Lihat ke Halaman Asli

Nuraini Mastura

Ibu rumah tangga

Rumah Nene

Diperbarui: 7 September 2024   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Sebuah rumah berdinding anyaman bambu dan beratapkan ijuk tampak di hadapan. Rumah pertama yang kami temui begitu memasuki desa ini. Berbeda dari rumah-rumah lainnya, ia tampak paling menonjol karena memiliki beranda yang cukup lega. Warga desa menyebutnya sebagai Rumah Nene.

Setelah bersusah-payah menempuh perjalanan panjang melalui rute darat dengan bus dan omprengan, dilanjut dengan menaiki rakit sederhana melintasi danau, akhirnya kami sampai di desa terpencil yang terletak di cekungan lembah. Terisolir sepenuhnya dari peradaban. Begitu mengitari danau, barulah mata kami menyaksikan barisan gubuk dengan atap-atap ijuk hitam yang terselubungi kabut.

Pak Awang, yang semula mengantar kami menyeberang dari desa sebelah, kini sudah tak terlihat batang hidungnya. Sepenuhnya meninggalkan kami sendiri di sini. Seperti empat anak itik yang baru kehilangan induknya.

Aku, Rendi, Yoga, dan Nada.

Empat mahasiswa yang akan menunaikan kerja pengabdian di sebuah desa sebagai salah satu prasyarat akhir kelulusan selama dua bulan ke depan.

Semenjak datang, kami langsung menyadari kejanggalan dari desa yang kami masuki ini. Warganya, terutama kaum usia mudanya, hanya tersisa segelintir. Sepanjang jalan, kami menemui banyak rumah-rumah kosong yang ditinggalkan tak berpenghuni.

Dahulu desa ini merupakan pusat pembuangan para penderita lepra. Ia sudah ada sejak abad ke-18. Warga di sini adalah keturunan para penyintas. Demikian penjelasan dari Pak Awang. Meski aturan pengarantinaan desa ini telah lama dihapus, kesan pengasingan itu masih kuat terasa.

"Ini bukan seperti desa terpencil. Ini, sih..." ucapanku terputus karena khawatir akan reaksi teman-teman yang lain.

"Desa mati." Tetapi Yoga malah meneruskan omonganku tanpa rem.

Nada seketika membelalak. Dari kami semua, mungkin dialah yang paling penakut.

"Huss." Rendi mendengus, kentara sekali terusik. Sebagai kapten di lapangan, komando ada di tangannya. Dan ia jelas tak segan mengambil tindakan bila melihat anggota timnya teralihkan dari fokus. Aku ingat dengan perkataannya sebelum kami berangkat. "Kita adalah tim perintis. Pemuda-pemudi dengan semangat baru yang tidak ternoda oleh takhayul dan kepercayaan mistis." Semangatnya begitu membara. Aku bisa membayangkan dirinya mengepalkan tinju di aksi-aksi mahasiswa yang memperjuangkan keadilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline