Kalau aku diberi kesempatan untuk memperbaiki masa remajaku, belajar mendengarkan adalah kesempatan yang aku pilih. Dulu gagah sekali bisa beropini di depan banyak orang, rasanya orang yang memberi tanggapan dari apa yang aku ucapkan perlu untuk direspon dengan berbagai kalimat bantaian.
Aku sadar bahwa kurangku belum memiliki keseimbangan antara berpendapat dan mendengarkan pendapat dengan baik. Tidak hanya sekedar mendengarkan, namun juga memahami dan merasai.
Lalu, diri ini terhenti pada rasa lelah akibat ambisi yang terus ingin didengarkan suaranya, ingin dibaca tulisannya, dan otak merespon dengan sigap jika diberi tanggapan, rasanya tanggapan yang datang gunanya menjatuhkan, padahal sebenarnya tidak selalu begitu.
Mendengarkan mampu memberitahu kita cara untuk mengelola informasi, menahan kalbu agar senantiasa sabar dan berhati-hati, memberi ruang pada diri untuk refleksi. Berjuta-juta detik aku angkuh di sana sini, lantang sekali berbicara, namun luput bahwa nyatanya kita tidak memiliki keharusan untuk bersuara.
Lantaran keangkuhan diri, ternyata manusia mudah sekali melupakan manusia-manusia yang dianggap biasa saja. Manusia yang sepertinya tidak pernah menapaki panggung penghargaan, manusia yang hari-harinya berusaha menabung untuk membayar kelas motivasi karena merasa butuh sekali, atau manusia yang gurunya di kelas pun lupa namanya walaupun kelasnya sedikit penghuninya. Iya, manusia yang biasa saja cenderung mudah bahagia dengan pencapaian kecil sehingga ia mudah pula menyertakan syukur dan rasa terima.
Barangkali simbah adalah sosok yang unggul perihal ini. Sulit kali aku memikirkan sosok terkenal di jagad bumi ini kecuali simbah karena dia sosok terdekat dan aku cukup dekat dengannya. Beliau sudah pergi untuk selama-lamanya, hidup dengan keabadian dan segala cahaya yang sudah ia kumpulkan semasa di dunia.
Aku mengenal dia sebagai sosok yang selalu patroli dan siaran layaknya penyiar radio setiap hari di rumah untuk mengingatkan perkara sederhana dan kecil. Memang sudah barang tentu naluri orang tua seperti itu, rodanya sudah lebih terasah jalan jauh daripada cucu cicitnya yang membedakan jahe dan lengkuas saja masih susah. Siapa sangka, ternyata ada orang yang memang diam-diam memberi tenaga kepada kita melalui sujud syukurnya, siapa yang menyangka jika wanita tua tersebut adalah pendengar terbaikku dengan segala kepayahan sebab usianya yang sudah sulit berkompromi.
Adalah benar, beliau sosok yang selalu pasang telinga atas harapan dan usaha kami para cucunya untuk menghadapi hidup. Di tempat sembahyang malam yang dilakukan selama ini, berserakan kertas-kertas sobekan yang tertuang doa dan mantra yang disiapkan olehnya untuk berdoa.
Di sobekan kertas-kertas itu, ternyata tertera jadwal ujian milikku beserta mata kuliah detail tiap jamnya, tertera doa dan mimpi-mimpinya sebelum ia pulang ke keabadian untuk bisa memakmurkan anak cucu cicitnya, di kertas usang yang sudah tersobek itu ada lembaran nama tempat yang ingin sekali aku kunjungi, di kertas itu juga ada catatan piutang atas kedermawanannya meminjamkan tanpa sepengetahuan ibu dan bapak.
Takut tidak diizinkan sudah pasti, karena seringkali ditipu tetangga sana sini, namun apalah artinya menasihati orang yang terlampaui dermawan. Ah, misinya sudah pasti makmur di alam keabadian.
"Ini catatan apa, Bu?", tanyaku kepada Ibu.