Tiga puluh tahun lalu bahkan empat puluh tahun lalu, kita sering melihat anak muslim yang bersekolah di sekolah katolik. Baik pada pendidikan dasar, mapun menengah. Pada zaman itu, pendidikan yang dikelola oleh Katolik memang sangat disukai karena sering menghasilkan siswa berprestasi yang sanggup bersaing di tingkat lebih tinggi.
Anak non muslim yang bersekolah di temoat itu mungkin sadar dengan perbedaan aama mereka, namun saat itu mereka mungkin mendapat pendidikan dan jawaban yang tepat sehingga toleransi tetap terjaga. Mereka bermain dan bercanda bersama. Saling memberi salam jika hari besar berdasar agama yang dianut tiba, tidak ada tudingan atau bullying terhadap anak muslim maupun non muslim, meski mereka yakin bahwa mereka berbed.
Namun suasana itu tidak bisa kita dapatkan sepuluh atau dua puluh tahun ini. Sekitar tahun 90-an, faham yang menekankan intoleransi muncul ke Indonesia. Faham yang sejatinya adalah trik politik dari negara lain dibungkus sedemikian rupa seakan itu ajaran murni Islam sehingga banyak orang yang tertarik dan 'termakan" hal itu. Ini sangat dominan di beberapa perguruan tinggi, terutama pada ekstrakulikuler mahasiswa yang tidak terpantau dengan baik oleh pihak rektorat.
Saat ini pada siswa sekolah dasarpun sudah melek soal isu agama. Bahwa agama mereka berbeda dengan sebagian temannya. Bahwa ritual agama mereka berbeda dengan ritual agama temannya.
Nah jika mereka tidak mendapatkan pendidikan dan jawaban yang tepat soal perbedaan-perbedaan , bibit intoleransi bisa saja muncul sehingga berakhir dengan perpecahan.
Karena itu sangat penting untuk mulai menumbuhkan atau semacam menyemai toleransi sejak dari sekolah dasar bahkan PAUD. Pada UU Pendidikan Nasional no 20 pasal 4 tahun 2003: Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan seta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
UU ini seharusnya bisa mengikat komunitas pendidikan untuk menumbuhkan atau menyemai toleransi di sekolah. Mungkin pada satu waktu tertentu dilakukan jam doa dimana masing-masing penganut agama melakukan ritual masing-masing. Dengan begitu mereka saling paham dan memahami. Dengan saling paham, kita akan terhindar dari kesalahan pemahaman satu sama lain. Dalam hal ini semisal sekelompok siswa iseng menyuruh siswa non islam melafalkan kalimat syahadat, dan kemudian menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H