Lihat ke Halaman Asli

Nur Seta Bramadi

Book writer and former English teacher in LPIA Jakarta and Bekasi (2008-2018)

(Esai Pendek) Pancasila Buddhis dan Pancasila Indonesia

Diperbarui: 1 Juni 2024   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Pustaka Dhamma

Selamat Hari Lahir Pancasila.

Hari Lahir Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Juni. Pancasila Indonesia kita ini memang merangkum butir-butir keberagaman yang ada di Indonesia. Esensi setiap sila dalam Pancasila Indonesia memang sangat fundamental dalam menyatukan heterogenitas budaya dan masyarakat Indonesia. Pancasila Indonesia adalah memang ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia. Semua suku, budaya, agama, dan kepercayaan, mendapat posisi yang setara. Setiap upaya ingin merongrong Pancasila memang harus ditindak tegas, karena hanya akan menghambat proses pembangunan bangsa dan negara.

Bagaimana dengan Pancasila Buddhis?

Ini adalah lima sila dasar bagi setiap penganut Buddhisme, khususnya kaum awam. Bagi para biksu/biksuni, jumlahnya bisa lebih banyak lagi, yakni ratusan sila. Pancasila Buddhis berisi yakni: "Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup (1), pengambilan barang yang tidak diberikan (2), perbuatan asusila (3), ucapan yang tidak benar (4), minuman yang memabukkan yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran (5)". Wah... narkoba boleh dong? Tidak juga. Bahkan merokok (reguler atau vape) pun sebaiknya dihindari. Tidak disebutkan larangan ini secara eksplisit dalam Pancasila Buddhis, mungkin karena fenomena itu belum ada di zaman Buddha Gautama dulu. 

Di mana korelasi antara Pancasila Buddhis dan Pancasila Indonesia?

Esensinya tentu sama, yakni ingin membangun individu yang bersih dan bermoral tinggi. Beberapa poin dalam Pancasila Buddhis pun memiliki ketegasan moral yang sama dengan Islam, yakni dilarang mencuri, berzina, berbohong, dan minuman memabukkan. Dengan demikian adalah salah-kaprah bila masih ada yang beranggapan Buddhisme tidak memiliki ketegasan moral alias liberal. Apa yang mungkin kerap di lihat di film atau realita sebagian negara Buddhis, kadang tidak sepenuhnya merefleksikan Buddhisme sesungguhnya. Agama tak harus identik dengan negara tertentu. Bangsa tertentu tidak lebih Buddhis dari bangsa lain, karena dari "negara Buddhis". Nilailah orang dari perilakunya, bukan dari label agama atau negaranya. 

Benarkah sila pertama Pancasila Buddhis kerap menimbulkan kerancuan?

Nah ini... sepertinya, ada benarnya. Bahkan sering menimbulkan "kontroversi" di kalangan umat Buddhis sendiri. Sampai sejauh mana "dilarang membunuh makhluk hidup" bisa diterapkan? Membunuh nyamuk penyebar malaria atau DBD apakah tidak boleh? Bagaimana dengan "membunuh" cacing di tanah akibat cangkulan petani atau traktor? Kita berjalan saja pun pasti "membunuh" semut atau serangga kecil lainnya secara tidak sengaja. Karma buruk-kah itu? Menurut berbagai sumber, hal itu bukan karma buruk bila kita tidak berniat membunuhnya. Jadi, anggap saja sebagai seleksi alam yang memang tak bisa dihindari. Dinosaurus mati dulu adalah karma buruk siapa? Bukan karma buruk siapapun, bukan?

Oke, saya tahu... pasti masih ada yang "mengganjal" berkenaan dengan sila pertama Pancasila Buddhis ini, seperti jadi tentara itu boleh atau tidak? Memproduksi atau menjual senjata yang bisa dipakai untuk membunuh itu boleh atau tidak? Membunuh hewan buas karena membela diri itu boleh atau tidak? Bekerja di industri pemotongan daging itu boleh atau tidak? Menjadi nelayan itu boleh atau tidak?... dst. Saya bukan pakar Buddhisme. Saya hanya bisa menyarankan untuk mempelajari Buddhisme lebih lanjut di berbagai sumber (offline atau online). Lebih kurangnya saya mohon maaf. Semoga esai pendek ini tetap punya sedikit manfaat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline