Lihat ke Halaman Asli

Seorang Kawan yang Berarti

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

- buat Aji

Ji, maaf aku tidak bisa hadir ke pernikahanmu hari ini. Meski kau mengundangku via wedding invitation di internet dan aku mengiyakan akan mendatangi acaramu di Bekasi sana, maaf, akhirnya aku tak dapat ke sana.

Ji, seorang kawan itu begitu berarti kala ada satu momen kebersamaan yang tak dapat kita lupakan. Kau ingat, walau tak kuundang resmi karena kartu undangan nikahku habis waktu itu dan lalu aku hanya menyampaikannya via lisan padamu, kau tetap datang. Jauh lagi jaraknya; dan itu membekas di hati.

Ji, kita memang jarang bertemu. Pun komunikasi kita tak ada sama sekali, tetapi silaturahmi tetap terjaga. Kau ingat padaku meski bisa jadi aku terlalu tak mengingatmu, tak memperhatikanmu, juga memutus komunikasi denganmu. Salut untukmu! Karena seorang kawan itu berarti kala ia ada dalam memori seseorang dan tak terlupakan meski jarak membentang.

Ji, ingatan tentangmu ini adalah “jariyah” bagimu. Kau ingat, kala kau mengizinkanku menginap di kosanmu hanya untuk bermain komputer, ke kantor bersama, dan berbasa-basi menghabiskan sisa waktu; itu tetap menjadi momen yang takkan terlupakan. Siapa sangka pula kau adalah adik kelasku, sama-sama satu almamater, meski saat keluar dari sekolah kau mungkin saat itu baru masuk. Itu adalah ingatan yang menakjubkan.

Ji, sudah sepuluh tahun aku menikah dan di tahun ke sepuluh ini kau baru menikah. Jodoh? Ah, janganlah kau pikirkan. Ini memang waktumu menikah. Namun sayang, beribu maaf dariku, aku tak bisa datang hingga detik terakhir ke acaramu sebagaimana di sepuluh tahun itu kau lakukan padaku. Datang tanpa peta, mencari dengan payah di mana tempat pernikahanku, sampai akhirnya kau sampai pas tepat waktu. Dan kau datang dengan sederhana tipikal anak kos.

Ji, kedatanganmu waktu itu mengagetkanku. Sebab, untuk apa kau melakukan itu semua karena toh kita bukan saudara, bukan kakak-adik, dan tak ada hubungan darah sama sekali. Momen itu adalah momen paling mengharukan bagiku waktu itu: seorang kawan biasa rela datang dari jauh, dan apa adanya.

Ji, suatu waktu, di media sosial awal kau mengutarakan seperti apa sosokku. “Orang yang setia kawan,” kau menyebutku seperti itu. Padahal, sebenarnya, benarkah diriku seperti itu padamu? Lugas, to the point, langsung begitu saja kau menggambarkan diriku semacam itu. Tanpa tedeng aling-aling. Dan kini, di kala menurutku aku perlu membalas budimu dengan hadir di acaramu, waktuku pun tak ada untukmu.

Ji, sekali lagi maafkan aku yang tak dapat hadir di pernikahanmu meski aku sudah berjanji akan datang. Aku hanya berharap, berdoa, semoga usahamu dengan istri tercinta melaksanakan sunnah Nabi saw mengantarkanmu menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Sebagai “kakak kelas” selain permintaan maaf yang sebanyak-banyaknya tadi aku hanya berharap kau baik-baiklah mengarungi level kehidupan berikutnya ini. Keep in touch always. Karena kau adalah salah seorang kawan yang berarti bagiku.

Bukankah seorang kawan yang berarti itu tahu dan memaklumi kita apa adanya tanpa ada syak wasangka apa pun dan selalu hangat menyapa meski sekian puluh tahun kita tak bersua?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline