Baru-baru ini kita agak dikejutkan dengan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kota Bekasi yang bernama Masriwati yang dengan agresif secara verbal mengatakan bahwa ibadah di rumah harus ada izin. Padahal yang dilakukan Joni, tetangganya itu adalah doa bersama di rumah yang dilakukan beberapa keluarga, mirip pengajian jika di agama Islam.
Kejadian penyerangan verbal dari penganut mayoritas ke minoritas itu terekam kamera dan viral. Seperti biasa netizen menghujat tindakan Masriwati dan kemudian muncul permintaan maaf dari Masriwati dan beredar di media sosial. Dalam tayangan itu dia dan segenap keluarganya menyatakan permintaan maaf atas ucapan dan tindakannya itu. Permintaan maaf itu didampingi oleh beberapa pejabat dari walikota sampai Dandim.
Sebenarnya, tindakan Masriwati itu bisa dikatagorikan sebagai intoleransi. Intoleransi adalah sikap atau tindakan yang kurang atau tidak menghargai hal yang berbeda dengan dirinya atau yang dianutnya. Dalam konteks ini adalah kepercayaan atau agama yang dianut.
Kasus intoleransi di beberapa daerah juga terjadi semisal soal ketidaksetujuan masyarakat pada pembangunan sekolah Kristen di Pare, Sulawesi Selatan. Ketidaksetujuan masyarakat disana terjadi bertahun lalu dan belum selesai sampai sekarang. Awalnya penolakan itu karena perizinan yang belum didapat oleh pihak panitia pembangunan, namun ternyata kasus itu terjadi karena masyarakat di sana tidak menginginkan adanya sekolah Kristen, meski izin dan banyak murid Kristen di sana.
Selain dua kasus di atas ada beberapa kasus intoleransi lain yang juga menjadi sorotan netizen. Relasi mayoritas minoritas memang jadi tantangan tersendiri bagi negara kita, meski banyak negara memuji pengelolaan negara dalam menjaga keberagaman yang kompleks di Indonesia. Memang tidak bisa dipungkiri, jalan terjal masih harus ditempuh dalam penerapan nilai-nilai toleransi di Indonesia.
Karena itu sebaiknya toleransi sebaiknya jangan sekadar bottom up policy, tapi harus top down policy. Di tingkat warga, semangat toleransi harus selalu dihidupkan dengan cara berfikir dan sikap yang benar sebagai warga di negara yang penuh keberagaman, dengan dasar Pancasila dan UUD 1945. Sikap untuk saling menghargai dan menghormati sebagai warga yang punya kedudukan yang sama dalam negara pluralis ini. Sikap toleran adalah sikap untuk lebih banyak mendamaikan daripada meresahkan; menghormati dan bukan menghakimi; mengayomi dan bukan mempersekusi.
Dengan kondisi seperti itu, lebih mudah kita mewujudkan situasi harmoni di negara kita, tanpa membawa-bawa status mayoritas - minoritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H