Lihat ke Halaman Asli

Nunung Kusumawati

Aktivitas sehari-hari sebagai pengajar SMA di Semarang

R.A. Kartini, Ikon Transformasi Pendidikan

Diperbarui: 21 April 2024   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Mural tokoh kebangkitan perempuan Indonesia R.A. Kartini menghiasi kolong tol di jalan RC Veteran Raya, Jakarta Selatan, Selasa (21/4/2020). (Foto: KOMPAS/PRIYOMBODO)

“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.” Ungkapan R.A. Katini tersebut acap kali terngiang di kepala dan menjadi pelecut semangat menatap masa depan. 

Raden Ajeng Kartini, sosok perempuan visioner yang mampu membaca tantangan serta peluang zaman. Julukan Trinil agaknya memang pas disematkan  untuk nama panggilan beliau karena  si Trinil selalu lincah, tidak mau “diam” seperti burung trinil yang suka terbang kesana kemari. 

Putri bangsawan yang cerdas ini sungguh layak untuk selalu kita renungi buah pikirannya serta sepak terjangnya guna menjadi cermin bagi generasi kini utamanya kaum perempuan dalam menata kehidupan bangasa yang lebih baik.

Siapakah Kartini?

Lahir di Mayong, Jepara pada tanggal 21 April 1879, Raden Ayu Kartini adalah putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang wedana yang kemudian diangkat menjadi bupati Jepara. 

Sang ibu bernama Mas Ajeng Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluk Awur, Jepara. 

M.A. Ngasirah adalah istri pertama namun bukan istri utama (garwa padmi). Saat Ayahanda R.A. Kartini akan dilantik menjadi bupati, sesuai tatanan sosial waktu itu, seorang bupati harus memperistri seorang perempuan dari kalangan priyayi atau bangsawan. Karena Ibunda R.A. Kartini bukan dari kalangan bangsawan, maka Ayahanda harus menikah lagi.

Sejak saat itulah “kegelapan” mulai hadir dalam kehidupan Kartini. Dia harus rela menyaksikan “penderitaan” yang dirasakan oleh sang ibu meski sang ibu sangat pandai menyembunyikannya di depan anak-anaknya. 

Pun tangis pilu Kartini kembali pecah, saat “kejamnya” adat mengharuskan dia memanggil ibunya dengan sebutan “yu,” sebutan yang biasa dipakai untuk memanggil seorang pembantu di rumah. dan sang ibu harus memanggil Kartini “ndara” (baca: ndoro). Sebutan “ibu” hanya untuk si “garwa padmi” (ibu tiri Kartini).

Hari-hari Kartini semakin gelap saat ia genap berusia dua belas tahun. Ia harus berhenti sekolah di Europese Lagere School (ELS). Perempuan priyayi harus dipingit sampai datang seorang lelaki melamarnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline