Lihat ke Halaman Asli

Nastiti Cahyono

karyawan swasta

Relasi Agama Negara, Setiap Ulama Berpotensi Su'

Diperbarui: 30 Juni 2024   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Toleransi - jalandamai.org

Perkawinan sains dan kapitalisme dalam era modernisme melahirkan yang namanya teknologi. Lantas agama dan negara dituntut untuk berpisah atas nama kesucian agama dan kemajuan peradaban. Inilah apa yang orang sebut substansi dari sekularisme. Ternyata tanpa kita sadari modernisme juga melahirkan tuntutan perkawinan antara agama dan negara, sebut saja negara Islam, khilafah, dll. Baik sekularisme maupun perkawinan agama dan negara tidak cocok untuk Indonesia. Indonesia dengan ideologi Pancasilanya, mempunyai kearifan tersendiri dalam memaknai relasi antara agama dan negara.

Sejak zaman perjuangan merebut kemerdekaan terjalin simbiosis mutualisme antara ulama dan tokoh nasional, hal itu berlanjut ketika Indonesia merdeka. Relasi agama dan negara mempunyai ke-khasannya sendiri dan keduanya memberikan keuntungan bagi bangsa. Indonesia meletakkan agama pada posisi yang begitu penting yaitu dituangkan dalam UUD 1945 dan Pancasila. Inilah keistimewaan Indonesia dibandingkan negara lain

Simbiosis mutualisme, relasi saling menguntungkan agama dan negara yaitu Indonesia memerlukan agama dalam mengelola negara, sebagai ruh dalam berbangsa dan bernegara. Mulai dari aparaturnya sampai sistem yang berjalan agar tidak menyimpang dari nilai agama. Begitu juga agama membutuhkan negara dalam implementasi nilai-nilai agama.

Bagaimana agama membutuhkan tangan negara dan perlindungan untuk menjalankan ajarannya. Pada intinya negara dan agama sejalan seia sekata mempunyai tujuan yang sama yaitu menjadikan kehidupan manusia semakin sejahtera. Dalam konteks ini, antara pemuka agama (ulama) dengan negara (umara) saling berkelindan. Perpaduan keduanya justru akan menjadikan negara dan agama saling mendapat manfaat.

Keterkaitan ulama-umara belakangan ini menjadi perbincangan di kalangan kelompok radikal terorisme, mereka melabeli tokoh agama yang terlalu dekat dengan penguasa dengan sebutan ulama su'. Lantas bagaimana kita menyikapinya? Pertama, kita harus menyadari keterkaitan ulama-umara adalah sesuatu yang sudah seharusnya seperti sudah dijelaskan diatas.

Kedua, baik tokoh agama yang mendekat ke penguasa atau tidak, sama-sama mempunyai potensi menjadi ulama su', tatkala ia berniat atau berperilaku menyimpang, memanfaatkan keulamaannya untuk kehidupan dunia. Tidak peduli apakah dia dekat dengan penguasa atau tidak. Kita berfokus pada niat dan perilakunya, bisa jadi ulama yang memusuhi negara dialah ulama su' ketika orientasi niat dan perilakunya hanya perkara dunia saja.

Oleh karena itu, kita jangan sampai terkecoh, jangan sampai hanya karena koar-koar segelintir orang/kelompok, kita tergiring pada opini yang diciptakan mereka. Kita harus jeli melihat ulama yang seperti apa yang pantas kita jadikan sebagai panutan. Bersihkan hati dan pikiran dari segala hal negatif dan buruk sangka, bermohonlah pada zat yang Maha Memberi Petunjuk, niscaya nanti kita akan dibimbing-Nya untuk mengikuti jalan ulama yang soleh pewaris para Nabi. Aamiin YRA. Wallahu a'lam...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline