Infrastruktur merupakan salah satu aspek pendukung utama yang sangat dibutuhkan oleh suatu Negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Indonesia sebagai Negara berkembang terus menerus melakukan peningkatan dari segi infrastrukturnya. Pembangunan infrastruktur saat ini tidak hanya terpaku pada pembangunan di Pulau Jawa saja akan tetapi pembangunan di luar Pulau Jawa lah yang menjadi prioritas untuk mewujudkan pembangunan Indonesia-sentris bukan hanya Jawa-sentris sehingga dapat terwujudnya pemerataan pembangunan di daerah.
Hal ini juga untuk menguatkan posisi Indonesia di mata dunia terutama semenjak AEC sudah berlaku karena infrastruktur merupakan urat nadi ekonomi dan pembangunan. Jalan merupakan salah satu aspek pendukung yang sangat penting dari AEC yang sedang berlangsung saat ini, sebagai contoh Negara Thailand menginvestasikan 70 miliar dollar AS pada tahun 2014 untuk pembangunan infrastruktur jalan dalam rangka menyambut AEC. Inilah yang mendorong adanya permintaan agar pemerintah segera merealisasikan pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS).
JTTS merupakan jalan tol sepanjang 2.818 km yang direncanakan akan menghubungkan kota-kota di Pulau Sumatera yaitu dari Lampung hingga Aceh. Pada tahun 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perpres no. 100 tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera yang berisikan bahwasannya pembangunan JTTS akan dipegang oleh BUMN yaitu PT Hutama Karya (Persero). Proyek Pembangunan JTTS ini merupakan bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Sumber pembiayaan yang digunakan dalam pembangunan JTTS ini berasal dari sumber dana konvensional yaitu berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) dan non konvensional berupa pembiayaan melalui obligasi sebagai bentuk bridging financing. PMN disini berasal dari APBN dimana untuk 5 tahun kedepan kebutuhan PMN proyek JTTS ini meningkat dari Rp 12,95 triliun menjadi Rp 17,4 triliun. Artinya, ada kenaikan kebutuhan PMN Rp 4,45 triliun atau 34,36%. Sejauh ini, demi memenuhi kebutuhan ekuitasnya, BUMN telah mendapatkan PMN sebesar Rp 3,6 triliun pada tahun 2015 dan Rp 2 triliun pada tahun 2016. PT. Hutama Karya sendiri membutuhkan dana hingga Rp 81 triliun untuk melaksanakan pengusahaan delapan ruas JTTS. Dari situ porsi ekuitas perusahaan (dana perusahaan, PMN dan obligasi) sebesar Rp 52,6 triliun dan sisanya Rp 28,4 triliun berasal dari pinjaman perbankan nasional. Untuk pinjaman perbankan, pihak yang telah berkomitmen sebagai lead adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
Selain PMN, sumber pendanaan lainnya yang digunakan oleh PT Hutama Karya berasal dari obligasi. Obligasi merupakan utang jangka panjang dimana terdapat kupon bunga yang harus dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran. PT. Hutama Karya mematok kupon bunga sebesar 8,25% - 8,70% dengan melakukan penawaran umum berkelanjutan (PUB) obligasi dalam 3 tahap dengan nilai tiap tahap yaitu Rp 1 triliun, Rp 2,5 triliun dan Rp 3 triliun. PT Bahana Securities, PT Danareksa Sekuritas, dan PT RHB Securities bertindak sebagai penjamin emisi obligasi Hutama Karya. Dana hasil emisi akan digunakan untuk membiayai capital expenditure/capex tahun 2017 yang mencapai Rp 11 triliun. Selain PMN dan obligasi, Pemerintah juga melakukan subsidi silang BPJT dari trans Jawa senilai Rp 8,3 triliun untuk membantu pemodalan JTTS.
Menurut saya, sistem pembiayaan yang digunakan dalam pembangunan JTTS ini sudah baik dengan menggabugkan obligasi dan PMN dalam membantu memenuhi ekuitas perusahaan mengingat pembangunan JTTS memang belum layak dalam hal financing karena IRR (Internal Rate of Return) yang masih kurang sehingga pembangunan proyek dianggap belum layak dilaksanakan. Peneribitan obligasi ini menguntungkan karena di dapatkannya fresh money, sehingga penerbit obligasi dapat langsung bekerja tanpa menunggu uang cair dan juga di dapatkannya modal yang dapat membantu pembangunan infrastruktur lebih cepat dengan tempo pengembalian yang relatif panjang.
Akan tetapi, dengan adanya keputusan DPR menahan alokasi anggaran PMN kepada 25 BUMN dalam APBN 2016 akibatnya dapat menghambat pembangunan JTTS mengingat mayoritas PMN masuk di dalam skema pembiayaan JTTS. Hal ini tentu saja dapat menghambat pembangunan JTTS. Hal ini tentu saja dapat menghambat pembangunan JTTS karena PT. Hutama Karya harus menghitung ulang pembiayaan 4 ruas JTTS. Dari sini, mungkin pemerintah maupun BUMN bisa mulai mencari sumber pembiayaan lainnya, salah satunya dengan meningkatkan kerjasama pemerintah – swasta (PPP) dengan Benefit Cost Analysis sebelum pelaksanaan proyeknya, sehingga dalam pelaksanaannya nanti apabila terjadi kendala dapat cepat teratasi dan proyek tidak akan mangkrak. Selain itu, hal ini juga dapat membantu membranding JTTS agar lebih menarik secara komersil.
Penggunaan obligasi juga akan lebih maksimal jika pemerintah memiliki obligasi khusus untuk infrastruktur sehingga tidak melalui mekanisme APBN lagi agar pemerintah tidak perlu secara khusus mencari sumber pembiayaan lainnya mengingat sumber pembiayaan obligasi ini sangat baik disaat APBN sudah tidak mampu memenuhi pembiayaan infrastruktur. Kemudian adanya subsidi silang dari pembangunan infrastruktur di Pulau Jawa juga membantu dalam pembiayaan mengingat pembangunan di Pulau Jawa lebih besar kesempatan mendapatkan investor asing, sehingga pendanaannya dapat dialihkan ke pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa. Selain strategi pendanaan diatas, dapat pula dikembangkan sumber pembiayaan lainnya seperti pembiayaan melalui Coporate Social Responsibility(CSR), Availibility Payment, Kawasan Ekonomi Khusus, dan Debt Nature Swap (DNS).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H