Lihat ke Halaman Asli

Nuning Listi

ibu rumah tangga

Ulama Seharusnya Mencerahkan

Diperbarui: 28 Mei 2022   04:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tabloid bintang

 

Dua puluh tahun ini, demokrasi kita berjalan relatif lebih baik dibanding masa sebelumnya. Keterbukaan ini membuat banyak hal berubah termasuk pendidikan, pola komunikasi sampai birokrasi maupun bisnis. Masyarakat lebih leluasa untuk bersikap dan bertindak meski ada beberapa aturan yang melingkupinya.

Mungkin yang cukup fenomenal pasca reformasi adalah terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003 saat Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Megawati. Meski diwarnai pasang surut, KPK sampai saat ini cukup banyak menyeret pelaku korupsi baik dari kalangan swasta mapun birokrasi. Keleluasaan masyarakat untuk memberi informasi punya andil dalam memberantas korupsi.

Masyarakat mungkin melihat bahwa ternyata pelaku korupsi sebagian besar adalah orang-orang yang diberi kepercayan (jika dia birokrat) seperti Kepala Daerah sampai Menteri. Begitu juga pihak swasta juga biasanya adalah pihak swasta yang dipercaya mengerjakan proyek-proyek penting di negara ini. Lalu muncul pameo dalam masyarakat: yang korupsi malah orang-orang pintar.

Memang diakui, tidak semua orang pintar itu baik. Ini karen berbagai faktor pembentuknya (motivasinya). Mungkin karena lingkungan kerja yang memungkinkan itu, mungkin karena nafsu pribadinya (untuk meraih kekayaan dengan cepat) atau hal lain karena kehidupan ini memang sangat kompleks.

Begitu juga dalam bidang agama dalam hal ini ulama. Umumnya ulama adalah seorang yang alim dan punya kharisma. Alim disini biasanya dalam konteks agama Islam adalah berilmu. Karena berilmu dan berkharisma, maka dia dianggap sebagai pihak yang pas untuk bertanya oleh umat. Hal ini memang sudah lumrah terjadi dan bisa kita saksikan di beberapa acara televisi atau jaringan youtube, dimana ada ulama menjawab pertanyaan umat yang hadir di studio televisi.

Hanya saja sekali lagi saya kemukakan bahwa tidak semua orang pintar itu baik. Begitu juga orang alim punya pandangan yang mencerahkan. Karena itu, Imam Ghazali yang dikenal sebagai ulama besar dan Bapak Tasawuf modern membuat katagori ulama menjadi dua : ulama su' (buruk / jelek) dan ulama akhirat (baik)

Ulama yang alim, pintar, cerdik dan pernah menimba ilmu tapi ilmu yang dikuasainya tidak terintegrasi dengan realitas sekelilingnya seringkali menimbulkan kekacauan nalar dan membuat umat gamang alias tidak mencerahkan. Dalam bahasa santri disebut orang alim tapi ilmunya tidak barokah. Dalam katagori Imam Ghazali ulama ini adalah ulama su'.

Konteks inilah mungkin menjadi alasan bagi Singapura untuk menolak kedatangan Ustadz Abdul Somad untuk ke Singapura. Salah satu alasannya adalah UAS dianggap menyebarkan ajaran ekstemis dan segregasi. Dua hal ini sangat rentan bagi negara yang multi etnis seperti Indonesia, Singapura maupun Malaysia. Selain itu UAS dianggap membenarkan bom bunuh diri sebagai alat perjuangan agama dalam konteks Palestina --Israel. Padahal semua agama (termasuk Islam) tidak akan membenarkan kekerasan dalam memperjuangkan atau menyebarkan agama.

Karena itu, kita harus lebih cermat dalam melihat dan menyikapi kasus ini. Jangan sampai kita terjebak pada pandangan Islamfobia atau hal lain. Namun harus kita cermati bahwa yang terjadi adalah ajaran ulama yang alim yang tidak cocok dengan negara yang dituju. Ajaran ulama yang alim seharusnya mencerahkan dan bukan membuat bingung atau mengacukan hal yang sudah baik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline