Lihat ke Halaman Asli

Rokhmah Nurhayati Suryaningsih

TERVERIFIKASI

Keep learning and never give up

Saya Baru Tahu Ternyata Ada "Sindrom Nelangsa"

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1346847988977943264

[caption id="attachment_204089" align="aligncenter" width="450" caption="First Year Passport (Doc: transition.unt.edu)"][/caption] Sindrom ini memang belum saya alami, karena kebetulan anak saya masih kecil. Jadi saya sendiri belum bisa merasakannya, tapi yang jelas orang tua saya pernah mengalaminya. Hal ini terbukti sewaktu saya dulu mau mendaftar kuliah, sebenarnya ada banyak peluang, mau masuk kuliah di ITB, UI, IPB ataupun UGM. Bahkan UNS atau IAIN pun masih bisa karena masing-masing universitas masih berdiri sendiri. Sistem saya pada waktu itu masih Proyek Perintis. Ada Proyek Perintis I, II, III dan IV dengan kriteria sendiri-sendiri. Kalau tidak salah angkatan saya adalah yang terakhir untuk proyek perintis ini. Jadi sedikit nostalgia nih, hehehhe. Cuma pesen orang tua saya begini, "Nggak usahlah kuliah jauh-jauh, karena di Yogja saja ada universitas yang bagus. Yang penting bisa diterima di universitas negeri saja, karena Bapak tidak sanggup bayar kuliah kalau di swasta. Khan adik-adikmu masih banyak yang memerlukan biaya." Akhirnya orang tua menyuruh saya untuk mendaftar semua universitas di Yogja dan Solo, terserah mana saja asal PTN. Pokoknya jangan pergi ke Bandung, Bogor atau ke Jakarta." Ternyata usut punya usut karena ke 3 kota yang saya sebut tadi relatif jauh dibanding Yogja atau Solo dan ujung-ujungnya biaya juga lebih mahal. Sekarang saya baru tahu ternyata semua itu disebabkan karena ada "Sindrom Nelongso", karena orang tua merasa ditinggal oleh anaknya yang kuliah. Kesedihan itulah yang membuat orang tua begitu "Nelongso" atau sedih. Walaupun sebenarnya ada sedikit kegembiraan atau kebanggaan tersendiri kalau anaknya bisa diterima kuliah di universitas yang bagus atau dapat pekerjaan yang bagus. Namun, ternyata kesedihan ini memberikan pengaruh psikologis kepada orang tua. Istilah kerennya dalam medis dikenal dengan Empty Nest Syndrome. Sindrom ini  sebenarnya bukanlah diagnosis klinis, melainkan hanya gangguan yang muncul karena orang tua merasa sedih dan kehilangan ketika ada salah satu anak meninggalkan rumah. Makanya saya pun bisa merasakan bagaimana Bli Ketut (I Ketut Suweca) menulis artikel "Mama Titipkan Tempe dan Abon Untukmu".  Membaca tulisan Bli Ketut, yang ditinggal putrinya untuk meneruskan studinya di UI, si Ibu dengan serta merta bersedia membuatkan apa yang menjadi pesanan putrinya. Meskipun mereka merasa gembira dengan keberhasilan anak, namun  ternyata mereka terutama ibu perlu waktu untuk menghadapi masa transisi kepergian anak. Saya sendiri terus terang, kalau anak saya pulang sekolah telat sedikit saja sport jantung. "Mampir kemana lagi, sudah waktunya pulang ternyata anak belum pulang." Pernah suatu hari Amri sudah harus sampai di rumah sekitar pukul 4 sore, tetapi sampai jam 6 belum pulang. Hadeuh kemana saya harus mencarinya. Saya kontak ibu guru wali kelas dan kepala sekolahnya, hihiihihi. Belum lagi kalau ada acara mabid (menginap di sekolah), wow! rumah benar-benar terasa sepi sekali. Maklum anak tunggal, jadi terasa sekali kalau kehilangan. Jangankan anak satu, lha keluarga saya yang jumlahnya banyak (9 orang), satu saja nggak pulang masih terus ditanyakan. "Sudah nggak kangen sama ibu pa" karena kebetulan saya sendiri memang yang jarang pulang, hehehhehe. Saya tahu rasanya sekarang. Bagaimana menurut Anda? Terima kasih dan Selamat Malam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline