Lihat ke Halaman Asli

[Intip Buku bersama iB] Gak Hanya Ngintip, Tapi Boleh Masuk!

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertama kali difloorkan, acara seminar "intip buku" langsung banyak peminatnya. Berhubung acara ini diperuntukkan bagi para guru, otomatis pesertanya sebagian besar guru dari level SD hingga SMA, walaupun ada juga mahasiswa yang tertarik dengan seminar ini.

Mungkin kita baru mendengar istilah intip buku ya? Biasanya kan yang tenar itu adalah bedah buku. Apa sih bedanya? Well, anda mungkin sudah tahu apa itu membedah. Ya, bedah berarti membuka isinya. Sama seperti membedah tubuh manusia atau hewan, membedah buku juga berarti membuka isi dari buku tersebut. Apa sih sebenarnya yang isi buku atau ide yang dituangkan si penulis. Tentu tidak dengan sangat detail, kalau gak, siapa lagi yang  mau membeli bukunya?

Berbeda sedikit dengan bedah, intip buku lebih kepada melirik buku, ingin memberitahukan ke khalayak ramai bahwa ada loh buku baru dengan judul ini atau itu. Kita tidak mengupas isi dari buku tersebut, namun lebih kepada proses perjalanan si penulis dari mengawali hingga terbitlah buku mereka. Dengan bertukar pengalaman itu diharapkan dapat memicu para peserta seminar untuk berlomba-lomba menulis buku, baik buku dengan tulisan populer, buku sastra maupun buku pelajaran sekolah. Semuanya tergantung minat dan kecenderungan bakat dari masing-masing calon penulis.

Acara intip buku yang diselenggarakan di gedung Bank Indonesia dengan sponsor utamanya adalah iB (baca: ai-bi) atau Islamic Banking ini mengangkat kisah di balik penulisan beberapa buku yang menginspirasikan. Sebut saja ada buku "Jadi Jurnalis itu Gampang!" karya mas Imam FR yang merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam semester 8, UIN Jakarta atau buku "Menulislah Setiap Hari dan Buktikan Apa yang Terjadi!" karya Bapak Wijaya Kusumah, atau yang lebih tenar dengan panggilan Om Jay, yang merupakan seorang guru "besar" dengan unit tugas di SMP Lab School, Jakarta.

Namun, peserta tidak saja mengintip kedua buku tersebut, tapi banyak mendengarkan kisah di balik terbitnya buku mereka. Sebut saja kisah mas Imam FR. Pembuatan buku ini bukan hanya sekedar iseng, tapi lebih kepada sebuah mimpi dan planning atau tekad untuk menghasilkan buku sebelum ia lulus kuliah. Dengan tekadnya itu, akhirnya dia berusaha untuk mencari ide penulisan buku yang memang ia kuasai dan berminat menuliskannya.

Pemilihan tema tulisan diawali dari kesulitannya mencari referensi tentang jurnalisme warga yang kian hari kian menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Indonesia , terutama kaum urbannya. Sebut saja nama kompasiana.com. Sebagai salah satu kompasianer, sebutan bagi para warga yang mendaftarkan diri di kompasiana.com, mas Imam FR merasa bahwa blog keroyokan ini sudah menjadi tempat berbagi informasi yang cukup diperhitungkan. Melihat perkembangan kompasiana ini, mas Imam pun tergerak untuk menulis berbagai hal tentang jurnalisme warga atau istilah kerennya, Citizen Journalism. Walaupun menurut pak Pepih Nugraha, salah satu wartawan senior kompas dan pengasuh kompas.com serta kompasianer aktif ini, dia lebih cenderung menyebutnya dengan "Citizen Reports" karena frekuensi tulisan para kompasianer yang tidak menulis setiap hari. Berbeda dengan istilah journalistik yang berarti menulis setiap hari.

Setelah beberapa kali perubahan gaya tulisan yang awalnya masih sangat kaku, akhirnya pihak penerbit pun setuju untuk menaikcetakkan bukunya tersebut. Pencarian penerbit pun tidak didapatnya dengan mudah. Ada dua cara yang bisa ditempuh oleh para calon penulis buku untuk mencetak dan menerbitkan buku mereka. Pertama, dengan membuat tulisan secara komplit dan utuh lalu diprint out dan ditawarkan ke penerbit. Kedua, dengan cara membuat proposal buku, minimal satu bab tulisan, ke penerbit dan menunggu jawaban dari mereka. Cara kedua ini untuk lebih mempercepat mendapat penerbit dan akhirnya penerbitan buku kita pun bisa lebih cepat pula. Namun, perlu diingat bahwa mencari penerbit itu harus yang tepat. Artinya, ketika kita ingin menulis tentang tema yang berbau komputer, menawarkan ke penerbit elex merupakan pilihan tepat, dan bukan ke penerbit tiga serangkai yang lebih fokus pada penerbitan buku-buku pelajaran sekolah.

Tentu proposal atau tawaran draft buku kita belum tentu langsung diterima. Menurut pak Johan Wahyudi, penulis buku dengan konsentrasi buku pelajaran ini, ada tiga kemungkinan yang kita terima. Pertama, karya kita diterima tanpa syarat; kedua, karya kita diterima dengan editan; ketiga, karya kita ditolak. Jika yang ketiga yang kita terima, jangan berputus asa. Setelah menerima alasan penolakan mereka, kita bisa memperbaiki kekurangan buku kita dan menawarkannya ke penerbit lain. Karena masing-masing penerbit memiliki kebijakan yang berbeda-beda.

Lain mas Imam FR, lain pula Om Jay. Sebagai seorang guru, tulisan Om Jay lebih berbau ke dunia pendidikan. Ia mencoba berbagi pengalaman mengajar dan menuliskannya di blog keroyokan kompasiana.com. Karena tulisannya dianggap memiliki kekuatan dan esensi yang bagus, akhirnya pihak penerbit pun menawarkan tulisannya itu untuk dijadikan buku. Akhirnya, terbitlah buku-buku Om Jay, salah satunya yang berjudul "Menulislah Setiap Hari dan Buktikan Apa Yang Terjadi!". Buku ini memotivasi para masyarakat, khususnya para guru, untuk memulai menuliskan berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan mereka, terutama pengalaman keprofesionalan mereka.

Om Jay menambahkan bahwa banyak sekali keuntungan yang bisa diraih dari menulis. Salah satunya ia bisa keliling Indonesia untuk memberikan seminar-seminar tentang dunia penulisan yang baru digelutinya sekitar tahun 2009 lalu. Ia pun sering diundang menjadi pembicara-pembicara training atau seminar yang tentu saja menambah penghasilannya sebagai seorang guru. Dan yang lebih penting adalah ketika ilmu dan pengetahuan yang dituliskan memberikan manfaat bagi orang banyak, tentunya bukan saja pahala kebaikan yang didapat, tapi juga amal yang selalu mengalir hingga kita sudah tidak lagi ada di dunia yang fana ini.

Menulis bukan saja melulu tentang tulisan populer atau buku pelajaran. Kita juga harus mulai belajar tentang tulisan yang lebih serius semisal jurnal pendidikan atau makalah, seperti yang dilakukan oleh mas Taufiq Effendi. Dengan keterbatasannya, dengan kisahnya yang mengharu biru, doesn UNJ ini mampu meraih 8 beasiswa luar negeri! Bayangkan, seorang tuna netra bisa mendapatkan banyak sekali kebaikan dari kepiawaiannya menulis proposal dan makalah yang sangat inspiratif hingga banyak pihak tertarik untuk menawarkannya beasiswa kuliah di luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline