Lihat ke Halaman Asli

Antara Wadah Koneksi dan Sarang Ujaran Kebencian?

Diperbarui: 2 Juli 2024   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Unsplash/com.

Di era digital yang serba terhubung ini, media sosial bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi wadah yang mempermudah kita untuk saling berkoneksi dan bertukar informasi. Namun di sisi lain, media sosial juga menjelma menjadi arena bagi penyebaran ujaran kebencian atau hate speech.

Twitter, dengan jangkauan global dan format mikrobloggingnya yang memungkinkan pengguna untuk berbagi pemikiran dalam 280 karakter, menjadi salah satu contoh platform yang rawan akan konten kontroversial. Kontroversi sering muncul ketika komentar atau pendapat dianggap menyimpang ke arah hate speech.

Hate speech atau ujaran kebencian mengacu pada komunikasi yang bertujuan untuk menghina atau menyinggung individu atau kelompok berdasarkan identitas mereka, seperti ras, etnis, agama, orientasi seksual, gender, atau disabilitas. Ujaran ini dapat berupa kata-kata, gambar, atau video yang disebarkan secara online atau offline.

Sifat platformnya yang terbuka dan interaktif memicu perdebatan sengit tentang batasan kebebasan berbicara dan dampak dari ujaran kebencian. Debat antara kebebasan berbicara dan tanggung jawab sosial memunculkan diskusi mendalam tentang regulasi dan etika dalam penggunaan media sosial.

Tidak jarang, ujaran kebencian di Twitter bagaikan api yang membakar, menyebar dengan cepat dan tak terkendali. Fitur retweet dan trending topics bagaikan bensin yang menyulut api tersebut, memungkinkan pesan-pesan penuh kebencian dan merugikan ini menjangkau audiens yang luas dalam sekejap mata.

           

Dari Hate Speech hingga Doxxing Pelaku 

Pelaku hate speech umumnya memiliki beberapa karakteristik, seperti kurangnya empati dan toleransi, keinginan untuk menjatuhkan, ketidakamanan, dan pengalaman traumatis. Dampak negatif hate speech pun tak main-main, mulai dari kekerasan fisik dan verbal, trauma psikologis, stigma dan diskriminasi, hingga polarisasi sosial.

Salah satu respon yang sering muncul dari penyebaran konten kontroversial di Twitter adalah doxxing, yaitu tindakan mengungkapkan informasi pribadi seseorang secara online tanpa persetujuan mereka. Doxxing sering digunakan sebagai bentuk balas dendam atau intimidasi terhadap individu yang dianggap telah melakukan kesalahan atau pelanggaran.

Pada tahun 2023, seorang wanita di Indonesia menjadi korban doxxing setelah dia mengkritik seorang public figure di Twitter. Informasi pribadinya, termasuk alamat rumah dan nomor telepon, dibagikan secara online oleh para penggemar figur tersebut. Akibatnya, wanita itu menerima pelecehan, ancaman, dan bahkan rumahnya didatangi oleh massa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline