Lihat ke Halaman Asli

Membaca dan Dangkalnya Cara Berpikir Kita

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kala saya SMA saya sempat "dikuliahi" oleh almarhum bapak saya. Kata bapak saya kurang lebih begini, "Kalau habis membaca, coba lanjutin dengan menulis lagi".

Waktu itu, dasar anak sekolahan, saya tidak begitu mengerti apa maksudnya. Namun, saat mulai kuliah, disertai keharusan banyak membaca sebagai bagian dari tugas-tugas dosen, termasuk di dalamnya menulis juga, mau tak mau saya pun tergerak untuk menulis. Sebagai hasilnya, baru saya menangkap maksud almarhum orang tua saya berujar waktu itu.

Tugas-tugas kuliah yang waktu itu tergolong banyak memang mengharuskan saya untuk membaca dan menulis. Selain untuk melengkapi tugas-tugas menulis makalah, beberapa dosen saya pun menunjukkan buku-buku apa yang "wajib" saya baca agar nilai-nilai perkuliahan saya terpenuhi. Dan memang akhirnya saya memenuhi rata-rata tugas perkuliahan tersebut.

Makin dalam, tugas-tugas membaca dan menulis itu semakin terasah kala saya dan kawan-kawan kuliah ditugaskan untuk mendiskusikannya. Maka, jadilah bahan bacaan dan tulisan itu menjadi ajang olah pikir kami. Pertanyaan, komentar, dan debat pun menggulir memaksa kami untuk berpikir mengapa kami dapat menghasilkan tulisan-tulisan semacam itu. Meski tematis sifat tulisannya, namun dari hasil "asah otak" itu kami membentuk sebuah cara berpikir kritis. Demikianlah ujung tugas dosen kami waktu itu yang intinya mengajak agar kami yang saat itu mahasiswa menjadi lebih berpikir kritis, tidak menelan mentah-mentah bahan bacaan maupun tulisan.

Dan "bekas-bekas itu" masih ada sampai sekarang.

Kini, membaca itu seakan menjadi "barang mewah" bagi sebagian besar kita.

Banyak dari kita enggan membaca karena banyak alasan. Entah karena sibuk, entah karena dengan alasan bahwa membaca itu tidak menghasilkan (uang) dan sebagainya. Setelah itu, yang namanya "aktivitas membaca" berlalu begitu saja dan tenggelam dengan aktivitas-aktivitas lain yang hemat rata-rata pikiran kita tidak memiliki guna.

Lalu, adakah sebenarnya manfaat membaca itu?

Ada! Itu jawab saya dan mereka-mereka yang merapat dan 'bergaul' dengan dunia literasi.

Memang tidak dapat diuraikan di sini, tetapi dengan membaca sebenarnya kita sedang melaksanakan "tugas kemanusiaan". Saya sebut demikian karena aktivitas inilah yang sebenarnya mengantarkan kita hingga saat ini. Saya akan ambil contoh dari para founding father kita: Tan Malaka, misalnya, ternyata sebelum membukukan tulisan-tulisannya adalah pembaca yang rakus. Meski disebut-sebut "komunis" dan aktif dengan kegiatan kiri pada masanya, bukankah bangun pikirannya di dapat dari buku-buku kiri yang dibacanya. Dan itu jelas bukan dari bahasa Indonesia (pada waktu itu buku-buku kiri tidak ada yang berbahasa Indonesia seperti sekarang).

Belum lagi Bung Karno. Proklamator ini selain jago orasi juga pembaca dan penulis yang rakus. Saya sebut demikian karena kalau kita perhatikan orasi-orasi dan tulisan-tulisannya, bukankah itu semua dari hasil bacaan terhadap buku-buku yang sudah ia apresiasi sedemikian rupa. Pancasila? Saya yakin itu merupakan "buah pikir" dia yang mendalam dari hasil sekian banyak buku-buku yang ia baca.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline