Lihat ke Halaman Asli

Demi Seulas Senyum Mawar

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

133847811585597489

[caption id="attachment_184932" align="aligncenter" width="450" caption="Picture : nature.desktopnexus.com"][/caption]

Mama mungkin bukan perempuan luar biasa, sosoknya sederhana sekali, bersahaja, keinginannya terbatas pada apa-apa yang membuat kami buah hatinya tercukupi. Mama tidak seperti Ibu-Ibu lain yang suka berkumpul di kala senggang waktunya, Mama lebih pendiam, bicaranya sedikit, senyumnya mawar, sikapnya sebagai jejak hidup keteladanan, Ahh… terlalu banyak sisi positif Mama, tak cukup waktu dan ruang untuk membahasnya, mungkin itulah yang membuatku percaya ada surga di telapak kakinya.

Bagaimana aku menghitung jasa kebaikannya dalam proses kehidupanku ? jikalah itu menjadi kewajiban kodratinya sebagai seorang Ibu, akupun mempunyai kewajiban yang tak kalah kodratnya untuk menghormati, menyayangi, memberi kenyamanan di hari tuanya. Cintaku buta terhadapnya, kututup semua luka yang ditimbulkan karena kekurangan manusiawinya, dengan apapun sikap dan perilakunya yang mungkin menjadi sebuah kesalahan di mata orang lain, semua itu tidak mengurangi cinta yang tersemai. Aku ingin mencintainya dengan lebih baik lagi, ketika kurasa ini semua hanyalah cinta sederhana untuk perempuan yang begitu luar biasa…

Mama pandai berwirausaha, sejak aku kecil ada-ada saja yang Mama lakukan untuk menambah penghasilan keluarga. Awalnya Mama membuka warung kecil-kecilan, sungguh benar-benar kecil-kecilan, yang isi dagangannya hanya ciki-ciki, permen-permen, dan beberapa kebutuhan sembako diletakkan di atas meja kecil di depan rumah. Perlahan usaha Mamapun berkembang, menjadi warung –sebenarnya warung- sembako yang cukup lengkap di perkampungan tempat kami tinggal. Seperti trend setter, langkah Mama diikuti oleh banyak Ibu-ibu di sekitar lingkungan, dan menjamurlah warung kelontong di mana-mana. Pelangganpun mulai memilih untuk membeli di warung yang lebih dekat rumahnya, pertimbangannya adalah selain dekat dengan rumah, juga karena tidak enak melewati warung tetangga dekat rumahnya jika membeli di tempat lain, dan warung Mama berada di ujung jalan, sepi pelanggan karenanya…

Sejak itu, Mama mulai membuka usaha lontong sayur dan nasi uduk lengkap dengan goreng-gorengan berbagai jenis untuk sarapan. Awalnya Mama membuatnya untuk sarapan kami saja, namun karena ide Mama brilliant sebagai sosok tren setter wirausaha di kampung kami, beliaupun mulai menjual lontong sayur dan nasi uduk. Dan seperti yang sudah-sudah, dagangan Mama laku, dan laku juga ditiru masyarakat, ada sekitar tiga sampai tujuh Ibu-Ibu yang juga jualan lontong sayur dan nasi uduk. Mama hanya tersenyum saja yang melihat lontong sayurnya mulai ada yang menyisa dan belum habis, padahal hari sudah mengabarkan senja datang.

Dengan senyum mawarnya, Mama mengatakan;

“ rejeki sudah ada yang mengatur, kita hanya ditugaskan menjemputnya dengan semangat, bukan dengan keluh kesah…”

Lain waktu Mama mengembangkan kreatifitasnya dengan membuat es yang dibuat dengan berbagai macam rasa buah-buahan unik dari pasta, produk anyarnya adalah es durian… akupun mendapat kehormatan menjadi marketing yang tugasnya mengantar thermos-thermos penuh berisi es buatan Mama ke warung-warung yang letaknya strategis dekat keramaian. Selain itu Mama juga menerima pesanan kue bolu dengan berbagai rasa. Ahh… Mama, bagaimana aku menjadi seorang Ibu kelak, akankah aku menjadi cerminmu nanti ?

Mama kini sudah tua, sejak dokter menyatakan penyakit gula telah menjadi “teman” setia yang akan membersamai hidup Mama, berat tubuhnya turun drastis menjadi sangat kurus. Kala itu Mama sedang berada jauh dariku, Mama di luar negri bersama adik beradiknya yang merantau di negeri seberang. Sungguh aku sempat tidak mengenali Mama ketika menjemput kepulangannya ke tanah air, Mama kuruss sekali… pucat dan lemas… selama berada di sana Mama tidak pernah cerita apapun selain kegembiraan berkumpul dengan adik beradiknya yang sudah lama sekali tidak ditemui. ohh Tuhan, senyum mama sudah semakin layu… Rinduku haru kala itu… satu persatu bening air itu mengalir tanpa mampu kuhalau.

Waktu semakin lambat bagi kehidupan Mama, detik seakan berdetak mengejek, segalanya menjadi begitu pelan, Mama menjadi begitu pendiam. Mama butuh perhatian. Mama mulai kembali menjadi kanak-kanak…

Mungkin baktiku hanyalah seutas tali kasih yang terputus-putus, waktu dan jarak menjadi dinding besar antara aku dan Mama. Dalam diam Mama, ada kerinduan yang mengalir, ada ruang dalam hatinya yang belum kupenuhi, ada keinginan yang tak ingin disampaikannya, ada manja yang disembunyikannya, ada air mata dalam doa-doa teruntai untuk kami di sepanjang sajadah panjangnya, ada mata air cinta yang tiada kering terserap waktu…

Ah, Mama…

Ada yang bertanya padaku,

“ Siapa perempuan hebat yang paling menginspirasimu ?”

Jawabku sederhana, “ dialah perempuan yang kusebut Mama…”

Mungkin Ibu Kartini menjadi perempuan hebat yang dilabeli telah mengubah wajah perempuan Indonesia,

mungkin bunda Theresa adalah perempuan paling inspiratif yang dengan bakti kebaikannya telah menginspirasi banyak orang tentang indahnya berbagi,

mungkin seorang Oprah Winfrey adalah perempuan paling popular dengan intuisi sosialnya untuk menolong orang lain,

mungkin seorang Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Meurah Intan, Keumalahayati, Sultanah Safiatuddin Syah telah menjadi perempuan-perempuan sungguh hebat sebenarnya hebat, yang menggunakan “kekuatannya” berjuang demi kemerdekaan negri serambi Mekkah di Aceh sana…

dan mungkin begitu banyak sosok-sosok perempuan yang mencerahkan cahaya kehidupan di dunia ini. Namun di duniaku, perempuan paling bersinar yang selalu kunanti senyum mawarnya, adalah Mama…

><

Mama,

Ibu,

Bunda,

Ummi,

Atau apapun sebutanmu,

Kami anak hanyalah buah dari hasil pohon didikanmu

Akar-akar yang kau tanami dalam diri kami

Menjadi pegangan kuat bekal kehidupan

Karakter dan kepribadianmu tercermin

Dalam cahaya yang kau sinari dalam jiwa kami

Kaulah pondasi

Yang membentuk menjadi apa kami saat ini

><

Anak manusia lahir dari seorang perempuan

Kenapa Tuhan tidak mempercayakan rahim kepada kaum lelaki,

Tentu ada keistimewaanya

Kenapa air mata mudah menderas dan mengalir

Pada pipi perempuan,

Tentu ada sebabnya,

Kenapa perempuan tidak dibebankan tenaga yang kuat

Tentu Tuhan lebih memahaminya,

Kenapa perempuan menghadapi masa yang dibolehkan untuk tidak beribadah

Sementara lelaki sepanjang waktu diperkenankan

Beribadah tanpa batasan,

Tentu ada pertimbanganNya yang membuat takdirNya demikian

Masing-masing memiliki kelebihannya tersendiri

><

Dahulu muncul pertanyaan,

Kenapa Saya terlahir sebagai perempuan?

Kenapa harus ada perbedaan perempuan dan lelaki?

Mengapa perempuan terbatas sementara lelaki begitu bebas?

Mengapa ada proses kodrati perempuan bernama melahirkan?

Mengapa nyeri haid hanya milik kaum perempuan?

Mengapa lelaki begini,

Mengapa perempuan begitu?

Setiap pertanyaan tentu ada jawabanNya…

><

Seiring waktu mengembarai detik

Ada pemahaman yang dititipkanNya

Betapa begitu nikmatnya menjadi seorang perempuan

Perempuan dititipkan surga di telapak kakinya,

Perempuan mampu menyusui,

Memproduksi sendiri makanan yang cukup untuk bayi manusia yang kelaparan

Perempuan memiliki rumah nyaman pertama untuk manusia bernama rahim,

Perempuan memiliki ruang ekspresi di matanya,

Ketika tumpahnya adalah berkah bagi kesehatan jiwanya

dan masih begitu banyak keistimewaan perempuan…

ahh.. bahagianya aku dilahirkan menjadi perempuan…

><

_____________________

tulisan ini, demi seulas senyum mawar …

dan untuk semua perempuan, yang berbahagia menjadi perempuan…

Syukur Alhamdulillah.. :-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline