Lihat ke Halaman Asli

Krisis Demokrasi di Lingkungan Kampus

Diperbarui: 23 Agustus 2024   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Demokrasi dalam lingkungan akademik bukan hanya tentang pemilihan formal atau prosedur administratif, tetapi juga tentang bagaimana kebebasan berpendapat, partisipasi kolektif, dan otonomi intelektual dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari kampus. Namun, sering kali, prinsip-prinsip ini dapat terkikis ketika individu-individu yang memiliki otoritas, seperti seorang profesor, menggunakan posisi mereka untuk mengontrol dan mengarahkan dinamika kampus.

Dalam teori hegemoni Gramsci mengajukan bahwa untuk menjelaskan bagaimana kelompok dominan dalam masyarakat mempertahankan kekuasaan mereka dengan cara mengendalikan aparatus ideologis, seperti sekolah, media, dan institusi budaya lainnya, bukan hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui persetujuan yang diberikan oleh kelompok yang tunduk (Gramsci, 1971). Dalam konteks kampus, seorang profesor yang memegang kekuasaan intelektual dan akademik dapat memanipulasi struktur ideologis, mereka menciptakan semacam hegemoni di mana pandangan mereka menjadi standar atau norma yang tidak bisa digugat. Ini dapat dilakukan melalui kebijakan akademik dan lainnya.

Dimana hegemoni yang dilakukan oleh profesor ini bukan hanya soal dominasi fisik atau struktural, tetapi lebih kepada dominasi ideologis, di mana nilai-nilai dan gagasan mereka dipaksakan sebagai "kebenaran" yang diterima secara luas tanpa pertanyaan. Ini yang Gramsci sebut sebagai "manufacture of consent," di mana pengendalian ideologis menghasilkan kesepakatan dari mereka yang dikuasai, sering kali tanpa mereka sadari. Pada titik ini, kebebasan akademik dan demokrasi kampus mulai tergerus, karena perbedaan pendapat dipandang sebagai ancaman terhadap status quo, bukan sebagai bagian dari diskusi yang sehat dan kritis.

Lebih lanjut, dalam pandangan Gramsci, hegemoni tidak bisa dipisahkan dari apa yang disebutnya sebagai "keterbatasan struktural," di mana akses terhadap alat-alat ideologis dan kekuasaan hanya dimiliki oleh segelintir elit. Tentunya kondisi ini menciptakan kesenjangan signifikan dalam distribusi kekuasaan dan pengetahuan, sehingga demokrasi kampus secara bertahap berubah menjadi oligarki akademik yang hanya melayani kepentingan segelintir orang.

Dengan tuntas untuk melawan fenomena ini, menurut Gramsci harus ada perlawanan seperti de-hegemonisasi, yakni upaya mendekonstruksi dominasi ideologis dan membuka ruang bagi pluralitas ide. Mendorong perlawanan terhadap praktik otoritarian yang merusak demokrasi dan mengembalikan otonomi intelektual kepada komunitas akademik yang lebih luas. Pemberdayaan mahasiswa dan staf untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis dalam kehidupan akademik, serta menuntut transparansi dan akuntabilitas yang berada di posisi kekuasaan.

Tegas, diperlukan upaya sistematis untuk melawan dan mendekonstruksi hegemoni tersebut. Melalui cara ini kampus dapat kembali menjadi ruang terbuka dan inklusif bagi semua anggota komunitas akademik, di mana kebebasan, keadilan, dan demokrasi dapat berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline