Lihat ke Halaman Asli

Kisah di Ujung Pena

Diperbarui: 9 Mei 2022   06:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

'Beri tahu aku, agar aku bisa pulang tanpa harus tersesat lebih lama'.

Kalimat terakhir yang aku tulis di buku agenda. Satu kalimat pengingat agar secepatnya bisa menjadi "aku" yang dulu. Yang lupa rasanya jatuh cinta dan merindu. 'Benarkah rindu itu berat?' seperti yang diucapkan Dilan untuk Milea.

'Huuffff, kasihan kamu, Lee,' gumamku, sambil menutup buku agenda. 

Berkas cahaya matahari pagi mulai jatuh di permukaan daun, membuat kilauan yang cantik ketika menyentuh embun yang menggantung di ujungnya. Perlahan bergerak, dan jatuh.


Sekelumit senyum aku sunggingkan di wajah yang makin hari makin pucat. Tergambar jelas di kaca jendela  kalau aku memang sudah tidak muda lagi.

Ponsel bergetar, layar menyala, tanda notifikasi satu pesan baru sudah masuk. Aku hanya menatapnya, pesan ke dua, ke tiga dan tak lama berselang, sudah lima pesan baru tertulis di layar. Aku beringsut dari tempat tidur, ujung kaki menyentuh Poporing  --boneka kucing berwarna kuning, tergeletak di lantai. Mungkin semalam dia lepas dari pelukanku dan jatuh.

[Yang, aku sudah di kantor, ya?]
[Kamu hari ini ke mana?]
[P]
[P]
[P]

Chat beruntun yang setiap pagi dikirimnya untukku. Ya, dipungkiri atau tidak, chat itu selalu kutunggu kehadirannya setiap pagi.

[Ya]
[Lokasi 1], jawabku singkat.

Aku buka galeri, satu gambar sepasang kekasih tengah berdiri berdampingan dengan latar pemandangan asri khas Bali.

Bodoh, mereka begitu serasi. Dengan berat ku embuskan napas. Melemparkan ponsel ke atas bantal, lalu jatuhkan tubuh ke kasur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline