Pramoedya Ananta Toer: Kata-Kata yang Tak Bisa Dijegal, Karya yang Tak Bisa Dibungkam
Di negeri yang gemar menyekat suara-suara kritis, Pramoedya Ananta Toer memilih untuk tetap bicara. Tidak dengan pidato lantang di atas podium, tidak pula dengan orasi yang menggema di jalanan.
"Pram" begitu ia kerap disapa adalah sosok yang tak pernah menyerah pada tekanan. Ia berbicara melalui kata-kata, yang mengalir dalam setiap lembar buku, menembus batas waktu dan kekuasaan.
Bagi seorang Pramoedya, kata-kata bukan sekadar barisan huruf di atas kertas. Kata-kata adalah perlawanan, kejujuran dan nyawa.
Maka, ketika kekuasaan mencoba membungkamnya, ia tidak berhenti menulis. Ketika pena dan kertasnya dirampas, ia tidak menyerah. Bahkan ketika ia dijebloskan ke dalam penjara dan diasingkan ke Pulau Buru, ia tetap berkisah.
Dibungkam, Namun Tak Pernah Diam
Pramoedya lahir bukan dari zaman yang mudah. Ia tumbuh dalam pergolakan, dalam pasang surut sejarah Indonesia yang penuh luka.
Karyanya bukan sekadar cerita, melainkan cermin dari bangsa ini, terlalu jujur, terlalu berani, dan karenanya, terlalu berbahaya bagi mereka yang ingin sejarah ditulis dengan satu suara saja.
Pada tahun 1965, setelah peristiwa G30S, ia ditangkap tanpa pengadilan. Hanya karena pemikirannya yang dianggap dekat dengan ideologi kiri, ia dicabut dari kebebasannya dan dibuang ke Pulau Buru.
Di sana, ia dipaksa untuk bekerja dalam kondisi yang sangat keras. Setiap hari, kakinya menapaki tanah keras dengan beban kerja yang melelahkan, ditengah tubuh-tubuh yang didera kelaparan, dan di sekelilingnya, kematian seakan begitu dekat.
Namun, di tengah semua itu, Pram tetap menulis. Ia tidak memiliki pena, tidak ada kertas, bahkan sekadar hak untuk membaca pun dirampas.