Beberapa bulan ini, saya membawa anak saya ke psikolog. Kebetulan anak saya mengalami kesulitan mengontrol emosinya. Terkadang, ia akan bertindak sangat emosional ketika ada hal-hal yang tidak berkenan terjadi pada dirinya. Atau di lain waktu, dia akan berulah ketika ada sesuatu yang tidak menyenangkan di kelasnya. Istilah kedokterannya mungkin bisa disebut tantrum, walaupun gejala ini lebih sering ditemukan pada anak usia balita, atau bawah lima tahun.
Setelah melakukan sekitar empat kali kunjungan ke psikolog, saya dan pihak sekolah diminta melakukan tindakan berupa good cop dan bad cop di sekolah. Karena memang kecendurangan emosionalnya lebih banyak terjadi di sekolah. Penerapan konsep good cop dan bad cop ini bertujuan agar anak saya mampu mendisiplinkan diri dan belajar memahami bahwa tidak semua hal bisa sesuai dengan harapannya. Ada aturan main yang harus ia ikuti di sekolah.
Proses ini sudah dilakukan selama tiga bulan, dan alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Artinya, dari pihak sekolah, terutama wali kelasnya, sudah melaporkan perkembangan tingkat emosionalnya, yang berkurang cukup signifikan. Dari penuturan anak saya, ia pun sering bercerita bahwa ketika ia sudah mulai kesal, maka ia memilih untuk menyalurkannya ke gambar. Ia akan mengambil buku gambarnya dan fokus mengontrol emosi di sana. Penuturannya tidak jauh berbeda dari pihak wali kelas. Artinya, selama tiga bulan terakhir ini, suasana hatinya cukup terkendali. Sebegitu terkendalinya hingga pengawasan dan pembimbingan terhadapnya pun sedikit dikurangi. Namun, apa yang terjadi?
Ketika di sisi emosional sudah mengalami perubahan ke arah yang positif, artinya sudah mulai mampu mengontrol emosinya, ada hal yang ternyata kebalikannya. Sebelumnya ia tidak mengalami masalah dengan akademisnya. Artinya, motivasi belajarnya masih cukup bagus dan hasil nilainya pun cukup memuaskan, jika tidak bisa dibilang sangat bagus. Bahkan pihak wali kelas dan BK pun mengakui bahwa ia tidak mengalamai masalah secara akademis. Namun, ketika pengambilan raport mid terakhir, ada penurunan nilai raport yang cukup signifikan. Ada sekitar lima mata pelajaran yang nilainya di bawah standar ketuntasan minimal. Tentu saja ini sangat mengejutkan saya dan pihak sekolah.
Ternyata memang diakui oleh pihak wali kelas bahwa ada penurunan motivasi belajar di sekolah. Ketika anak saya sibuk mengontrol emosinya dengan cara mengalihkannya ke menggambar, proses belajar pun tidak ia ikuti dengan baik. Pihak sekolah pun memang tidak terlalu menekan anak saya untuk mengikuti pelajaran secara maksimal karena khawatir proses pengontrolan emosionalnya akan menjadi alot lagi. Sementara di rumah pun, proses belajarnya masih sama seperti sebelumnya, artinya tidak ada yang dikurangi.
Entah adakah hubungan antara pengontrolan emosi dengan motivasi belajar. Apakah sebegitu fokusnya anak saya mengontrol emosinya, sehingga sulit baginya untuk menerima pelajaran? Hal ini tentu saja menjadi permasalahan baru yang muncul dari proses terapi yang kami upayakan. Biasanya, jika anak saya mendapatkan hasil ulangan yang jelek, dia akan marah, kali ini ia hanya tersenyum. Ketika ditanya gurunya kenapa nilainya jelek, ia tersenyum. Demikian juga ketika saya yang menanyakan, saya pun hanya mendapat respon berupa senyuman dan permintaan maaf. Entah, arti senyumannya itu apa. Apakah dia menjadi cuek dengan nilai-nilainya? Ataukah ini salah satu cara yang ia lakukan untuk kembali mendapat perhatian penuh dari guru-gurunya di sekolah?
Saya pun sempat berkonsultasi dengan seorang kawan. Menurutnya, kita tidak perlu menekannya dulu. Perkembangan emosionalnya yang sudah cukup bagus jangan kemudian ditambahkan dengan tuntutan akademisnya. Terkadang anak pun memiliki tingkat kejenuhan dan stres yang cukup tinggi, sehingga anak memiliki caranya sendiri untuk menghilangkan ketegangannya itu, baik ketika hendak menghadapi ulangan ataupun ketika saatnya menerima laporan hasil belajarnya. Bisa dengan hanya memberikan senyuman saja. Mungkin itu cara anak saya untuk mengontrol gejolak kesedihan dan stres yang ada di pikirannya. Kita tidak pernah tahukan bagaimana perasaan anak?
Akhirnya, saya pun selaku orang tua berusaha untuk bersikap tenang, dan tidak menuntut banyak hal dulu padanya. Mungkin inilah satu cara yang bisa didapatkan setelah berkonsultasi dengan berbagai pihak. Ketika yang satu beres, maka akan memunculkan masalah baru lainnya. Namun, saya harus punya keyakinan bahwa ke depannya anak saya akan memiliki kemampuan kontrol emosi yang lebih baik disertai dengan pencapaian akademis yang maksimal. Insya allah, amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H