Lihat ke Halaman Asli

Benarkah Tuhan itu Ada?

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Itu bukan judul kontroversial. Dalam tulisan ini  saya juga tidak akan menjawab pertanyaan itu. Kalimat itu sekedar terjemahan dari kalimat bahasa Inggris :''Is there really God?''. Dalam sebuah video pembelajaran anak-anak Inggris diperlihatkan situasi bagaimana seorang guru SD di negara Inggris (bagi anak-anak berumur sekitar 7-10 tahun) mengajar . Di balik model  pembelajaran yang ingin diperlihatkan, ada yang menarik perhatian saya. Di dinding bagian belakang dan sisi kelas ada beberapa tulisan berupa kata-kata bijak, semboyan, dan beberapa hasil karya siswa. Ada tulisan menarik; '' Is there really God ?'' dan ""Is there life after death?'' (Adakah kehidupan sesudah kematian?)

Merasa penasaran, akhirnya saya browsing di internet tentang bagaimana pelajaran agama di Inggris. Saya juga tanya beberapa orang yang berasal dari Eropa Barat. Ternyata, sudah puluhan tahun ini  di Inggris dan negara-negara Erop Barat lainnya, siswa harus belajar tentang agama-agama yang ada di dunia. Di kelas-kelas yang rendah baru dengan cara yang sederhana, bertahap, kemudian di sekolah yang lebih tinggi mereka mempelajarinya secara lebih dalam. Di sekolah setingkat SMP mereka sudah harus bisa membuat makalah yang mendalam tentang suatu agama atau kepercayaan yang ada di dunia ini. Tujuan keharusan mempelajari semua agama ini selain untuk mengenal juga agar mereka memiliki rasa toleransi terhadap perbedaan. Dengan begitu sejak kecil mata mereka sudah terbuka bahwa di belahan bumi lain di dunia ini banyak orang-orang yang memiliki cara berpikir yang berbeda dengan  mereka sendiri. Meski mereka beragama nasrani misalnya mereka juga harus mempelajari tentang Islam, Hindu, Buddha, dan juga agama atau kepercayaan yang tidak berdasarkan monoteisme.

Lebih dari itu, di sebagian besar budaya barat, sejak kecil-baik melalui pendidikan di sekolah maupun budaya-anak diajar untuk mengasah apa yang disebut ''moral conscience''. Kesadaran moral, yaitu kesadaran apakah sesuatu itu baik atau buruk, selain dilandasi ajaran agamanya juga berdasarkan pemikiran, pengasahan hati nurani dan akal budi. Setiap anak sejak kecil dilatih untuk menilai, untuk membuat judgement apakah sesuatu peristiwa yang dijumpai di rumah atau di sekolah atau di masyarakat itu baik atau buruk. Pertimbangan baik dan buruk dilakukan melalui pertimbangan akal pikiran (akal budi). Begitu juga pembelajaran agama di sekolah-sekolah yayasan nasrani yang sudah modern.

Cara pelajaran yang mengembangkan critical thinking seperti itu pada tahapnya melahirkan suatu generasi tertentu. Generasi muda di Eropa dan yang berdasarkan budaya barat lainnya (misalnya Australia dan USA ), tidak banyak lagi yang menghadiri gereja. Gereja -gereja saat ini lebih banyak dihadiri oleh para generasi tua. Namun dalam setiap perayaan keagamaan seperti natal misalnya gereja penuh dihadiri oleh generasi tua maupun muda. Perayaan seperti the World Youth Day yang tahun ini diselenggarakan di Spanyol  juga dihadiri oleh ratusan ribu umat Katolik.

Bahwa para generasi muda tidak suka ke gereja pada hari Sabtu atau Minggu bukan berarti para generasi muda itu tidak agamis. Bukan berarti mereka tidak mengaku sebagai orang nasrani lagi. Mereka hanya tidak mau mengikut gaya beragama yang mereka anggap tradisional atau ortodoks seperti yang dilakukan generasi orang tua atau kakek-nenek mereka. Segala sesuatu ajaran agama yang ada mereka cek kebenarannya. Yang menurut mereka dianggap sebagai 'nonsense' atau tidak logis, tidak mereka ikuti. Bagi para generasi muda ini, mereka yakin tidak ada satu pun kitab suci di dunia  ini yang dari semua yang tertulis seluruhnya benar atau dengan suatu istilah lain, yang seluruhnya 'asli'. Apalagi yang bersifat dongeng agama, harus dicek kebenarannya. Mereka tidak lagi mau mengikuti segala yang bersifat dogma. Doktrin-doktrin keagamaan yang dulu sering dilakukan para generasi tua tak lagi mempan pada mereka. Mereka tidak mau lagi mengikuti apakah  sesuatu itu sebagai 'harus' dan 'tidak boleh'. Tiap kali ada sesuatu yang''tidak boleh ''mereka harus tahu mengapa tidak boleh. Kalau diberikan suatu alasan, mereka - terbiasa dididik untuk memiliki critical thinking - harus membuktikan dulu kebenarannya dengan berdasarkan bukti-bukti baru mereka mau mengikuti.

Lalu bagaimana dengan pengajaran agama dan pengajaran mata pelajaran yang lain di sekolah di Indonesia? Kalau kita jujur, pelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia masih banyak bersifat doktriin, terlebih agama. Maaf, termasuk agama Islam dan Nasrani. Pengenalan keberadaan Tuhan selalu dimulai dengan kalimat pernyataan. Tidak pernah dimulai dengan pertanyaan seperti yang tersirat dari papan tulisan di Inggris, dan kemudian anak diajak berpikir sendiri. Bahkan untuk pelajaran-pelajaran lain, hampir semuanya bersifat penjelasan untuk dipahami, kemudian dihafalkan untuk kemudian ditanyakan dalam tes. Jadi hampir seperti doktrin juga, hanya bila salah sangsinya bukan maslah 'dosa' atau tidak, tapi masalah nilai tes.

Sebetulnya, sudah sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu guru mengenal bahwa para siswa perlu memilik cara berpikir yang kritis (critical thinking). Tapi tiap kali pula hanya berhenti sebagai sebuah wacana. Sebagian besar guru di Indonesia sendiri, maaf, tidak terbiasa memilik critical thinking. Mereka dapatkan itu dari guru--guru mereka, guru mereka dapatkan itu dari guru mereka juga, turun menurun. Mereka tahu tentang critical thinking, hanya mereka tidak tahu bagaimana mengembangkannyan kepada para siswa. They just don't know how to. Pertama, jarang ada contoh kongkrit, kedua, itu belum menjadi bagian dari budaya mereka sendiri dan budaya masyarakat. Akhirnya beberapa orang generasi baru, generasi muda yang berusia muda bersemangat muda dan mungkin juga pintar tapi memilik cara berpikir yang sama seperti generasi tua.

Bahkan menurut pendapat saya kebiasaan menerima sesuatu secara sudah siap saji tentang apakah sesuatu sebagai baik dan buruk dalam pelaksanaan beragama juga disadari atau tidak berimbas pada karakter guru itu sendiri dan akhirnya juga generasi yang tercipta. Dalam salah satu ajaran agama , setiap kali ada sesuatu, orang langsung merujuk : apa kata kitab suci. Apabila tidak ada, apa kata kitab suci yang tingkatannya di bawahnya. Apabila belum ada lagi, apa kata para ahli agama.  Orang terbiasa harus merujuk pada sesuatu. Apabila sesuatu belum tertulis, etika dalam facebook misalnya, orang kebingungan sendiri. Etika ber-facebook tentu belum ditulis dalam kitab suci. Sedangkan para ulama belum membahas tentang facebook. Mereka tidak terbiasa membuat moral judgement sendiri. So....

Dan masalahnya lagi  mereka tidak menyadari itu. Bahkan mereka juga tidak menyadari itu sebagai suatu masalah. Banyak juga dari suatu pemeluk agama tertentu yang bahkan bangga bahwa agamanya yang paling lengkap dengan segala aturan sampai yang sekecil-kecilnya. Nah dari para guru yang merupakan hasil produk pendidikan sebelumnya dan pendiikan budaya masyarakat dan keluarganya ditambah budaya hasil ajaran agamanya yang tidak ber -critical thinking, tentu sangat sulit menghasilkan generasi yang memiliki cara berpikir yang kritis. Padahal dari generasi itu ada yang sudah jadi  pejabat, anggota DPR, PNS, polisi dll. Diantara mereka ada yang jadi penentu kebijakan negeri ini, ada yang jadi penulis untuk buku pelajaran di sekolah. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada generasi berikutnya lagi. Atau ....mungkin memang tidak perlu dianggap ada masalah di negeri ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline