Lihat ke Halaman Asli

Nuning Listi

ibu rumah tangga

Menyikapi Relasi Mayoritas-Minoritas dalam Islam

Diperbarui: 29 September 2024   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pancasila - jalandamai.org

Relasi mayoritas-minoritas memang tak terelakkan, menjadi hukum alam yang pasti terjadi di Indonesia maupun dibelahan bumi manapun. Relasi tersebut bisa dalam segala hal, suku, agama, ras dan antargolongan. Relasinya berlaku dinamis karena bisa jadi beda daerah berbeda pula siapa yang menjadi mayoritas dan siapa yang menjadi minoritas. Jika kita tarik lebih spesifik kedalam ranah agama, maka relasi mayoritas-minoritas sangat ditentukan oleh pemeluk agama mayoritas pada suatu daerah atau negara tertentu.

Di Indonesia, relasi mayoritas-minoritas adalah relasi antara umat Islam dengan umat agama lainnya. Kebiasaan kelompok mayoritas cenderung memandang praktik ibadahnya sebagai norma yang tak terdandingi, hal tersebut didukung oleh simbol-simbol keagamaan mayoritas yang banyak ditemukan di ruang publik. Kelaziman simbol keagamaan kelompok mayoritas di ruang publik menjadikan kelompok mayoritas merasa jika ruang publik tidak mencerminkan nilai-nilai atau praktik yang biasa ditemui dalam kesehariannya maka secara psikologis menjadi ancaman baginya.     

Apa yang dialami kelompok minoritas kebalikan dari situasi diatas, mereka terbiasa menerima praktek ibadah mayoritas dan menahan diri meski melakukan ibadah di ruang publik yang sama. Ironisnya, penerimaan eksistensi mayoritas oleh minoritas bisa tanpa penolakan. Namun dalam kondisi sebaliknya mayoritas menganggap praktek ritual minoritas di ruang publik dianggap 'mengganggu' dan merasa bahwa ruang tersebut sedang 'diinvasi' oleh minoritas. Kecenderungan mayoritas memandang minoritas sebagai ancaman terhadap homogenitas, seolah-olah menjadi rongrongan terhadap nilai atau norma yang dianut mayoritas.

Bagaimana Islam menyikapi relasi mayoritas-minoritas?

Relasi mayoritas-minoritas dalam Islam ditentukan kedudukan seorang muslim itu sendiri; pertama ketika kedudukan seorang muslim yang hidup dalam masyarakat yang secara jumlah mayoritas muslim, maka umat Islam dapat menggunakan fiqh al-aghlabiyyat (mayoritas). Fikih mayoritas bertumpu pada dua konsep, yaitu keadilan dan perlindungan (al-muhafazhah).

Di sini, perlu diketengahkan apa yang dimaksud dengan 'minoritas' dan 'mayoritas'. Ada dua cara pandang dalam memahami dua hal tersebut. Cara pandang pertama melihat 'mayoritas' dan 'minoritas' dalam konteks jumlah --siapapun yang jumlahnya besar memiliki kewajiban etis untuk melindungi mereka yang jumlahnya sedikit. Cara pandang ekonomi politik akan melihatnya sedikit berbeda. Benar, bahwa mayoritas bisa berarti jumlah yang besar.

Namun, yang menjadikan satu kelompok menjadi mayoritas bukan hanya jumlah, tetapi juga akses terhadap kekuasaan, modal, dan kemampuan yang besar. Kaidah dalam hal ini sudah dijelaskan dalam Al-Qur'an: Mereka yang diberi kekuasaan mendapatkan tanggung jawab (amanah) untuk berlaku adil dan melindungi sessamanya. Adil, dalam arti ada distribusi kesejahteraan dan kekayaan, pemenuhan hak-hak dasar manusia, serta dihapuskannya ketimpangan.

Kedua, kedudukan seorang muslim yang hidup dalam masyarakat yang secara jumlah minoritas muslim, maka umat Islam berada pada fiqh al-aqalliyat yang dibangun diatas satu kebutuhan untuk memposisikan umat Islam agar bisa hidup dalm konteks hubungan sosial dimana umat Islam menjadi "minoritas". 

Di sini beberapa ulama seperti Taha Jabir Al-Alwani dan Yusuf Al-Qaradhawi kemudian merumuskan konteks Islam dalam masyarakat Barat dengan menekankan fleksibilitas dan pentingnya ijtihad, agar tidak ada benturan 'etis' antara umat Islam dan masyarakat Barat. Fiqh al-aqalliyat bukan merupakan produk hukum baru, melainkan kontekstualisasi dari tradisi hukum yang ada dalam Islam dalam konteks kehidupan masyarakat yang bukan mayoritas Muslim.

Jadi, relasi mayoritas-minoritas dalam Islam baik sebagai kelompok mayoritas maupun sebagai kelompok minoritas, seorang muslim haruslah menjadi seseorang yang mempunyai kematangan spiritual untuk berislam dalam ranah konsekuensial, membangun perilaku islami dalam aspek kehidupan intapersonal, interpersonal, dan sosialnya. Kehati-hatian untuk berucap, bersikap, bertindak sebelum yakin apakah itu memang bermanfaat dan bermaslahat bagi dirinya maupun orang lain menjadi pertimbangan bagi setiap muslim untuk berperilaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline