Masa kecil yang sangat indah tak terlupakan di kampung. Sahur...sahurr...makan sahur tiba dan ibuku harus membangunkan anak anaknya yang jumlahnya 11. Yang pertama membantu ibuku membangunkan anaknya adalah bapak, kemudian saudara yang paling dulu bangun harus membangunkan semua saudara lainnya. Tugas tanpa SK yang dilakukan turun temurun dari tahun ketahun seperti itu.
Walau mata masih kesat tapi kupaksakan turun dari tempat tidur secepatnya, kemudian cuci muka ke kamar mandi. Saat itu kami makan lesehan di bale, semacam bangku lebar terbuat dari kayu dihampari tikar. Dalam bale tersebut sudah tersedia porsi piring masing masing dengan lauknya. Setiap anak tinggal mengambil satu porsi bagiannya.
Kami bergiliran mengambil bagian sepiring nasi dan lauk yang sudah tersedia di piring bersama nasi. Dengan tertibnya kami makan sambil mata terkantuk kantuk. Bagaimana tidak ? Karena kami anak anaknya dibangunkan pk 03.00 jadi rasanya masih ngantuk padahal kan kami tidur paling cepat saat itu jam 22.00. Maksudnya ibuku supaya waktu makan sahur lebih lama, bisa makan apa saja selain nasi.
Walaupun begitu, kami makan sebelas saudara sangat tertib. Puasa saat itu sungguh khidmat dan bersemangat. Tetapi rasanya lama sekali menahan lapar dan dahaga saat itu padahal hitungan jamnya sama. Mungkin karena jaman dulu belum banyak hiburan, media dan tugas pekerjaan ringan tidak seperti sekarang dwngan banyak aktivitas bisa membunuh waktu. Jadi puasa saat itu terasa lemas menahan dahaga.
Walaupun rasanya lemas disiang hari maka saat adzan tiba suka cita kita berburu makanan manis buatan ibuku. Ibuku sangat pandai membuat makanan untuk tajil setiap harinya berganti variasi suapaya tidak bosan. Siang hari anak anaknya sangat bersemangat membantu ibu sambil ngabuburit supaya waktu magribnya tidak terasa.
Makanan seperti kolak pisang, singkong, ubi, kolang kaling,candil, bubur sumsum kalau di daerahku namanya bubur lemu. Bubur lemu ini terbuat dari tepung beras yang diberi aroma daun suji dan pandan sehingga wangi alami menggugah rasa saat makannya ditambahkan gula cair aren dan santan.
Setelah makan sahur jika masih ngantuk kami langsung tidur karena menunggu adzan subuhpun rasanya lama. Jika tidak mengantuk kami baca al Quran atau mendengarkan bapak tausyiah atau sekedar mendongengkan jaman perjuangan bapak melawan penjajah. Selalu bersemangat bapakku kalau sudah bercerita saat saat perjuangannya sampai terdengar adzan subuh tiba.
Setelah adzan subuh boleh tidur kembali boleh jalan jalan keliling kampung. Nah inilah tradisi di bulan Ramadhan jalan jalan saat subuh. Kami keliling kampung bergerombol, ada yang sambil bermain petasan, ada yang hamya sekedar jalan jalan saja sekitar kampung hingga Matahari terbit. Kemudian kami pulang ke rumah masing masing dan melanjutkan tidur supaya tidak ngantuk.
Ada yang berbeda dulu dan sekarang jam sekolah, dulu selalu libur selama Ramadhan. Jadi kami fokus beribadah mengumpulkan pahala ganda Ramadhan bulan seribu bulan. Semakin mendekat di penghujung Ramadhan nuansa keislaman semakin kental. Tadarus, takbir, tarawih selalu bergema di mesjid mapun di rumah rumah. Sungguh kental suasana Ramadhan nan Islami dan religi.
Tradisi yang membuat kangen beberapa hari menjelang lebaran. Setiap rumah berbagi hantaran nasi dan lauk pauknya. Seperti hajatan hantaran bisa sampai ke 30 rumah sesama tetangga satu RT atau handai taulan dan kerabat yang dekat selalu mendapat hantaran menjelang lebaran. Tapi tradisi ini sekarang sudah tidak ada lagi. Sekarang fenomenanya hantaran hampers.
Berkah Ramadhan masih terasa, ikatan kekeluargaan, silaturahmi dan berbagi. Ibadahpun makin rajin dan disiplin. Gema Ramadhan seribu bulan adalah pembelajaran diri dari sisi religi dan humanis makin harmonis. Marhaban yaa Ramadhan.