Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Kawasan dengan potensi sumber daya alamnya yang besar ini memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan suatu daerah, terutama bagi daerah-daerah yang memiliki wilayah pesisir dan lautan yang lebih besar daripada wilayah daratan. Wilayah pesisir merupakan wilayah pintu gerbang bagi berbagai aktifitas pembangunan manusia dan sekaligus menjadi pintu gerbang dari berbagai dampak dari aktifitas tersebut. Dengan kata lain wilayah pesisir merupakan wilayah yang pertama kali dan paling banyak menerima tekanan dibandingkan dengan wilayah lain. Tekanan tersebut muncul dari aktivitas pembangunan seperti pembangunan permukiman/perdagangan. Dikarenakan wilayah pesisir rentan terhadap perubahan baik secara alami ataupun fisik sehingga penurunan kualitas lingkungan dapat terjadi secara cepat, salah satu contohnya ialah pada ekosistem mangrove. Hal ini mendasari degradasi lingkungan masuk ke dalam isu-isu perencanaan ruang laut yaitu dalam hal ekosistem dan sumber daya lautnya.
Ekosistem mangrove atau yang sering disebut sebagai hutan payau atau hutan bakau merupakan tipe hutan daerah tropis yang khas tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Berdasarkan UU no. 27 tahun 2007 pasal 35 terkait larangan merusak ekosistem dapat kita ketahui bahwasannya “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, melakukan konversi ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain”. Dari adanya pasal ini dapat kita lihat bahwasannya keberadaan hutan mangrove di dalam suatu ekosistem pesisir sangat diperhatikan dan dijaga mengingat fungsi dari mangrove sendiri yaitu sebagai penjaga kestabilan garis pantai, mencegah tsunami, mencegah abrasi dan sebagainya.
Potensi sumber daya hutan mangrove di era otonomi saat ini merupakan aset daerah yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah khususnya pembangunan daerah pesisir. Karena itu pelestarian hutan mangrove merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan dengan tetap memperhatikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya lokal setempat. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Kota Batam yang memiliki wilayah pesisir dan lautan seluas 2.950 Km² atau 73,93% dari luas total wilayahnya yaitu 3.990 Km² (Batam Dalam Angka 2010) memiliki sumber daya pesisir dan laut yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat salah satunya ialah hutan mangrove.
Meskipun kota ini sudah di tetapkan sebagai kawasan berikat yang di peruntukan bagi kegiatan industri, perdagangan dan alih kapal, namun tetap memiliki kekhasan vegetasi mangrove sebagai ekosistem alami yang membentuk gugusan pulau-pulau dan menjadi bagian dari wilayah adiministratif Kota Batam. Akan tetapi disayangkan kondisi ekosistem mengrove di wilayah Batam dan sekitarnya terus mengalami degradasi akibat tekanan yang berlebihan. Ratusan hektar lahan mangrove berubah fungsi dan di reklamasi menjadi kawasan komersil seperti industri alih kapal, pelabuhan, kawasan perdagangan dan pemukiman, tempat wisata dan lain – lain.
Berdasarkan data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan , Kota Batam kehilangan sekitar 800 hektare hutan mangrove sepanjang tahun 2015. Penurunan secara drastis terus terjadi hingga akhirnya hanya tertinggal 4,7% wilayah hutan mangrove dari yang sebelumnya mencapai 27% wilayah Kota Batam (Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, 2017). Degradasi hutan mangrove ini disebabkan karena adanya alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi waduk, konservasi untuk pemukiman, konservasi untuk tambak, penimbunan untuk kepentingan wisata, penambangan pasir, penebangan untuk usaha arang dan pencemaran dikarenakan limbah cair ataupun padat yang berasal dari Kota Batam sendiri maupun dari Negara tetangga.
Konsep penanganan yang dapat dilakukan dalam melakukan pelestarian hutan mangrove di Pesisir Kota Batam ini adalah dengan membuat Integrated Mangrove Education Corner(IMEC). Ini merupakan salah satu ide dimana di dalam suatu kawasan wisata hutan mangrove dibuatkan satu lokasi untuk wisata edukasi mangrove dimana sasaran pengunjungnya adalah semua umur. Pojok edukasi mangrove ini terdiri atas 3 bagian yaitu yang pertama “Let’s Plant the Future”. Pada lokasi ini akan disediakan lahan yang memiliki hutan mangrove dengan tingkat kerusakan tinggi untuk di rehabilitasi/restorasi. Inti kegiatannya pengunjung dapat belajar cara menanam pohon mangrove sendiri dimana untuk pohon mangrove nya sendiri akan diberikan secara gratis sebanyak 1 pohon per individu, jika pengunjung ingin menanam lebih dari 1 pohon, pengunjung diharuskan untuk membeli pohon tersebut sendiri.
Dalam pengajarannya, kita dapat melibatkan masyarakat sekitar untuk dipekerjakan agar dari segi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar dapat terbantu. Yang kedua yaitu “Let’s Find Out”, dimana pada lokasi ini pengunjung akan dibawa ke dalam suatu ruangan yang sudah di setting khusus 5D dan akan diberikan gambaran apa yang akan terjadi jika seluruh hutan mangrove yang ada semakin menurun jumlah produksinya (bencana apa saja yang dapat terjadi) kemudian setelah itu pengunjung dapat memilih area games simulasi bencana yang juga berada di dalam lokasi ini.
Harapannya pengunjung bisa lebih sadar akibat dari perbuatannya jika mereka merusak ekosistem mangrove. Dan bagian yang terakhir adalah “We Know More” yaitu museum hutan mangrove yang di dalamnya berisikan semua pengetahuan terkait ekosistem mangrove seperti jenis-jenis mangrove, manfaat hutan mangrove, bencana apa saja yang pernah terjadi dikarenakan degradasi mangrove dsb. Selain itu juga terdapat area penjualan berbagai hasil karya olahan mangrove yang dibuat oleh masyarakat sekitar seperti kerajinan dan juga berbagai produk makanan non kayu yaitu seperti pengolahan propagul (buah) dan daun mangrove untuk dijadikan aneka kuliner seperti sirup, kue bolu, keripik, dodol, teh dan aneka kuliner lainnya. Hal ini diharapkan dapat membantu mengurangi ketergantungan masyarakat akan penggunaan kayu mangrove sebagai arang kayu.
Dalam pelaksanaannya, peran serta masyarakat sekitar akan sangat dilibatkan baik sebagai tour guide, pengajar maupun pengolah hasil mangrove sehingga faktor keberlanjutan (sustainability) pelestarian hutan mangrove ini dapat berjalan secara bersamaan dari segi sosial, ekonomi dan lingkungannya. Hal ini tentu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dikarenakan adanya pemberdayaan masyarakat lokal yaitu dengan dibukanya lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar untuk mendapatkan manfaat dan memberikan kontribusi bagi keberhasilan pembangunan lingkungan pesisir.
Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengadakan CSR (Corporate Social Responsibility) agar membantu memberikan pelatihan kepada masyarakat sekitar sebelum mereka benar-benar dilibatkan perannya atau bisa juga menggunakan program dari Pemerintah yaitu PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) untuk membantu dalam hal pemodalan dan pelatihan masyarakat pesisir. Dengan adanya pendekatan melalui masyarakat ini diharapkan masyarakat sekitar lebih memiliki rasa kepemilikan (sense of belonging) akan kawasan hutan mangrove sendiri dan lebih memperketat pelestarian dan penjagaan hutan mangrove.