Lihat ke Halaman Asli

Benarkah Buku Sudah Mulai Menyesatkan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita tentang konten buku pelajaran yang tidak layak ada di buku anak SD masih hangat dibicarakan. Tentunya hal ini banyak mendapatkan respon beragam dari berbagai pihak. Lalu siapa yang mesti bertanggung jawwab terhadap kejadian seperti ini?

Mari kita runtut dahulu akar permasalahannya.

Buku yang ditulis oleh para penulis buku tentunya berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang disusun oleh pemerintah, dalam hal ini kementrian pendidikan nasional. Berpatokan pada rancangan tersebut, para penulis buku akhirnya menelurkan tulisan atau karangan yang sesuai dengan rambu-rambu dalam standar kompetensi tersebut. Akhirnya kasus buku dengan isi istri selingkuh beredar di kalangan para pelajar, karena ternyata materi itu muncul dalam standar kompetensi tersebut.

Ternyata konten yang sejenis tidak hanya ditemukan di buku tersebut. Di pelajaran muatan lokal daerah DKI Jakarta yang berjudul "Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta", banyak ditemukan konten yang tidak mendidik. Contohnya: di buku kelas 1 SD, ditemukan kata-kata "ditusuk-tusuk" dalam cuplikan salah satu ceritanya yang berisi tentang penyiksaan oleh seorang nyonya besar. Sementara di buku kelas V dikisahkan tentang seorang pria dewasa yang merasa sedih karena wanita yang dilamarkan ayahya ternyata bukan untuk dia, tetapi untuk dijadikan istri kedua ayahnya. Apakah ini memang salah satu budaya daerah betawi?

Masih banyak lagi buku-buku dengan konten yang tidak layak bermunculan tanpa adanya sensor dari dinas pendidikan daerah. Lalu, apakah setiap buku tidak melalui edit atau lembaga sensor buku? Ataukah buku bebas beredar tanpa adanya uji kelayakan dari pihak yang berwenang?

Tanggapan pihak dinas pendidikan sendiri sepertinya memang (sedikit banyak) mengakui bahwa kontrol mereka terhadap kehadiran buku-buku pelajaran tidaklah ketat. Mereka lebih mengambil tindakan kuratif dengan  cara mencoba menarik peredaran buku-buku tersebut. Padahal , alangkah baiknya jika tindakan preventif lah yang dipakai dengan mengerahkan divisi seleksi buku untuk bekerja dengan semestinya. Artinya tidak menunggu ada kasus seperti ini barulah mereka bergerak.

Memang nasi sudah menjadi bubur. Jika sudah begini perlu adanya keterlibatan semua pihak untuk mencegah kejadian ini terulang. Masyarakat, khususnya orang tua siswa, dan guru bisa menjadi corong atau level paling bawah yang bisa mendeteksi adanya kesalahan atau kekurangtepatan isi buku pelajaran. Harus adanay kontrol publik terhadap buku-buku pelajara yang beredar. Karena, menunggu gerak dan kerja pemerintah, sepertinya akan sia-sia. Buktinya, buku-buku dengan konten buruk itu masih bisa terlepas dari sensor mereka.

Kalau buku pelajaran saja sudah menyesatkan dan tidak layak pakai, bagaimana dengan buku-buku lainnya, semisal komik, majalah dan novel? Tentunya banyak sekali konten buku yang sebenarnya tidak layak dibaca anak-anak tapi muncul di buku-buku yang diperuntukkan untuk anak-anak.

Saya yakin lembaga sensor buku perlu juga dibentuk layaknya kita memiliki lembaga sensor film. Karena kata bagaikan mantra. Secara tidak kita sadari, kata lah yang akan mudah terpatri dan teringat dalam kehidupan kita, terutama ketika usia kita masih di usia emas. Apa jadinya jika anak SD sudah dikenalkan dengan kata-kata makian, penyiksaan, cinta-cintaan, dan lainnya? Tentu akan banyak merusak perkembangan psikologis mereka.

Sebagai masyarakat yang peduli terhadap perkembangan jiwa anak-anak bangsa, semua pihak sebaiknya menjadi agen aktif yang ikut ambil bagian dalam menyensor isi buku-buku yang digunakan oleh para peserta didik kita.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline