Lihat ke Halaman Asli

Nur AlfilNajmatul

Pelajar/Mahasiswa

Santri Tak Lain adalah Pelopor Peradaban

Diperbarui: 7 Desember 2023   05:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jika mengulas terkait peran santri dalam perjalanan kebangsaan, maka akan ditemukan banyaknya dukungan santri kepada NKRI. Melalui maha karya dan kontribusinya dalam mewarnai dinamika kemajuan bangsa.

Dalam sejarah perjuangan, kiprah pondok pesantren sangatlah dirasakan oleh masyarakat, contoh halnya adalah pondok pesantren merupakan laboratorium untuk mencetak, membentuk kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam merupakan gerakan-gerakan protes kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. 

Gerakan-gerakan seperti ini selalu dimotori oleh para santri. Kita dapat melihat hal tersebuit pada gerakan pemberontokan petani di Cilegon-Banten pada tahun 1888, Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi kalisalak pada 1786-1875 dan gerakan-gerakan lainnya merupakan suatu fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pondok pesantren memiliki pperan yang cukup besar dalam perjalan sejarah Islam di Indonesia (Syafe'i, 2017).

Telah diprediksi bahwasanya menuju 2030 menjadi tahun awal emas Indonesia. Mengenai peristiwa tersebut, santri dihadapkan pada dua pilihan. Menjadi pelopor kemajuan bangsa ataukah hanya menjadi pengekornya? Pilihan awal tentu menjadi asa dari bangsa Indonesia itu sendiri.

Dalam menyiapkan fenomena tersebut, dibutuhkan santri yang memiliki kecerdasan tinggi dan pemikiran kritis. Terlepas dari itu, santri harus bisa berdiri di kaki sendiri dengan keteguhannya memegang nilai-nilai yang diajarkan oleh pesantren. Sebab, dewasa ini tidak sedikit dijumpai kasus kriminal yang sangat tidak etis jika dialami oleh santri. Karenanya, keistiqomahan prinsip karakteristik santri tidak boleh sirna dalam jiwanya.

Melaraskan urusan agama dan negara menjadi upaya jihad yang ditawarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari. Sebagaimana keputusan Presiden No 22/2015 telah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, berawal dari pertanyaan Soekarno kepada Hasyim Asy'ari "Apa hukumnya membela negara?" Mengenai hal tersebut, Hasyim Asy'ari mengadakan rapat dan mengajak seluruh kiai se-Jawa di kantor Pengurus Besar Ansor Nahdlatul Oelama (PB ANO). 

Lalu, yang menjadi poin penting dari perkumpulan itu adalah lahirnya sebuah sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Dengan sebagian pasal maklumat Hasyim asy'ari saat itu berbunyi wajib hukumnya membela negara dari serangan penjajah. Mendengar ungkapan tersebut, berhasil menyulut perjuangan lain, peristiwa heroik pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Bahkan, pasal lain dari maklumatnya menyebutkan bahwa dikatakan syahid dan bernilai jihad fisabilillah apabila seorang santri yang berperang melawan Belanda.

Di era modern, penjajah bukan lagi menikam fisik. Tetapi mencoba masuk ke pemahaman rakyat untuk memecah bangsa Indonesia. Mengemban amanah sebagai santri tidak akan menghalanginya untuk melawan penjajah saat ini. Melalui pengajaran yang memasukkan nilai-nilai religi, kemanusian juga sosial, membuka mata wawasan santri dalam berperilaku dan berbahasa. Oleh karena itu, tak jarang yang menyebut satri sebagai orang yang memiliki moral tinggi.

Terlebih, dalam kegiatannya berbagai diskusi atau yang dalam dunia pesantren disebut bahtsul masaail, dilakukan mengenai persoalan masyarakat dalam realita sehari-hari. Hal ini menumbuhkan pandangan santri dari berbagai sisi. Dengan demikian, santri menjelma sebagai kiblat bagi masyarakat dengan berbagai persoalan yang tengah dihadapi.

Kini, berbagai pesantren modern telah tercipta dengan mengajarkan pemahaman mengenai digital. Dengan itu, yang menjadi harapan adalah santri tetap mengikuti arus peradaban dan ikut berperan di era sekarang.

Bukan hanya melalui majlis ta'lim, santri pun dituntut untuk melakukan gebrakan pada platform media sosial. Melalui konten yang bernuansa religi, argumen mengenai konflik sosial budaya maupun dalam pandangan keagamaan, serta penggambaran dunia pesantren yang kaya akan akhlak yang baik. Santri harus menjadi penggerak menuju arah kebaikan. Menarik masyarakat untuk ikut terjun berakhlak santri. Sebab, seperti dawuh Gus Mus "Santri bukan hanya yang mondok saja, tetapi siapapun yang berakhlak seperti santri, dialah santri."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline