beribadah) dan tidak akan kawin selamanya”. Kemudian datang baginda Rasulullah Saw seraya berkata: “Kenapa kamu berkata demikian?, ingatlah, demi Allah, aku adalah orang yang paling takut diantara kalian kepada Allah, dan paling bertakwa diantara kalian kepada-Nya, tetapi aku terkadang berpuasa dan terkadang berbuka, sembahyang (malam) dan juga tidur, aku juga mengawini perempuan, maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnah (amalan)-ku ini, ia tidak termasuk golonganku”. (H.R. Bukhari, Muslim dan al-Tirmidzi)

Dalam hadits diatas rasulullah menolak kemauan sebagian sahabat dengan penolakan yang kuat sampai beliau lepas tanggung jawab. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Saw melarang membujang. Larangan membujang menunjukkan haram karena meninggalkan yang wajib (menikah). Dalil inilah yang menunjukkan kewajiban menikah.

c.Seseorang, walaupun dalam keadaan normal atau tidak akan melakukan maksiat zina. Akan tetapi yang menjadi wajib adalah berhati-hati terhadap dirinya dan memeliharanya dengan menikah. Nikah ini dituntut dengan tuntutan yang kuat seperti melihat aurat wanita lain hukumnya haram, karena terkadang mendatangkan perbuatan zina dan mendorong nafsu untuk mencarinya. Dalam hal ini hukumnya sama, yaitu fardu atau wajib.

C.RUKUN DAN SYARAT NIKAH

1.Rukun nikah

1.Rukun Akad Nikah

Akad nikah tidak dapat diadakan, keculi setelah memenuhi beberapa syarat berikut ini:

a.Kedua belah pihak (calon mempelai) telah mencapai usia akil baligh. Jika seseorang dari keduanya hilang iangatan atau masih kecil, maka berarti belum mencapai usia baligh, sehingga akad nikah tidak dapat dilaksanakan.

b.Menyatukan tempat pelaksanaan ijab qabul. Dengan pengertian, tidak boleh memisahkan antara ijab dan qabul dengan pembicaraan atau hal-hal lainnya selain. Tidak disyaratkan, pelaksanaan qabul dilakukan langsung setelah ijab. Meski pertemuan pelaksanaan ijab qabul itu berlangsung cukup lama dan qabul dilakukan dengan adanya selang waktu dari ijab serta tidak ada hal-hal yang menunjukkan penolakan dari kedua belah pihak, maka pelaksanaan ijab qabul tersebut tetap satu. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh para ulama penganut madzhab Hanfi dan Hanbali. Jika qabul ijab tersebut dilakukan dengan selang waktu, maka yang demikian itu masih tetap sah, selama masih berada dalam majelis serta kedua mempelai belum melakukan kesibukan lainnya. Demikian ditegaskan didalam kitab Al-Mughni. Lebih lanjut dikatakan: “Karena, hukum yang berlaku dalam majelis sama seperti yang berlaku pada pelaksanaan akad. Adapun dalil yang dijadikan sebagai landasan dalam hal ini adalah disyaratkannya serah terima dan juga hak pilih dalam berbagai perjanjian jual beli. Sehingga dengan demikian, jika kedua mempelai tersebut terpisah tempat, maka ijab yang dimaksudkan .

c.lafadz (penyampaian) qabul tidak bertentangan dengan ijab kecuali pertentangannya itu lebih baik dari seharusnya. Yaitu, jika pihak wali mengatakan: Aku nikahkan kamu dengan putriku, si fulan dengan mahar seratus junaihah. Lalu si mempelai menjawab: Aku terima nikahnya dengan mahar dua ratus junaihah, maka dengan demikian, pernikahan itu telah sah, karena mencukupi dari yang seharusnya.

d.Kedua belah pihak saling mendengar satu dengan lainnya dan memahami, bahwa maksudnya adalah pelaksanaan nikah. Meskipun salah satu dari keduanya tidak memahami kata perkata dari kalimat yang diucapkan (dalam bahasa lain). Karena, yang terpenting adalah tujuan dan niat.

2.Syarat Bentuk Kalimat Ijab dan Qabul

Mengenai bentuk kalimat, ijab dan qabul ini, para fuqaha telah mensyaratkan harus dalam bentuk madhi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang akan datang). Contoh untuk bentuk pertama adalah si wali mengatakan “ Zawwajtuka Ibnatii” (Aku nikahkan kamu dengan putriku). Sebagaimana bentuk madhi, lalu bentuk madhi juga. Sedangkan contoh bagi bentuk kedua adalah si wali mengatakan: “Uzawwijuka Ibnatii” (Aku akan nikahkan kamu dengan putriku). Sebagai bentuk mustaqbal. Lalu si mempelai laki-laki menjawab: “Qabiltu” (Aku terima nikahnya). Sebagai bentuk madhi.

Merekamensyaratkan hal itu, karena adanya persetujuan dan kesepakatan dari kedua belah pihak merupakan rukun yang sebenarnya bagi akad nikah. Sedangkan ijab dan qabul hanya merupakan manivestasi dari persetujuan tersebut. Dengan kata lain kedua belah pihak haru smemperlihatkan secara jelas adanya persetujuan dan kesepakatan tersebut pada waktu akad nikah berlangsung. Adapun bentuk kalimat yang dipakai menurut syariat bagi sebuah akad nikah adlah bentuk madhi. Yang demikian itu, juga karena adanya persetujuan dari kedu abelah pihak yang bersifat pasti dan tidak mengandung pengertian lain.

Di lain pihak, bentuk mustaqbal tidak menunjukkan secara pasti persetujuan antara kedua belah pihak tersebut pada saat percakapan berlangsung. Sehingga, jika salah seorang diantaranya mengatakan: “Uzawwijuka Ibnatii” (Aku akan nikahkan kamu dengan putriku). Lalu pihak yang lain menjawab: “Aqbalu nikahaha” (Aku akan menerima nikahnya). Maka, bentuk tersebut tidak dapat mensahkan akad nikah. Karena, kalimat yang dikemukakan mengandung pengertian yang bersifat janji, sedangkan perjanjian nikah untuk masa mendatang belum disebut sebagai akad pada saat itu.

Seandainya mempelai laki-laki mengatakan: “Zawwijni Ibanataka” (Nikahkan aku dengan putirmu), lalu si wali mengatakan: “Zawwajtuha laka” (Aku telah menikahkannya untuk kamu). Maka dengan demikian akad nikah pada saat itu telah terlaksana. Karena, kata “Zaawijni” (Nikahkan aku) menunjukkan arti perwakilan dan akad nikah itu dibenarkan jika diwakili oleh salah satu dari kedua belah pihak.

3.Syarat Sahnya Pernikahan

Syarat sahnya pernikahan adalah syarat yang apabila terpenuhi, maka ditetapkan padanya seluruh hukum akad (pernikahan). Syarat pertama adalah halalnya seorang wanita bagi calon suami yang akan menjadi pendampinya. Artinya, tidak diperbolehkan wanita yang hendak dinikahi itu berstatus sebagai muhrimya, dengan sebab apapun, yang mengaharamkan pernikahan diantara mereka berdua, baik itu besifat sementara maupun selamanya. Syarat kedua adalah saksi yang mencakup hukum kesaksian dalam pernikahan, syarat-syarat kesaksian dan kesaksian dari wanita yang bersangkutan. Mayoritas fuqaha’ mereka itu ulama Hanfiyah dan Asy-Syafi’iyah dan yang masyhur pendapat ulama Hanbaliyah, pegumuman nikah dapat dicapai melalui persaksian dalam akad dan persaksian ini boleh ukuranminimal dalam pengumuman. Persaksian tidak boleh cacat dan akad menjadi tidak sahtanpa persaksian. Adapun penggabungan sesuatu dari beberpa periklanan dan pengumuman lain hukumnya dianjurkan (mustahab). Andaikata yang dilakukan hanya berbagai periklanan dan pengumuman nikah tanpa persaksian pada akad, maka akadnya rusak. Persaksian ketika berlangsungnya akad menurut mereka wajib bagi keabsahannya. Nabi  Saw. bersabda:

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

Artinya:

“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali. “ (HR. Abu Daud no. 1785, Tirmidzi no. 1020 dan Ibnu Majah no. 1870 Maktabah Syamilah)

Nabi Saw.  juga bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

Artinya:

“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika ia telah digauli maka ia berhak mendapatkan mahar, karena lelaki itu telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Daud no. 1783, Tirmdizi no. 1021 dan Ibnu Majah no. 1869 Maktabah Syamilah).

Syiah Imamiyah, Az-Zhariyah, dan Imam Ahmad berpendapat, tidak ada syarat persaksian pada keabsehan pernikahan. Dasar mereka adalah QS. An-Nisa [4]:3. Pada ayat Allah di atas menjelaskan bilangan wanita yang halal dinikahi seorang lakii-laki dan tidak menyebutkan adanya persaksian. Andaikata saksi menjadi syarat sah nikah, tentunya Allah menjelaskannya pada ayat tersebut. Tetapi Allah tidak menjelaskannya. Demikian itu menunjukkan tidak ada persyaratan saksi dalam nikah. Pendapat yang mempersyaratkannya berarti menambah Kitab Allah dan ini tidak boleh.

Pada mazhab Imam Malik ada tiga periwayatan. Pertama, periwayatan bahwa saksi menajdi syarat sah nikah sebelum bergaul. Kedua, riwayat bahwa saksi menajdi syarat dalam bergaul. Ketiga, saksi tidak menjadi syarat nikah, hanya nikah dipersyariatkan terbuka atau diiklankan.

Pendapat yang masyhur dari Malik, bahwa persaksian tidak menjadi syarat penyelenggara akad nikah. Syarat penyelenggara akad nikah adalah pengumuman secara mutlak. Saksi menjadi syarat halalnya bergaul, artinya bukan menjadi syarat akad, melainkan syarat pengaruh yang ditimbulkannya. Persaksian saja tidk cukup tanpa diumumkan dan dua orang saksi jika saling berwasiat secara tersembunyi belum timbul akad, akan tetapi harus diumumkan sebagai akad kemudian dinyatakan oleh persaksian terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh akad. Nabi saw. dan Abu Bakar ra. Menjadikan pengumuman nikah berkaitan dengan keabsahannya. Al-Qur’an tidak mempersyaratkan adanya saksi pada akad nikah sebagi persyaratan dalam jual beli. Dalam firman Allah Swt. Q.S. al-Baqarah [2]:282,

3(#ÿrßÎgô©r&ur#sÎ)óOçF÷èt$t6s?4ÇËÑËÈ

Terjemahnya:

dan persaksikanlah jika engkau berjual beli “ (Q.S. al-Baqarah [2]: 282)

Untuk menolak pendapat diatas, kami katakan bahwa yang tegas pendapat Malik tidak seperti itu, yaitu bahwa persaksian menjadi syarat dalam pernikahan. Adapun pengumaman diselenggarakannya nikah merupakan sesuatu yang disukai (mustahab) dan dianjurkan. Pendapat yang mengatakan tidak adanya persyaratan saksi adalah pendapat yang lemah atau ganjil dalam mazhab Imam Malik. Dengan demikian mazhab Imam Malik sesuai dengan jumhur. Perbedaan antara Malikiyah dan yang lain hanya terletak pada waktu yang wajib dinyatakan persaksian agar akadnya sah.

Waktu wajib persaksian. Waktu wajib adanya persaksian pada akad nikah menurut jumhur adalah pada saat akad. Jikalau tidak ada persaksian pada saat berlangsungnya akad, maka nikahnya rusak. Menurut Malikiyah persaksian tidak syaratkan saat timbulnya akad dan saat berlangsungnya. Ia wajib dinyatakan saat sebelum bergaul sedangkan persksian pada saat berlangsungnya akad adalah sunnah hukumnya bukan yang lain. Jika persaksian didapati sebelum bergaul, berarti telah dilaksanakannya kewajiban dan luput dari sunnah, demikian akad menjadi sah pada saat diselenggarakannya. Jika tidak ada saksi pada saat itu, akad menjadi rusak dan pergaulan hukumnya maksiat yang diharamkan. Pengaruh perbedaan tampak ketika dua orang mengadakan akad dengan ijab dan qabul tetapi tanpa kehadiran saksi, salah satunya atau keduanya merupakan fudhuli (Tenaga lebih: bukan wali, bukan wakil, dan bukan diri sendiri) atau anak yang sudah pandai (mumayyiz). Kemudian ada izin akad ini dari orang yang menguasai izin, yakni orang tua atau wali dihadapan para saksi. Akad tidak sah menurut jumhur karena waktu persaksian pada saat berlangsungnya ijab qabul bukan pada waktu izin. Izin disini tidak ada pengaruhnya melainkan pada akad yang sah, sedangkan akad yang terlepas dari persaksian adalah akad yang rusak (fasid). Berbeda dengan pendapat Malikiyah, akad itu sah karena mereka tidak mempersyaratkan persaksian pada akad pada saat berlangsungnya akad. Jumhur ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Zahiriyah, demikian itu tidak ada pengaruh pada keabsahan nikah. Karena apa yang diketahui 4 atau 5 orang, yaitu wali, suami, istri, dan dua orang saksi tidak dikategorikan sembunyi. Persaksian adalah jalan yang digariskan asy-syari’ untuk mengumumkan pernikahan, karena kehadiran dua orang saksi bersama dua orang yang berakad dan wali telah mencapai makna dan pengumuman, walaupun dilaksanakan secara tertutup. Sebab rahasia atau sesuatu yang tersembunyi tidak pada antara 4 atau 5 orang sebagaimana yang kami sebutkan. Ulama Malikiyah berpendapat, jika dua orang saksi itu tersembunyi berarti nikahnya adalah nikah rahasia yang batal karena tidak memenuhi pengumuman yang menjadi syarat sahnya akad. Pengumuman perintahkan dan lahirnya perintah menunjukkan wajib, oleh karena itu, pengumuman harus dipenuhi karena ia menjadi syarat sah pernikahan. Nabi saw. telah menjadikannya sebagai sangkutan sahnya pernikahan.

Syarat dalam persaksian pertama, mukallaf, seorang saksi harus sudah baligh dan berakal. Tidak sah nikah yang dipersaksikan oleh anak kecil dan orang gila. Anak kecil walaupun sudah pandai (mumayyiz) tidak sah persaksiannya kepada orang lain karena persaksianitu semacam penguasaan (perwalian), anak kecil tidak mempunyai penguasaan terhadapdirinya apalagi terhadap orang lain. Kehadiran anak kecil tidak mencapai makna pengumuman dan penghormatan secara sempurna di hadapan kaum pria yang sudah baligh dan dewasa. Demikian pula tidak sah akad yang dihadiri orang-orang gila dan orang-orang semakna dengan mereka, kaena mereka bukan ahli persaksian. Mereka tidak memahami mekna akad dan kehadirannya pun tidak mencapai makna pengumumandan penghormatan. Syarat kedua, jumlah saksi. Tidak sah akad nikah disaksikan seorang laki-laki atau seorang laki-laki satu dan perempuan stud an tidak sah pula akad disaksikan banyak orang perempuan kecuali di suatu daerah yang khusus dihuni kaum wanita. Jumlah saksi minimal dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, sehingga dalam akad yang disunnahkan adalah adanya persaksian. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah [2]:282,

(#rßÎhô±tFó$#urÈûøïyÍky­`ÏBöNà6Ï9%y`Íh(bÎ*sùöN©9$tRqä3tÈû÷ün=ã_u×@ã_tsùÈb$s?r&zöD$#ur`£JÏBtböq|Êös?z`ÏBÏä!#ypk9$#br&¨@ÅÒs?$yJßg1y÷nÎ)tÅe2xçFsù$yJßg1y÷nÎ)3t÷zW{$#ÇËÑËÈ

Terjemahnya:

“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dan orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatnya” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282)

Ayat diatas secara umum juga menunjukkan keahlian wanita dalam persaksian bersama kaum pria, kecuali ada teks yang meniadakannya seperti dalam masalah hukuman dan qishah. Menurut para ulama Syafi’iyah dan Hanabilah dalam pendapat yang masyhur bahwa laki-laki itu syarat. Akad tidak sah kecuali disaksikan dua orang laki-laki. Kaum az-Zahiriyah berpendapat, persaksian dalam pernikahan adalah dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan atau empat orang perempuan. Mereka hanya memperbolehkan persaksian kaum wanita (tanpa laki-laki). Syarat ketiga, beragama Islam, apabila masing-masing dari suami istri beragama islam, tidak sah pernikahannya jika para saksi bukan dari kalangan muslim karena karena kehadiran mereka tidak bermakna penghormatan terhadap kedua mempelai yang muslim. Persaksian adalah semacam perwalian, tidak ada penguasaan nonmuslim terhadap muslim. Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa [4]:141,

t3`s9ur@yèøgsª!$#tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9n?tãtûüÏZÏB÷sçRùQ$#¸xÎ6yÇÊÍÊÈ

Terjemahnya:

“dan Allah sekali-kali tidak akan member jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (Q.S. an-Nisa [4]: 141)

Saksi akad, sekalipun dari sisi persaksian yang terkandung dalam akad, tetapi ia serupa dengan pelaksanaannya karena dalam persaksian ada pendaftaran dan pengukuhan terhadap hak-hak suami terhadap isteri. Oleh karena itu, tidak sah persaksian non muslim terhadap muslim sebagaimana tidak sah pula persaksiannya dalam pelaksanaan pernikahan. Adapun pernikahan sama-sama non muslim sebagaimana mereka terhadap sebagian yang lain sesuaidengan aturan agama dan penetapan perkara mereka. Akad mereka sah sekalipun tidak ada saksi sama sekali jika agama mereka tidak mempersyaratkan saksi dalam keabshan pernikahan. Apabila isteri kafir kitabiyah sedangkan suami beragama islam. ulama Syafi’iyah, Hanbali, dan Muhammad Zufar dari mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa tidak boleh persaksian orang-orang kafir kitabi, persaksian harus dari orang-orang muslim, karrena persaksian sepasang suami isteri yang maksiat dan didalamnya ada muslim. Tidak ada penguasaan non muslim terhadap muslim dan tidak ada penguasaan terhadap wanita kitabiyah saja disini persaksian padanya dan sekaligus suami muslim. Sebagaimana kami tegaskan diatas bahwa persaksian akad serupa dengan saksi pelaksanaan, tidak sah persaksian non muslim terhadap muslim sebagaimana tidak sah pula persaksian dalam pelaksanaan. Abu Hanafiyah dan Abu Yusuf berpendapat, sah pernikahan antara muslim dan wanita kitabiyah dengan persaksian orang-orang kitabi di karenakan persaksian itu terhadap isteri, bukan terhadap suami.

Syarat ketiga adalah Keridaan si wanita sebelum pernikahan.

Rasulullah  Saw. bersabda:

لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ

Artinya:

“Tidaklah seorang janda dinikahi hingga diminta pengakuannya dan tidaklah dinikahi seorang gadis hingga dimintai izin. “ Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apa tandanya kalau ia mengizinkan? “ Beliau menjawab, “Jika ia diam. “ (HR. Bukhari no. 4741 dan Muslim no. 2543 Maktabah Syamilah)

Ibnu Abbas  as. bercerita bahwasanya seorang gadis datang kepada Nabi Saw. mengadukan bapaknya yang telah menikahkannya dengan seseorang sedangkan ia tidak menginginkannya. Maka beliau pun memberinya pilihan untuk meneruskan atau menghentikan pernikahannya itu. (HR. Abu Daud no. 1794 Maktabah Syamilah)

Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata:

جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ قَالَ فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا فَقَالَتْ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ إِلَى الْآبَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ

Artinya:

“Pernah datang seorang gadis kepada Nabi Saw. seraya berucap, ‘Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk meninggikan derajatnya.’” Buraidah berkata, “Maka Nabi صلى الله عليه وسلم menyerahkan masalah tersebut kepada gadis itu, maka gadis itu pun berkata, ‘Aku tidak keberatan atas tindakan ayahku, hanya saja aku ingin agar kaum wanita mengetahui bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini (yaitu memaksakan pernikahan).”(HR. An-Nasai no. 3217 dan Ibnu Majah no. 1864 Maktabah Syamilah)

4.Adanya mahar (maskawin)

Adanya mahar (maskawin) yang diberikan kepada si wanita, baik disebutkan mahar tersebut atau tidak disebutkan ketika akad nikah.Allah Swt. berfirman, dalam Q. S. AN-Nisa [4]: 4,

(#qè?#uäuruä!$|¡ÏiY9$#£`ÍkÉJ»s%ß|¹'s#øtÏU4bÎ*sùtû÷ùÏÛöNä3s9`tã&äóÓx«çm÷ZÏiB$T¡øÿtRçnqè=ä3sù$«ÿÏZyd$«ÿÍ£D

Terjemahnya:

“Berilah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. “ (Q.S. An-Nisa [4]: 4)

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan seorang shahabat miskin yang ingin menikah agar menyerahkan mahar kepada calon pasangannya walaupun berupa cincin dari besi.

5.Dihadiri oleh dua orang saksi

Nabi  Saw. bersabda:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ

Artinya:

“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. “ (Sunan Ad-Daruquthni : 3/225 Kitabunnikah)

Adapun syarat untuk menjadi saksi di sini yaitu: Berakal, Baligh, Islam, Laki-laki dan Adil.

Sekali lagi, jika seluruh atau salah satu syarat di atas tidak dipenuhi, batallah pernikahan seseorang.

2.Rukun Nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:

a.Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.

b.Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).

c.Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)

d.Wali Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki. Dalam hadits disebutkan: إِلاَّ بِوَلِيٍّ لاَ نِكَاحَ “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i) Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ “Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)

e.Dua orang saksi Saksi adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma: لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ (رواه الطبراني، وهو في صحيح الجامع 7558) “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i).

D.MACAM-MACAM AKAD NIKAH

Hukum pernikahan dan pngaruh yang di timbulkannya mengikuti sifat-sifat akad itu sendiri, seperti sah, murni, batal, dan lai-lain. Pengaruh-pengaruh ini akan berbeda karena perbedaan sifat, pengaruh akad yang sah brbeda dengan akad yang bergantung, dan sterusnya. Adapun beberapa macam-macam nikah di antaranya,



1.Akad Nikah Sah Murni dan Hukmnya

Pernikahan sah murni adalah yang memenuhi segala persyaratan akad, segala syarat sah, dan segala syarat pelaksanaan sebagaimana yang telah dijelaskan, yakni kedua orang yang berakad, ahli dalam melaksanakan akad, shighat-nya menunjukkan pemilikkan kesenangan secara abadi, menyatu dlam satu ijab kabul, tidak terjadi perbedaan antara mereka berdua, masing-masing penghijab dan pengkabul berdasarkan mendengarkan suara dari lain, istri merupakan objek penerima pernikahan yang diakadi, dihadiri dua orang saksi yang memenui segala persyaratan persaksian, dan masing-masing daring dua orang yang berakad dan balig serta berakal. Jikalau yang menguasai salah satu dari dua pihak bukan dari orang tua harus ada sifat syara’ yang menguasakan kekuasaannya. Ketika berkumpul beberapa syarat tersebut maka akad penikahan manjadi sah maurni dan menimbulkan pengaruh-pengaruh syara’.

Beberapa pengaruh syara’ akad yang sah murni

Dalam hal ini maka pengaruh tersebut terbagi tas tiga macam yaitu.

Pertama,beberapa pengaruh yang menjadi kewajiban bagi suamiterahadap istri disebabkan tuntutan akad pernikahan yang sah sebagia berikut:

1.Mahar, wajib tidak tetap semata karena akad. Jika mahar disebutkan dalam akad, kewajibannya sesuai dengan yang disebutkan dan jika tidak disebutkan maka kembali kepada mahar mitsil istri. Makna kewajiban mahar yang tidak tetap.

2.Kewajiban suami terhadap istri sebab akad adalah member nafkah dengan segala macamnya, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan gaji pembantu jika istri memerlukan pembantu, kecuali jika istri tidak taat tanpa udzur syara’.

3.Jika suami menikah dengan istri lain, wajib bertindak adil antara mereka.

4.Suami tidak menyakiti istri dengan perbuatan atau perkataan kecuali diperbolehkan syara’.

Kedua, beberapa pengaruh yang menjadi kewajiban istri terhadap suami sebab tuntunan akad ada empat, yaitu:

1.Istri masuk ke wilayah kepatuhan suami dan tinggal di rumah yang disediakan suami, manakala tempat tinggal tersebut memenuhi tiga syarat yaitu:

a.Tempat tinggal layak huni

b.Suami telah membayar mahar jika dipersyaratkan tunai

c.Suami dapat dipercaya terhadap harta dan diri istri

2.Pengaruh kewajban istri terhadap suami, istri tinggal dirumahnya dan tidak keluar dari rumah tanpa sebab yang memperbolehkan secara syara’ kecuali ada izin dari suami.

3.Patuh terhadap suami kecuali ada larangan syara’.

4.Istri tunduk pada pengajaran suami pada hal-hal yang diperbolehkan syara’ yakni wilayah adab dan etika

Ketiga, beberapa pengaruh kewajiban atas masing-masing suami istri terhadap lainnya sebab tuntunan akad nikah yang sah ada lima perkara, yaitu:

1.Penetapan nasab anak-anak yang dilahirkan dari padanya.

2.Masing-masing akan mewarisi selama satu agama, jika salah satunya meninggal setelah akad maka yang masih hidup akan mewarisi sesuai dengan peraturan yang menjeaskan para waris dan bagiannya, selama tidak ada penghalang secara syara’.

3.Keharaman saudara sambung. Jika terjadi akad nikah antara laki-laki dan perempuan, maka haram atas perempuan bapaknya laki-laki (mertua) walaupun ia ditalak suami sebelum bercampur. Demikian pula haram atas laki-laki ini seljuruh orang tua perempuan. Artinya tidak hala bagi suami menikahi ibunya dan neneknya walaupun istri dicerai sebelum bercampur. Adapun anak-anak istri yang telah berlangsung akad tidak haram bagi suami kecuali telah bercampur. Maknanya jikalau suami menalak istri sebelumbercampur, suami boleh menikah anak putrid dari mantan istrinya atau cucu putri dari putrinya atau dari putranya.

4.Halal bagi masing-masing pasangan suami istri bersenang-senang dengan pasangannya dengan cara yang di izinkan syara’ selama tidak ada yang mencegah, seperti menstruasi atau nifas.

Masing-masing dari suami istri wajib memepergauli pasangannya dengan baik (mu’asyarah bi al-makruf),agar mudah memecahkan perasalahan hidup. istri wajib memperhatikan kemashlahatan rumah tangga, pendidikan anak-anaknya, dan lain-lain dari segaala hak dan kewajiban yang ditentukan syariat dalam kehidupan rumah2.tangga.

2.Akad Nikah yang Bergantung

Akad pernikahan yang bergantung adalah akad shahih yang terhenti pada izin orang yang mempunyai kekuasaan, seperti akad pernikahan anak kecil yang sudah pandai (mumayyiz) terhenti pada izin walinya,terhentinya akad fudhuli (dilakukan orang lain bukan wakil dan bukan pengganti) atas izin orang yang diakadi, yakni suami atau istri. Menurut Imam Muhammad al-Wali, wanita beraka dan baligh disamakan dengan akad fudhulu. Jika ia dinikahi tanpa didahului izin, akadnya bergantung pada izinnya, kewaliannya berserikat, wali tidak memiliki hak paksa untuk menikahkan. Hukum akad bergantung pada izin dari wanita tersebut, jika ia mengizinkan mka akad sah sempurna dan menimbulkan segala hukum, seperti mhar, nafkah, waris, iddah dan lain-lain. Sedangkan belum izin maka tidak halal mencampurinya dan tidak ada waris antara mereka berdua.

3.Akad Nikah yang Rusak dan Hukumnya

Ulama Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasid (rusak), batil adalah sesatu yang tidak disyariatkan pokok dan sifatnya seperti menjula bangkai atau menikahkan wanita yang haram. Sedangkan fasid adalah sesuatu yang disyariatkan pokoknya, tidak sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari beberapa syarat seperti akad tanpa saksi, pernikahan yang dibatasi waktunya dengan menggunakan sighat nikah atau kawin atau yang lain dari beberapa lafal yang menjadi akad nikah, dan berpoligami, yakni mengumpulkan dua perempuan bersaudara yang keduanya haram terhadap yang lain (mahram). Jadi, jika cacat terjadi pada rukun akad maka disebut batil dan jika terjadi diluar rukun akad, disebut fasid (rusak), seperti mempersyaratkan suatu syarat yang tidak diperlukan dalam akad.

Hukum akad fasid tidak mewajibkan sesuatu dai pengaruh-pengaruh pernikahan. Jika seseorang telah mencampuri wanita berdasarkan akad fasid ini hukumnya maksiat. Bagi kedua suami yang telah melakukan akad fasid hendaknya berpisah dengan kesadaran sendiri, karena melangsungkan akad fasid tidak diperbolehkan menurut syara’. Jika tidak berpisah dengan kesadaran sendiri maka bagian yang mengetahuinya, wajib memisahkan mereka atau melaporkan ke penghulu agar dipisahkan.

4.Akad Nikah Batil dan Hukumnya

Akad batil adalah semua akad yang terjadi kecacatan dalam shighat ijab dan kabul), misalnya ungkapan kedua orang yang berakad tidak menunjukkan pemilikan manfaat secara abadi. Jika akad pernikahan tidak memenuhi syarat dan rukun secara syara’ maka hukumnya batil.

Hukum akad ini tidak menetapkan sesuatu dan tidak menimbulkan pengaruh sesuatu seperti ditimbulkan dalam akad yang sah. Disini tidak ada wajib mahar, nafkah, taat, tidak menetapkan hubungan waris dan saudara sambung, dan tidak terjadi talak karena talak merupakan cabang dari perwujudan pernikahan yang sah.

E.HIKMAH NIKAH

Pernikahan dalam Islam memiliki banyak hikmah. Oleh karena itu, Islam menganjurkan ummatnya untuk menikah dan tidak hidup melajang. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw, yang hidup sebagaimana manusia pada umumnya, hidup menikah dan tinggal bersama orang-orang yang dicintai. Berikut ini beberapa hikmah pernikahan dalam Islam yang bisa diambil pelajaran;

1.

Nikah adalah salah satu sunnah (ajaran) yang sangat dianjurkan oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam sabdanya:

Artinya:

Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah (jima’ dan biayanya) maka nikahlah, karena ia lebih dapat membuatmu menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa tidak mampu menikah maka berpuasalah, karena hal itu baginya adalah pelemah syahwat.”(HR. Bukhari dan Muslim)

2.

Nikah adalah satu upaya untuk menyempurnakan iman. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

Artinya:

Barangsiapa memberi karena Allah, menahan kerena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikahkan karena Allah maka ia telah menyempurnakan iman.”(HR. Hakim,dia berkata: Shahih sesuai dg syarat Bukhari Muslim. Disepakati oleh adz Dzahabi)

Artinya:

Barangsiapa menikah maka ia telah menyempurnakan separuh iman, hendaklah ia menyempurnakan sisanya.” (HR. ath Thabrani, dihasankan oleh Al Albani)

Kisah:

Al Ghazali bercerita tentang sebagian ulama, katanya:”Di awal keinginan saya (meniti jalan akhirat), saya dikalahkan oleh syahwat yang amat berat, maka saya banyak menjerit kepada Allah. Sayapun bermimpi dilihat oleh seseorang, dia berkata kepada saya:”Kamu ingin agar syahwat yang kamu rasakan itu hilang dan (boleh) aku menebas lehermu? Saya jawab:”Ya”. Maka dia berkata:”Panjangkan (julurkan) lehermu.” Sayapun memanjangkannya. Kemudian ia menghunus pedang dari cahaya lalu memukulkan ke leherku. Di pagi hari aku sudah tidak merasakan adanya syahwat, maka aku tinggal selama satu tahun terbebas dari penyakit syahwat. Kemduian hal itu datang lagi dan sangat hebat, maka saya melihat seseorang berbicara pasa saya antara dada saya dan samping saya, dia berkata:”Celaka kamu! Berapa banyak kamu meminta kepada Allah untuk menghilangkan darimu sesuatu yang Allah tidak suka menghilangkannya! Nikahlah!” Maka sayapun menikah dan hilanglah godaan itu dariku. Akhirnya saya mendapatkan keturunan.” (Faidhul Qadir VI/103 no.8591)

3.

Nikah adalah satu benteng untuk menjaga masyarakat dari kerusakan, dekadensi moral dan asusila. Maka mempermudah pernikahan syar’i adalah solusi dari semu itu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

Artinya:

Jika datang kepadamu orang yang kamu relakan akhlak dan agamanya maka nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan maka pasti ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”(HR. Hakim, hadits shahih)

4.Pernikahan adalah lingkungan baik yang mengantarkan kepada eratnya hubungan keluarga, dan saling menukar kasih sayang di tengah masyarakat. Menikah dalam Islam bukan hanya menikahnya dua insan, melainkan dua keluarga besar.

5.

Pernikahan adalah sebaik-baik cara untuk mendapatkan anak, memperbanyak keturunan dengan nasab yang terjaga, sebagaimana yang Allah pilihkan untuk para kekasih-Nya:

Artinya:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS. ar Ra’d:38)

6.Pernikahan adalah cara terbaik untuk melampiaskan naluri seksual dan memuaskan syahwat dengan penuh ketenangan.

Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya:

Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa setan (menggoda) dan membelakangi dalam rupa setan, maka apabila salah seorang kamu melihat seorang wanita yang menakjubkannya hendaklah mendatangi isterinya, sesungguhnya hal itu dapat menghilangkan syahwat yang ada dalam dirinya.”(HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

7.Pernikahan memenuhi naluri kebapakan dan keibuan, yang akan berkembang dengan adanya anak.

8.Dalam pernikahan ada ketenangan, kedamaian, kebersihan, kesehatan, kesucian dan kebahagiaan, yang diidamkan oleh setiap insan.

9.Menikah akan meninggikan harkat dan martabat manusia

Lihatlah bagaimana kehidupan manusia-manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya dengan nafsu yang tak bisa mereka kandangkan. Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang, apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.

10.Menikah memuliakan kaum wanita

Banyak wanita-wanita yang pada akhirnya terjerumus pada kehidupan hitam hanya karena diawali oleh kegagalan menikah dengan orang-orang yang menyakiti kehidupan mereka. Menikah dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarga.

11.Menikah adalah cara melanjutkan keturunan

Salah satu tujuan menikah adalah meneruskan keturunan. Pasangan yang shaleh diharapkan mampu melanjutkan keturunan yang shaleh pula, dari anak-anak yang shaleh ini akan tercipta sebuah keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang shaleh sebagai cikal bakal kebangkitan Islam di masa akan datang.

12.Wujud kecintaan Allah pada makhluk-Nya untuk dapat

menyalurkan kebutuhan biologis secara terhormat dan baik.

Inilah bukti kecintaah Allah terhadap makhluk-Nya. Dia memberikan cara bagi makhluk-Nya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi seorang makhluk. Di dalam wujud kecintaan itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup yang akan dirasakan melalui adanya pernikahan. Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, dan ditumbuhkan pada satu sama lain rasa cinta dan kasih sayang.

13.Memelihara gen manusia. Pernikahan sebagai sarana untuk memelihara keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan regenerasi dari masa ke masa. Dengan pernikahan inilah manusia akan dapat memakmurkan hidup da melaksanakan tugas sebagai khlifah dari Allah SWT. Mungkin dapat dikatakan bahwa untuk mencaai hal tersebut dapat melalui nafsu seksual yang tidak harus melalui syariat, namun cara tersebut dibenci agama. Demikian itu akan menyebabkan terjadinya penganiayaan, saling menumpahkan darah, dan menyia-nyiakan keturunan sebagaimana yang terjadi pada binatang.

14.Nikah sebagai perisai diri manusia. Nikah dapat menjaga diri kemanusiaan dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran yang diharamkan dalam agama islam. Karena nikah memperbolehkan masing-masing pasangan melakukann hajat biologisnya secara halal dan mubah. Pernikahan tidak membahayakan bagi umat, tidak menimbulkan kerusakan, tidak berpengaruh dalam membentuk sebab-sebab kebinatangan, tidak menyebabkan tersebarnya kefasikan, dan tidak menjerumuskan para pemuda dalam kebebasan.

15.Melawan hawa nafsu. Nikah menyalurkan nafsu manusia

menjadi terpelihara, melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan hak-hak istri dan anak-anak dan mendidik mereka. Nikah juga melatih kesabaran terhadap akhlak istri dengan usaha yang optimal memperbaiki dan memberiak pentunjuk jalan agama. Semua manfaat pernikahan diatas tergolong perbuatan yang memiliki keutamaan yang agung. Tanggung jawab laki-laki terhadap rumah tangganya adalah tanggung jawab kepemimpinan dan kekusaan. Istri dan anak-anak adalah keluarga yang dipimpin. Keutamaan pemimpin sangatlah agung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline