(cerpen) Ayahku terkena PHK di waktu usia mulai menua
Ayahku, di usia yang mulai menua, tiba-tiba saja terkena PHK dari perusahaan tempatnya bekerja lebih dari dua puluh tahun. Seakan dunia runtuh bagi keluarga kami. Ayahku adalah tumpuan hidup keluarga kecil kami---aku, ibu, dan adikku yang masih bersekolah. Semua bergantung pada penghasilannya, dan kini, saat harapan itu lenyap, kehidupan kami serasa diguncang.
Awalnya, Ayah tak mau membicarakannya. Ia hanya mengatakan akan mencari pekerjaan baru, lalu berangkat pagi-pagi dan pulang larut dengan wajah letih. Aku tahu ia berusaha keras mencari pekerjaan di tengah kondisi yang tak mudah, terutama untuk usianya yang hampir memasuki kepala lima. Beberapa lamaran yang dikirimkan sering kali berakhir dengan penolakan halus, "Kami membutuhkan tenaga yang lebih muda dan energik," begitulah biasanya alasan yang ia terima.
Aku melihat perubahan besar pada ayah. Dahulu, ia adalah sosok yang penuh semangat, selalu tersenyum setiap kali pulang ke rumah, tetapi sekarang wajahnya lebih sering muram. Ketika malam tiba, aku mendengar ayah berbisik lirih pada ibu, "Bagaimana nanti kita bisa bayar biaya sekolah mereka? Bagaimana kita akan bertahan?" Aku tidak ingin mendengar keluhannya, tetapi suara itu menembus dinding tipis rumah kecil kami, membuatku sadar bahwa kenyataan memang sedang tidak berpihak pada kami.
Hari-hari berlalu, dan kondisi keluarga semakin sulit. Ibu mulai mencoba berjualan kue dari rumah, tetapi hasilnya tidak seberapa. Kadang-kadang, aku melihat ayah berusaha membantu, membungkus kue-kue itu dengan tangan yang dulu biasa memegang komputer dan laptop. Setiap gigihnya usaha mereka, aku semakin sadar betapa besar cinta mereka kepada kami, meski kenyataan tengah menghimpit mereka.
Bulan-bulan berlalu, tabungan keluarga kami menipis. Aku sering mendengar Ayah dan Ibu berbicara lirih di kamar mereka, membicarakan uang sekolahku, dan tagihan yang tak henti-hentinya datang. Aku merasa sesak, tapi tak ada yang bisa kulakukan.
Di sekolah, aku berusaha keras agar tidak menunjukkan kesulitan yang keluarga kami alami. Aku tidak ingin teman-teman atau guruku tahu bahwa di rumah, nasi yang kami makan adalah hasil pinjaman dari tetangga atau hasil penjualan beberapa barang yang kami miliki. Aku ingin tetap kuat seperti ayah dan ibu, meskipun aku tahu mereka juga berjuang menahan air mata di depan kami.
Suatu hari, Ayah memutuskan mencoba peruntungan lain. Dengan sisa uang yang ada, ia menyewa mobil go car dan bekerja sebagai driver online. Sistemnya sewa mobil harian, jadi Ayah harus bekerja keras agar uang yang ia dapat bisa menutupi biaya sewa, biaya bensin dan tetap tersisa untuk kebutuhan keluarga.
Pekerjaan barunya ini tak lebih mudah. Ayah harus berangkat subuh dan pulang tengah malam, berusaha mencari penumpang sebanyak-banyaknya. Kadang, ia harus menunggu berjam-jam di tempat-tempat yang ramai untuk mendapat satu order. Tak jarang, ia mengeluh punggungnya sakit karena terlalu lama duduk, atau matanya pedih karena kurang tidur. Tapi Ayah selalu berusaha menahan keluhannya, agar aku dan adik tak merasa khawatir.
Ada hari-hari di mana Ayah pulang dengan raut wajah kelelahan tapi sedikit lega karena mendapat cukup banyak penumpang. Namun, ada juga hari-hari di mana ia pulang dengan tangan hampa, menghela napas panjang, dan berkata, "Rezeki hari ini memang masih belum cukup, Bu. Ayah berbicara lirih kepada ibu"
Meski hidup semakin sulit, ada satu hal yang tak pernah Ayah hilangkan: cintanya pada keluarga kami. Setiap kali kami berkumpul, Ayah selalu menenangkan ibu, aku dan adikku, mengatakan bahwa semua ini hanya sementara dan bahwa hidup kami akan lebih baik suatu saat nanti. Ucapannya menumbuhkan harapan di hatiku, meski aku tahu di dalam hatinya ia menyimpan kesedihan yang tak mudah disembunyikan.