Lihat ke Halaman Asli

Saya Tidak Takut/Malu Dituduh Sombong Hanya Karena Memilih Berbeda!

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1407900085299225135

[Dan Ajakan Berpikir Kritis, serta Pentingnya Menjadi Manusia Otentik]

Oleh: Nurani Soyomukti,

anggota jaringan Serikat Muda Intelektual Nusantara (SaMIN) wilayah Mataraman Jawa Timur

Banyak orang yang lebih suka membayar orang lain untuk mewakili mereka berpikir. Kita telah menjadi sebuah masyarakat yang bergantung… Jagad di mana kita diizinkan untuk bermain, menghibur, dan mempertanyakan berbagai macam misteri setiap hari telah menyempit.”

—Michael R. LeGault—

Kalau Anda salah paham pada saya, terutama tentang tulisan saya kali ini, saya takut anda akan mengira saya sombong. Saya mohon kerendahan hatinya untuk tidak menganggap saya sombong hanya karena mengungkapkan bagaimana saya mengajak kita memaknai hidup. Saya kadang tidak begitu peduli dengan siapakah yang akan membaca tulisan-tulisan saya. Mohon dipahami bahwa kenakalan-kenakalan dan nada-nada satire yang kadang terkesan ’sombong’ dalam tulisan saya adalah sejenis sentimentalitas individu saya.

Saya ingin mengatakan bahwa sebaiknya ini harus Anda anggap sebagai tipikalitas (tulisan) saya, dan saya lebih senang untuk mengatakan bahwa ini adalah cara saya beradaptasi dengan kehidupan yang tengah bermutasi secara lambat dalam geraknya yang kadang cepat. Anda boleh mengatakan bahwa ini cara picik untuk merespon kehidupan, tetapi saya dan beberapa teman yang mendukung cara ini lebih pas untuk mengatakan bahwa ini adalah cara saya ber-eksistensi. Eksistensi  biasanya disandarkan oleh pengalaman psikologis dan sampiran kognitif (pengetahuan dan pemahaman) yang ada dalam tubuh-jiwanya seseorang.

Saya berani menanggung beban psikologis dari disalahpahami, meskipun saya juga punya daya dan karsa untuk selalu untuk merehabilitasi citra saya ketika disalahpahami. Tetapi kekuatan yang lebih besar yang saya miliki sebenarnya adalah bahwa saya tak bisa untuk memanipulasi gaya bicara, cara melihat  kehidupan dari diri saya sendiri, yang dalam hal ini juga saya lontarkan pada orang-orang dekat saya, saya tegaskan lagi pada istri saya pada saat saat itu saya melamarnya, teman-teman dan saudara-saudara dekat saya, juga para membaca buku-buku, esai, opini, dan sekedar catatan dari saya—atau yang mendengarkan ucapan mulut saya di acara diskusi baik resmi maupun tidak resmi.

Saya heran ketika menjumpai tak sedikit orang yang kadang bisa beradaptasi dengan berbagai lingkungan dan kondisi dengan cara merubah cara pandang dan gayanya. Kadang mereka beralasan bahwa itu taktik untuk memenangkan hati banyak orang, sehingga kita harus ikut-ikutan pada orang tersebut. Saya pernah dirayu juga untuk seperti itu. Tetapi ternyata saya bisa menunjukkan bahwa pada akhirnya orang seperti itu memang telah kehilangan jati dirinya dan pada akhirnya ikut-ikutan. Saya berpandangan bahwa orang yang  punya prinsip bahwa pandangannya secara kuat lebih bermakna dan benar, maka dia tak boleh membebek pada kesadaran orang lain yang rendah, tetapi justru secara konsisten harus merubah kesadaran orang lain tersebut.

Dan pada kenyataannya, kita melihat bahwa orang yang tak mau bertahan secara konsisten pada akhirnya juga mirip orang biasa yang berkesadaran rendah. Masyarakat Jawa mungkin selalu terngiang oleh adagium Ronggo Warsito: ”Jaman edan, yen ra edan gak melu keduman” (Jaman sudah gila, kalau tidak ikut-ikutan gila tak akan mendapatkan jatah). Ini adalah filsafat paling parah yang menunjukkan bahwa kita tak perlu punya sikap dan prinsip di tengah kehidupan yang berkualitas rendah yang berisi orang-orang yang bahkan mengaku enjoy menjalani kegilaan (hidup dengan selera rendah, makna rendahan, karena yang ada hanyalah orang ikut-ikutan trend dan mengalir sesuai dengan bagaimana sistem kekuasaan yang menindas [kekuasaan semacam inilah yang biasanya membalikkan nilai-nilai dan prinsip] membentuknya).

Saya seringkali dianggap tidak normal, bahkan ada sedikit orang yang menganggap saya sok—termasuk sombong itu tadi. Ingat, saya masih ingat dulu waktu kuliah. Saat di sebuah rumah kontrakan teman-teman menawari segelas  minuman keras, dan saya mengatakan ”Tidak” [bukan atas dasar moral dan agama, tetapi alasan kesehatan], tentu saya dianggap sombong karena tidak mau. Yang lucu juga ketika saya tidak merokok di antara 6 orang teman saya saat berkumpul, saya juga dianggap sombong. Saya dianggap ”laki-laki tidak normal”. (Catatan: sejak tahun 2006 ketika di Jakarta, setelah lulus kuliah, saya sudah minum bir bintang yang seringkali saya lakukan di rumah kos saya, bersama teman sekamar. Tetapi sejak 2009 saya sudah berhenti melakukannya. Dan hingga saat ini belum pernah merokok).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline