Indonesia merupakan negara yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini tidak bisa dilepaskan karena keberadaan ribuan suku yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Kearifan lokal itu kemudian diakomodir dan dimasukkan dalam Pancasila, yang kemudian dijadikan dasar negara. Kearifan lokal ini merupakan solusi, agar keragaman yang ada di negeri ini tetap terjaga. Kearifan lokal juga kunci untuk bisa menjaga toleransi dan keutuhan negeri ini.
Di Jawa dikenal istilah tepo seliro. Yang artinya adalah tenggang rasa. Antar sesama saling menghargai dan menghormati. Tidak pernah ada yang mempersoalkan perbedaan agama, suku, budaya atau latar belakang yang lainnya. Karena mindset yang ditanamkan adalah tepo seliro, maka output yang dirasakan oleh masyarakat luas adalah sikap toleransi antar umat beragama. Kearifan lokal yang kurang lebih sama, juga ada di daerah lain di Indonesia. Menjadi tugas kita untuk terus menyebarkan nilai kearifan lokal ini, agar kita tidak lupa akan sejarah dan budaya negeri sendiri.
Karena kearifan lokal itu pula, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan toleran. Namun dibalik kearifan lokal tersebut, sudah ada dan masih ada bibit radikalisme yang ada di sekitar masyarakat. Salah satunya adalah ideologi radikalisme yang diusung oleh kelompok NII.
Kelompok ini dari awal berusaha ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Konsep ini tentu bertentangan dengan Pancasila, karena Indonesia tidak hanya berisi umat muslim, tapi juga banyak yang dari non muslim. Meski demikian, negeri ini juga didasarkan pada nilai-nilai agama. Karena itulah sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ini artinya, agama masih menjadi perhatian yang serius di negeri ini. Namun meski mayoritas penduduknya memeluk Islam, bukan berarti Indonesia menjadi negara Islam. Indonesia adalah negara beragama yang mengakui banyak agama. Karena memang jauh sebelum negeri ini berdiri, keberagaman dalam berkeyakinan ini sudah ada sejak dulu.
Sayangnya, semuanya itu dirusak dengan maraknya provokasi dan propaganda radikalisme melalui media sosial. Salah satunya dilakukan oleh NII, sebuah organisasi dan gerakan politik pertama di Indonesia yang melakukan radikalisasi gerakan politik, yang mengatasnamakan agama, yang sangat membahayakan kedaulatan negara. Ideologi NII merupakan induk ideologi yang menjiwai gerakan-gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Bukan hal yang berlebihan jika Densus 88 juga memberikan perhatian yang serius terhadap kelompok ini. Karena pola gerakan NII terus berkembang menyesuaikan perkembangan zaman. Dulu NII identik menggunakan kontak senjata, saat ini kelompok ini lebi banyak menggunakan pendekatan hati dan pimikiran.
Di Sumatera Barat kemarin, densus 88 menemukan senjata tajam. Bahkan kelompok ini juga berniat memesan senjata tajam ke pandai besi. Rencananya senjata tersebut akan digunakan untuk melakukan perbuatan tertentu. Beruntung densus berhasil mencium rencana tersebut dan langsung dilakukan penangkapan.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan, mulai ada perubahan srategi dan pola gerakan NII. Jika dulu strateginya berusaha menguasai wilayah, strategi NII kini berbeda, karena menggunakan pendeiaktan hati dan pemikiran.