Kebun Sayuran di Lereng Gunung Gede Pangrango
Berawal dari ketertarikan Saya pada sebuah novel berjudul “Sarongge” yang berkisah tentang masa-masa penghijauan kembali kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di sekitar Sarongge, Cianjur Jawa Barat. Akhirnya tanggal 30-31 Maret 2013 kemarin Saya bersama teman-teman dari Picnic Holic berkesempatan untuk melihat langsung proses serta hasil kerja keras reforestasi di kawasan Sarongge. Yang juga menarik buat Saya adalah bab-bab dalam novel “Sarongge” diberi judul nama-nama tetumbuhan endemic gunung Gede Pangrango beserta penjelasan tentang tumbuhan tersebut, kisah-kisah penyelamatan hutan Indonesia dari keserakahan segelintir manusia yang merusak hutan dan kekayaan alam lainnya oleh ksatria pelangi (organisasi dunia untuk penyelamatan bumi), bagaimana kesulitan hidup petani yang lahannya diambil alih oleh kebijakan pemerintah & perusahaan-perusahaan raksasa yang sewenang-wenang, serta kisah cinta Karen dari ksatria pelangi (perempuan kota) yang menjalin cinta dengan petani gunung bernama Husin. Karena itu semua mendorong Saya untuk melihat langsung keindahan Sarongge dan program adopsi pohon yang dilakukan di kawasan Hutan Sarongge.
Plang Resort PTN Sarongge
Sabtu pagi 30 Maret 2013, sekitar pukul 10.30 Saya sampai di resort PTN Sarongge. Hehee Saya terlambat sampai dari waktu yang ditentukan pukul 09.00 dikarenakan naik bus umum, sayapun tertinggal rombongan yang sudah lebih dulu menuju camping ground. Di resort ini Saya menemukan beberapa informasi mengenai kegiatan petani Sarongge, laporan pemberian bantuan ternak kepada petani-petani, program adopsi pohon Green Radio bersama Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), dan beberapa informasi lainnya.
Peternakan Kambing
Saya juga sempat melihat peternakan kambing yang berada tidak jauh dari resort. Usaha peternakan kambing dan kelinci di Sarongge dijadikan alternatif penghasilan bagi petani, hal ini dilakukan demi mendukung reforestasi hutan Sarongge. Karena pohon-pohon yang ditanam semakin membesar dan rindang, tajuk-tajuknya mulai menutupi kebutuhan cahaya bagi kebun sayur mayur petani Sarongge, para petani kerap kali memangkas tajuk-tajuk pohon itu dan membiarkannya tumbuh meranggas. Pihak Green Radio dan TNGGP mengantisipasi hal ini dengan memberikan alternatif penghasilan bagi petani seperti beternak kelinci, kambing dan lebah. Perlahan mengubah pertanian sayur mayur dengan komoditas lain yang lebih produktif. Usaha reforestasi tidak akan berhasil jika kehidupan petani yang sebelumnya menggunakan lahan-lahan hutan untuk berkebun tidak terpenuhi kebutuhan sehari-harinya. Senada dengan semboyan warga Sarongge menurut Kang Dudu Duroni , ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktan), semboyan tiga “O”, Leweung hejO. Reseup anu nenjO. Patani ngejO. O-nya selalu di belakang. Menurut Kang Dudu, sebab itu hasil yang akan kita dapatkan, Hutan kembali hijau, senang yang melihatnya, dan petani tetap bisa menanak nasi.
kebun sayuran petani di dekat peternakan kambing
Pukul 13.30 Perjalanan Saya lanjutkan menuju camping ground dengan ditemani Kang Syarief. Kami naik motor menuju lereng gunung dan melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri kebun sayur-mayur petani. Sekitar 500 meter pertama jalan setapak masih landai, pandangan saya dimanjakan oleh hamparan kebun sayur mayur petani dari mulai daun bawang, wortel, kol, cabe. Sesekali Saya berhenti untuk mengabadikan kebesaran penciptaanNya itu. 1km berikutnya perjalanan cukup menanjak dan miring, ditambah kondisi hujan saat itu, membuat Saya harus berhati-hati memilih pijakan. Sejak kedatangan Presiden SBY bulan Januari 2013 kemarin untuk program adopsi pohon, perjalanan menuju Hutan Sahabat Green sudah jauh lebih baik menurut Kang Syarief.
Sesampainya di camping ground Saya disambut mba Nyanyu dari Picnic Holic, tanpa saya duga ternyata teman perjalanan Saya kali ini membawa keluarga dan anak-anaknya. Kami terdiri dari 3 pasang suami istri yang membawa anak-anaknya, dan tiga perempuan lainnya termasuk Saya. Waahh senangnyaa…
Yang menarik, warga setempat dilibatkan juga sebagai pemandu, penyedia makanan bagi yang camping, sebagai pemelihara pohon untuk pengunjung yang datang ke Sarongge, hal ini merupakan simbiosis yang saling menguntungkan. Warga setempat juga mendapatkan alternatif pemasukan selain dari bertani sayur mayur.
mendaki menuju camping ground
Sore hari kami lanjutkan dengan kegiatan menanam pohon, uniknya pohon yang kami tanam akan diberikan label nama kami sekaligus akan diberikan sertifikatnya di kemudian hari. Kami masing-masing menanam satu pohon, termasuk anak-anak. Sebelum menanam pohon kami diberikan instruksi cara menanam oleh Kang Dudu, tanah yang berada dalam polybag diremas-remas kemudian dilepaskan plastik polybag tersebut untuk memulai menanam pohon ke dalam tanah yang sudah disiapkan, dan plastiknya dibiarkan berada di atas bambu yang disediakan untuk menandai telah ditanamnya bibit pohon di tempat itu. Saya menanam pohon Ki Hideung, menurut Kang Dudu tumbuhnya akan besar dan hitam makanya dinamakan Hideung yang berarti hitam dalam bahasa sunda. Sedangkan yang lainnya ada yang menanam Pohon Puspa, Rasamala, Jamuju, Saninten dll. Setelah proses menanam selesai, Kang Dudu membenahi tanah tanaman kami dengan menggunakan cangkul, sementara Kang Syarief sibuk mencatat titik GPS pohon kami sesuai dengan nama kami, sehingga jika dikemudian hari kami ingin melihat pohon kami, akan diberi tahu tempatnya.
Kang Dudu menjelaskan cara menanam pohon adopsi
ini pohon Ki Hideung yang saya tanam :D
Program adopsi pohon ini sudah dimulai oleh Green Radio sejak tahun 2008, mereka menyebutnya Hutan Sahabat Green. Dalam dua tahun, Green Radio bersama TN GGP dan petani Sarongge, menanam sekitar 11.000 pohon. Atau hampir 30 ha areal taman nasional yang telah ditanami dengan pohon hasil adopsi. Sekitar 120 keluarga petani terlibat dalam penanaman kembali; dan juga berniat mengubah pola pertanian mereka yang sekarang 100% bergantung pada sayur-mayur. Kini, Sarongge ditetapkan oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebagai Model Desa Konservasi. Dalam model itu, warga sekitar taman dipercaya turut melestarikan hutan. Sembari meningkatkan kondisi ekonomi mereka. Dalam 30 tahun ke depan, pohon-pohon yang sudah ditanam tersebut akan menjelma hutan Sarongge yang lebat. (Sumber : Green Radio FM)
sekitar hutan adopsi
prog. adopsi pohon diikuti oleh perusahaan besar dari Jakarta
Pelestarian hutan tentu bukan proses yang instan, apalagi ini usaha reforestasi yang dimulai dari menanam satu demi satu benih pohon. Jika mengacu pada artikel Saya sebelumnya, bahwa “1 Juta Hektar Hutan Di Jambi Lenyap Dalam 10 Tahun” (Sumber : hutanindonesia.com), saya tidak habis pikir mengapa manusia harus begitu tamak, membunuh hutan dalam waktu singkat namun usaha untuk menghidupkannya kembali butuh waktu yang jauh,jauh, jauh lebih lama, bayangkan 30 tahun!. Jika tidak ada yang menggiatkan untuk menghutankan kembali lahan-lahan yang digunakan seenaknya itu, apakah generasi mendatang masih akan menikmati hutan dengan segala kebermanfaatannya?